Skip to main content

#30hari30film Food, Inc (2008) Ketika Ketahanan Pangan Diruntuhkan Kerakusan Industri


Dokumenter. Sutradara: Robert Kenner 
* * * * 1/2

Film ini sengaja kupilih, relevan dengan isu kelangkaan kedelai yang membuat para pengusaha tahu dan tempe menghentikan produksinya. Selama ini Indonesia bergantung pada impor kedelai dari Amerika. Ketika Amerika mengalami gagal panen kedelai akibat kekeringan, bukan hanya masyakarat Amerika yang merasakan akibatnya, tapi rakyat Indonesia yang pun merasakan akibatnya. 

Film besutan Robert Kenner ini didasarkan pada laporan investigasi Eric Schllosser, penulis buku Fast Food Nation, dan menjelaskan bagaimana industrialisasi pangan menciptakan ketergantungan pangan pada perusahaan multinasional dan melumpuhkan ketahanan pangan global.  

Industrialisasi pangan dimulai sejak tahun 1930 ketika Amerika memperkenalkan makanan cepat saji. Saat itu Mc Donald memperkenalkan restoran Drive-in dan membawa fabrikasi makanan di dapur mereka.  Mental keseragaman dan harga murah di perkenalkan dalam pola makan baru yang dibawa oleh industri ini. 

Seiring berkembangnya industri makanan cepat saji, Mc D menjadi  pembeli terbesar ayam, babi, sapi, kentang, selad, tomat, di dunia. Kebutuhan ini membuka peluang bagi perusahaan penyedia daging. Pada tahun 1970 lima perusahaan daging sapi kemasan, mengontrol 25% dari pasar keseluruhan, sekarang empat perusahaan besar mengontrol 80% dari pasar keseluruhan. Bukan hanya dominasi pasar yang berubah, namun cara memproduksi makanan tersebut juga berubah.   

Tyson, misalnya, perusahaan pengepakan makanan terbesar di dunia. Industri ini mengubah bagaimana ayam di kembangkan. Bandingkan pada tahun 1950  dibutuhkan  70 hari untuk mengembangkan ayam sehingga siap potong, tahun 2008, hanya 48 hari saja sampai ayam siap untuk di potong. Dan lebih dari itu, perusahaan ini mendesain ulang ayam, sehingga menghasilkan daging dada yang lebih besar dibandingkan dengan ayam yang tumbuh secara alami. 

Nilai ekonomi yang luar biasa besar dalam industri pangan ini, membuat kuantitas produksi menjadi prioritas, tak peduli apakah makanan yang dihasilkan 'layak makan' atau tidak. Industri ini juga mengubah pola hubungan kemitraan dengan para peternak yang menjadi pemasok komoditas mereka. Perusahaan kemudian menciptakan ketergantungan dan sistem monopoli untuk bisa mengontrol para peternak dengan memberikan hutang bantuan modal. Petani/peternak akhirnya menjadi budak perusahaan. 

Faktanya  rata-rata setiap orang Amerika memakan 200 pound (atau 100kg) daging per tahun dan itu tidak mungkin bisa dipenuhi jika ternak tidak diberi pakan yang murah dan membuat ternak bisa lebih cepat di panen.

Dari penjelasan Michael Pollan penulis buku The Omnivore's Dilemma Secara alami sapi tidak diciptakan untuk memakan jagung. Sapi adalah pemakan rumput.Salah satu alasan kenapa mereka diberi makan jagung, karena jagung lebih murah dari rumput dan jagung dapat membuat sapi tumbuh dengan cepat dengan lemak yang lebih banyak. Meski konsekuensinya pertumbuhan bakteri e-coli bermutasi dalam tubuh sapi tumbuh lebih pesat dan kasus keracunana makanan karena bakteri e-coli menjadi kasus yang semakin banyak di jumpai dan tak jarang merenggut jiwa.

Makanan menjadi persoalan bagaimana para saintis merekayasa dan menemukan rasa yang mirip dengan makanan aslinya. Dan Larry Johnson dari Center for Crops Utilization Research IOWA State University menyatakan bahwa pada saat ini hampir 90% makanan kemasan yang ada di supermarket mengandung jagung dan kedelai. jagung menajdi bahan dasar dari berbagai jenis makanan: saus, keju, krim, batere (!!), selai kacang, saus salad, coca cola, krim keju, jeli, gula rendah kalori, sirup, jus, pampers, fast food. dan tak ketinggalan bahwa jagung adalah bahan utama untuk pakan ternak. 

Industri pangan ini selalu berusaha menemukan cara untuk lebih efisien, namun setiap langkah efisiensi yang mereka tempuh, selalu membawa masalah baru. Misalnya sapi yang selama ini digemukkan dengan pakan jagung, kemudian ternak ini melakukan diet jagung dan diberi makan rumput selama 5 hari, maka ternak-ternak ini akan menumpahkan 80% dari bakteri E-coli di dalam usus mereka. Alih-alih industri melakukan upaya alamiah untuk meningkatkan kualitas daging sapi, mereka justru memilih melakukan pendekatan yang lebih sistematis dengan pendekatan teknologi dengan mencampurkan amoniak dan amoniak hidroksida untuk membunuh bakteri e-coli dengan cara mencampurkannya ke dalam daging yang sudah di potong. 

Fakta lain yang dihadapi oleh negara maju: Banyak warga di negara maju, seperti Maria Gonzales tidak lagi memikirkan apakah makanan yang mereka makan sehat atau tidak. Mereka lebih memilih makananan cepat saji daripada memasak sendiri makanan yang mereka makan karena persoalan waktu, karena bagi warga imigran seperti Maria Gonzales, waktu adalah uang. Selain itu, harga makanan kemasan yang jauh lebih murah daripada makanan segar, membuat pola makan kebanyakan orang berubah dan menciptakan ketergantungan lebih besar pada makanan siap saji yang telah di rekayasa. Itu pula sebabnya 1 dari 3 orang anak amerika yang lahir setelah tahun 2000 berpotensi mengidap diabetes. 

Kerita NAFTA membuat hampir sejuta petani jagung di Meksiko kehilangan mata pencahariannya karena jagung yang mereka hasilkan tidak dapat bersaing dengan jagung murah dari amerika. Para petani yang kehilangan pekerjaan ini terpaksa menjadi imigran gelap dan di rekrut oleh perusahaan pengolahan dan pengepakan daging di amrika dengan upah yang murah. Pemerintah amerika selama bertahun-tahun tutup mata terhadap persoalan para imigran gelap yang bekerja di perusahaan pengolahan daging itu. Mereka bahkan membuat kesepakatan untuk merazia dan menangkap 15 orang imigran gelap per hari, karena itu tidak akan mempengaruhi produktivitas perusahaan2 itu. Pemerintah sendiri enggan menindak perusahaan dan lebih memilih menekan para pekerja gelap itu. 

Tahun 1980 Mahkamah Agung Amerika membuat UU tentang paten terhadap mahluk hidup dan UU ini memberi peluang untuk mempatenkan berbagai jenis tanamanan sebagai sumber pangan.  Salah satunya adalah apa yang dilakukan oleh Monsanto Corporation, sebuah perusahaan kimia yang memproduksi DDT, Agent orange zat kimia yang dipakai untuk membunuh di Vietnam, dan mereka mengembangkan produk yang mereka sebut sebagai "Round Up",  zat yang digunakan untuk menyemprot bibit kedelai tahan hama. 

Tahun 1996, Monsanto mulai memasarkan bibit kedelai Roundup ini dan hanya 2% dari kedelai yang ditanam menggunakan paten yang diproduksi oleh Monsanto ini. Pada perkembangannya tahun 2008, lebih dari 90% kedelai yang ditanam di Amerika menggunakan bibit yang telah dipatenkan oleh Monsanto. Sekarang setiap petani kedelai dilarang menggunakan  bibit mereka sendiri, karena jika hal itu sampai terjadi, orang-orang dari Monsanto akan mendatangi dan mengintimidasi petani. Petani mau tidak mau harus menggunakan bibit yang telah di patenkan oleh Monsanto, jika ada yang melanggar, petani dapat dikenai tuduhan pelanggaran paten. Monsanto mengontrol para petani untuk memproduksi bibit kedelai mereka sendiri. 

Pollan mengatakan apa yang dilakukan oleh Monsanto persis seperti yang dilakukan Microsoft dalam soal hak kekayaan intelektual. Dan kini di Amerika hampir tidak ada lagi yang disebut dengan bibit milik publik, semua telah di patenkan dan petani harus tunduk terhadap paten tersebut. Monsanto mengontrol produksi kedelai dari benih sampai ke supermarket. 


Bukan hanya kontrol terhadap para petani, Monsanto juga menempatkan orang-orangnya dalam posisi penting pemerintahan amerika. Sebut saja Clarence Thomas, ketika MA yang menjabat sejak tahun 1991, sebelumnya dia adalah pengacara perusahanan untuk Monsanto, Dia lah yang mengambil keputusan penting tentang aturan perundang-undangan pengaturan benih dalam pertanian di Amerika. Dia punya peranan penting dalam pelarangan petani Amerika memiliki tabungan benihnya sendiri. Selain itu, orang-orang Monsanto sangat dekat dengan sistem administrasi pemerintahan Amerika sejak 25 tahun terakhir. Para penguasa ini dengan kekuasaannya justru menentang dan menekan petani, buruh dan menjadi bagian dari konspirasi untuk menyembunyikan kenyataan sesungguhnya tentang industri makanan. 

Efisiensi lewat jumlah varietas tanaman yang terbatas (hanya bibit yang telah terbukti produktivitas tinggi saja yang dikembangkan), penguasaan hak oleh sedikit perusahaan, bukannya tanpa resiko, sistem kontrol yang memberi hak istimewa pada segelintir orang  ini justru sangat riskan terhadap setiap guncangan yang ada. Tanpa di sadari, industri pangan ini memiliki ketergantungan yang sangat besar pada minyak bumi, karena seluruh mesin produksinya dijalankan dengan menggunakan bahan bakar minyak. Otomatis,guncangan harga minyak bumi di pasaran dunia dapat mempengaruhi stabilitas industri pangan.

Monopolistik industri pangan multinasional ini, tidak hanya menciptakan ketergantungan di negara tempat industri ini berada: Amerika, tapi juga menciptakan ketergantungan pangan dunia pada pada industri ini. Ketahanan pangan dunia sangat dipengaruhi oleh stabilitas industri pangan multinasional ini. Sifatnya yang monopolistik dengan didukung oleh regulasi dan UU Amerika yang ekspansif ke seluruh dunia, justru merusak kemampuan setiap negara untuk membangun sendiri ketahanan pangan mereka. 

Indonesia adalah contoh kongkrit. Selain pemerintahnya yang disetir oleh kekuatan modal asing, membuat Indonesia yang kaya dengan keragaman pangan terpaksa harus menurut pada sistem penyeragaman industri pangan multinasional ini. 

Di akhir film, justru Kenner memberikan tawaran jalan keluar yang siapapun bisa melakukannya: Pemberdayaan konsumen. Semua hegemoni industri pangan ini akan terpatahkan jika konsumennya sadar dan menuntut industri jujur terhadap produk makanan yang mereka sajikan. Karena industrialisasi panganlah yang menyebabkan manusia kehilangan hubungan yang paling sublim: pengetahuan tentang asal usul makanan yang kita makan selama ini. 

Di Amerika, jalan tengah yang dilakukan oleh sebagaian kelompok yang mempedulikan soal kualitas makanan ini adalah dengan membangun industri tandingan: makanan organik dan mendistribusikan pilihan tersebut melalui Wall Mart. Konsumen kemudian diberi pilihan, meski harus mengeluarkan biaya ekstra. Bagaimanapun juga jika kita mau jujur, makanan murah yang kita makan selama ini, tidaklah semurah yang di bayangkan jika kita tambahkan biaya lingkungan, biaya kesehatan.Saat ini sangat sulit untuk bilang bahwa makanan yang benar-benar sehat itu bisa kita beli dengan harga yang murah. 

Bagaimana dengan di Indonesia? sebuah negeri yang sangat kaya dengan keragaman hayati dan berbagai macam varietas tanaman pangan? Pemahaman yang kuperoleh ketika menonton film ini untuk kesekian kalinya adalah pangan adalah masalah identitas. You are what you eat. Ketika kita lebih memilih produk-produk organik impor sebagai jaminan makanan sehat daripada produk lokal yang ditumbuhkan oleh petani lokal, berarti ada persoalan dengan cara kita mendefinisikan diri. Pilihan kita terhadap makanan, juga adalah pilihan atas keberpihakan kita. Sebelum berkoar-koar dan protes tentang betapa impotennya pemerintah kita dalam membangun ketahanan pangan, mari kita cek dulu pilihan-pilihan kita dan bagaimana kita mendefinisikan diri kita sendiri lewat makanan yang kita makan. 



Comments

nice review mba, saya ga tau ada film ini:( baru ntn film yg fast food nation

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa