Skip to main content

#30hari30film Cerita Dari Tapal Batas (2011) Sebuah Upaya Mencari Batas Permasalahan Tapal Batas

Dokumenter. Sutradara: Wisnu Adi
* * *

Tidak banyak film dokumenter yang menceritakan tentang persoalan di perbatasan wilayah Indonesia dan Malaysia. Itu sebabnya film dokumenter yang mengangkat persoalan seperti ini tentunya sulit untuk menahan dorongan menceritakan banyak hal yang membuatnya kurang fokus dan kehilangan kekuatan untuk 'mengganggu' penontonnya.

Adalah Cerita Dari Tapal Batas garapan sutradara Wisnu Adi yang mencoba mengangkat beberapa persoalan di perbatasan Kalimantan dengan Malaysia. Ada tiga orang tokoh yang mewakili persoalan-persoalan di wilayah perbatasan ini. Masalah ketidakmerataan pendidikan di pedalaman menjadi problematika klasik yang dalam film ini disuarakan oleh Martini, guru SD yang telah mengajar selama 8 tahun di daerah Entikong. Dengan gaji yang tidak seberapa, Martini harus merangkap peran sebagai guru, kepala sekolah, petugas administrasi dan memegang beberapa kelas sekaligus. Penyebabnya, karena kurangnya tenaga pengajar di desa terluar dan terjauh di wilayah perbatasan ini. Bukan hanya Martini yang mengalami masalah sejenis, Kusnadi, petugas kesehatan pun demikian adanya. Gaji yang diberikan pemerintah setiap bulannya, tentu saja tidak sepadan jika di bandingkan dengan semangat pengabdian, beban dan cakupan kerjanya yang begitu luas dengan medan tempuh yang cukup berat. Sementara Ella, korban traffiking di Singkawang, hadir sebagai salah satu tokoh yang mewakili akibat dari ketidamerataan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan, perdagangan manusia menjadi tawaran untuk menyelesaikan persoalan itu. Ini sama artinya menyelesaikan masalah dengan masalah.

Pada kenyataannya, persoalan di perbatasan jauh lebih banyak daripada tiga persoalan yang diangkat di film ini. Tiga persoalan yang diangkat menurut Wisnu Adi di film ini  cukup menjadi tantangan bagi warga perbatasan untuk bertaruh dengan nasionalismenya, karena mencari penghidupan di negara tetangga, Malaysia lebih menjanjikan. Wisnu Adi berusaha menampilkan kontras ini dan menyatakan secara gamblang dalam narasinya bahwa ini semua adalah salah pemerintah.

Jika dokumenter ini dimaksudkan untuk memberi gambaran umum persoalan diperbatasan, kurasa film ini cukup berhasil. Namun, jika penonton menuntut (setidaknya aku) gambaran persoalan yang lebih mendalam, film ini menjadi gagal fokus. Ketika persoalan yang coba dihadirkan di film ini, sebenarnya cukup berat dan setiap masalah memiliki dimensi yang berbeda. Membuat masalah pendidikan, kesehatan dan perdagangan manusia berhadap-hadapan dalam satu film menurutku membuat argumentasi untuk menjelaskan sebab musabab persoalan menjadi kurang mendalam. Mungkin akan lebih kuat jika satu saja persoalan yang diambil, tapi dieksplorasi dengan lebih dalam.

Tapi aku bisa mengerti, godaan untuk menceritakan banyak persoalan di wilayah seperti Entikong pasti sangat kuat. Sutradara, penulis naskah dan juga produser mesti tega untuk memilah mana yang menjadi fokus. Misalnya, jika masalah pendidikan yang dipilih sebagai fokus, kurasa sosok Martini akan menjadi lebih kuat karena problematikanya bisa lebih tergambarkan dan tidak hanya sekedar terkatakan saja. Begitu pula jika memilih Kusnadi atau Ella sebagai tokoh.

Selain persoalan gagal fokus, ada hal lain yang bagiku cukup mengganggu yaitu teks yang dibacakan oleh narator. Dalam sebuah dokumenter, narasi yang mengantarkan atau menyambungkan persoalan itu menjadi penting. Narasi itu yang mewakili perspektif film maker terhadap persoalan yang dia angkat. Adakah perspektif baru dalam melihat persoalan yang semua orang secara umum telah mengetahuinya. Ataukah film maker hanya mengulang perspektif kebanyakan pihak? Dalam film ini, aku tidak melihat kebaruan dalam memandang persoalan-persoalan di perbatasan ini. Karena kesan yang aku peroleh setelah menontonnya, malah membuat aku berpikir: 'ya memang banyak persoalan di perbatasan, mau digimanain lagi?' seolah tidak ada jalan keluar dan akhirnya masalah diterima sebagaimana adanya.

Aku percaya bahwa sebuah dokumenter bisa disebut berhasil ketika ia bisa menemukan perspektif baru dan kreativitasnya dalam memandang persoalan sehingga penonton senantiasa menemukan aktualitas dari persoalan tersebut. Keberhasilan lebih jauh ketika dokumenter ini bisa menawarkan solusi atau setidaknya harapan yang bisa membuat penonton terbangkitkan kesadarannya untuk berpartisipasi menemukan solusinya. Ya, penonton tau bahwa persoalan-persoalan itu adalah bukti ketidakmampuan pemerintah untuk mengurus warganya, tapi apa yang bisa dilakukan warga yang lain yang berkelimpahan fasilitas dan akses untuk mengatasi kesenjangan tersebut. Memang dalam mengangkat permasalahan seperti ini ke dalam sebuah film dokumenter, cara pandang pembuatnya menjadi sangat menentukan, karena dialah yang membingkai kembali persoalan itu dengan maksud dan tujuannya masing-masing. Terlepas dari segala kekurangnya, upaya mengangkat persoalan di perbatasan  lewat dokumenter ini tetap patut diacungi jempol.

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa