Dokumenter. Sutradara: Wisnu Adi
* * *
Tidak banyak film dokumenter yang menceritakan tentang persoalan di perbatasan wilayah Indonesia dan Malaysia. Itu sebabnya film dokumenter yang mengangkat persoalan seperti ini tentunya sulit untuk menahan dorongan menceritakan banyak hal yang membuatnya kurang fokus dan kehilangan kekuatan untuk 'mengganggu' penontonnya.
Adalah Cerita Dari Tapal Batas garapan sutradara Wisnu Adi yang mencoba mengangkat beberapa persoalan di perbatasan Kalimantan dengan Malaysia. Ada tiga orang tokoh yang mewakili persoalan-persoalan di wilayah perbatasan ini. Masalah ketidakmerataan pendidikan di pedalaman menjadi problematika klasik yang dalam film ini disuarakan oleh Martini, guru SD yang telah mengajar selama 8 tahun di daerah Entikong. Dengan gaji yang tidak seberapa, Martini harus merangkap peran sebagai guru, kepala sekolah, petugas administrasi dan memegang beberapa kelas sekaligus. Penyebabnya, karena kurangnya tenaga pengajar di desa terluar dan terjauh di wilayah perbatasan ini. Bukan hanya Martini yang mengalami masalah sejenis, Kusnadi, petugas kesehatan pun demikian adanya. Gaji yang diberikan pemerintah setiap bulannya, tentu saja tidak sepadan jika di bandingkan dengan semangat pengabdian, beban dan cakupan kerjanya yang begitu luas dengan medan tempuh yang cukup berat. Sementara Ella, korban traffiking di Singkawang, hadir sebagai salah satu tokoh yang mewakili akibat dari ketidamerataan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan, perdagangan manusia menjadi tawaran untuk menyelesaikan persoalan itu. Ini sama artinya menyelesaikan masalah dengan masalah.
Pada kenyataannya, persoalan di perbatasan jauh lebih banyak daripada tiga persoalan yang diangkat di film ini. Tiga persoalan yang diangkat menurut Wisnu Adi di film ini cukup menjadi tantangan bagi warga perbatasan untuk bertaruh dengan nasionalismenya, karena mencari penghidupan di negara tetangga, Malaysia lebih menjanjikan. Wisnu Adi berusaha menampilkan kontras ini dan menyatakan secara gamblang dalam narasinya bahwa ini semua adalah salah pemerintah.
Jika dokumenter ini dimaksudkan untuk memberi gambaran umum persoalan diperbatasan, kurasa film ini cukup berhasil. Namun, jika penonton menuntut (setidaknya aku) gambaran persoalan yang lebih mendalam, film ini menjadi gagal fokus. Ketika persoalan yang coba dihadirkan di film ini, sebenarnya cukup berat dan setiap masalah memiliki dimensi yang berbeda. Membuat masalah pendidikan, kesehatan dan perdagangan manusia berhadap-hadapan dalam satu film menurutku membuat argumentasi untuk menjelaskan sebab musabab persoalan menjadi kurang mendalam. Mungkin akan lebih kuat jika satu saja persoalan yang diambil, tapi dieksplorasi dengan lebih dalam.
Tapi aku bisa mengerti, godaan untuk menceritakan banyak persoalan di wilayah seperti Entikong pasti sangat kuat. Sutradara, penulis naskah dan juga produser mesti tega untuk memilah mana yang menjadi fokus. Misalnya, jika masalah pendidikan yang dipilih sebagai fokus, kurasa sosok Martini akan menjadi lebih kuat karena problematikanya bisa lebih tergambarkan dan tidak hanya sekedar terkatakan saja. Begitu pula jika memilih Kusnadi atau Ella sebagai tokoh.
Selain persoalan gagal fokus, ada hal lain yang bagiku cukup mengganggu yaitu teks yang dibacakan oleh narator. Dalam sebuah dokumenter, narasi yang mengantarkan atau menyambungkan persoalan itu menjadi penting. Narasi itu yang mewakili perspektif film maker terhadap persoalan yang dia angkat. Adakah perspektif baru dalam melihat persoalan yang semua orang secara umum telah mengetahuinya. Ataukah film maker hanya mengulang perspektif kebanyakan pihak? Dalam film ini, aku tidak melihat kebaruan dalam memandang persoalan-persoalan di perbatasan ini. Karena kesan yang aku peroleh setelah menontonnya, malah membuat aku berpikir: 'ya memang banyak persoalan di perbatasan, mau digimanain lagi?' seolah tidak ada jalan keluar dan akhirnya masalah diterima sebagaimana adanya.
Aku percaya bahwa sebuah dokumenter bisa disebut berhasil ketika ia bisa menemukan perspektif baru dan kreativitasnya dalam memandang persoalan sehingga penonton senantiasa menemukan aktualitas dari persoalan tersebut. Keberhasilan lebih jauh ketika dokumenter ini bisa menawarkan solusi atau setidaknya harapan yang bisa membuat penonton terbangkitkan kesadarannya untuk berpartisipasi menemukan solusinya. Ya, penonton tau bahwa persoalan-persoalan itu adalah bukti ketidakmampuan pemerintah untuk mengurus warganya, tapi apa yang bisa dilakukan warga yang lain yang berkelimpahan fasilitas dan akses untuk mengatasi kesenjangan tersebut. Memang dalam mengangkat permasalahan seperti ini ke dalam sebuah film dokumenter, cara pandang pembuatnya menjadi sangat menentukan, karena dialah yang membingkai kembali persoalan itu dengan maksud dan tujuannya masing-masing. Terlepas dari segala kekurangnya, upaya mengangkat persoalan di perbatasan lewat dokumenter ini tetap patut diacungi jempol.
Comments