Skip to main content

#30hari30film Shame (2011) "We're Not Bad People. We Just Come From a Bad Place"


Sutradara: Steve McQueen
* * * *

Pertama-tama perlu kukatakan bahwa film ini buatku termasuk dalam kategori film yang menimbulkan efek samping: gangguan perasaan sesudah menontonnya. Bukan semata-mata karena Michael Fassbender menjadi pecandu seks di film ini yang membuat dia tampil full frontal nude, tapi juga karena keseluruhan filmnya memang berhasil mengganggu.

Berkisah tentang Brandon (Michael Fassbender), lelaki tiga puluhan, New Yorker kelas menengah  yang sukses, dengan pekerjaan mapan, apartemen di daerah upper west side, ganteng, charming dan selalu dengan mudah memikat hati perempuan. Nyaris sempurna. Kecuali satu hal bahwa ia kecanduan seks. Bisa di manapun, kapanpun dan dengan siapapun bahkan dengan dirinya sendiri. Sampai-sampai komputer di tempat kerjanya, berkali-kali harus dibersihkan dari serangan virus ganas akibat terlalu sering mengakses situs-situs dan layanan porno via online. Tapi jangan buru-buru mengira ini film semata-mata tentang seks. Bukan itu. Setiap adegan seks di film ini justru menjadi gambaran tragedi yang dialami tokohnya. Selain itu, film ini juga menggambarkan bagaimana kakak beradik berusaha mengatasi kepahitan masa lalu mereka dengan cara dan kerapuhannya masing-masing.

Steve McQueen sutradara asal Inggris ini,  menggambarkan kekosongan tokohnya dengan sangat baik. Perjalanan Brandon di atas subway, malam hari setelah petualangan seksnya. Perjumpaan Brandon dengan wajah-wajah keseharian, mempertegas kehampaannya di tengah keramaian sekelilingnya.
Juga ketika berada di dalam apartemennya yang begitu 'clean' dan malam-malam yang Brandon habiskan untuk menikmati situs porno atau memuaskan dirinya sendiri.

Mengingatkanku pada rasa kesepian yang pernah sekali dua kali mampir saat merasakan tinggal di tengah hingar bingar New York yang tidak pernah tidur. Sampai-sampai temanku yang tinggal lama di kota ini berseloroh: 'Kamu bisa menemukan hiburan apapun di kota ini, tapi dengan mudah kota ini membuatmu merasa kesepian.Ya, aku menemukan secuplik rasa yang sama itu pada tokoh Brandon.

McQueen menggambarkannya  New York yang gelap, riuh sekaligus hampa dengan visual yang cukup puitik. Sehingga semua adegan seks dengan perempuan-perempuan yang muncul sepintas lalu di film ini menjadi representasi kekosongan atas kepuasan yang selama ini Brandon cari, namun tak pernah berhasil ia temukan. Juga bagaimana McQueen menampilkan kesunyian Brandon dari gambar-gambar ketika Brandon membelakangi kamera atau tercenung dalam ruangan-ruangan sepi dan sendiri.

Kehadiran Sissy (Carey Mulligan), adik perempuan Brandon yang begitu labil, mengarahkan cerita pada kenyataan bahwa dua orang kakak beradik ini memiliki kekosongan yang sama dan mereka isi dengan cara berbeda. Adegan ketika Sissy menyanyikan lagu New York New York di sebuah klab tempat ia bekerja, begitu syahdu dan terdengar getir. Hubungan emosional kakak dan adik digambarkan dengan sangat kuat di adegan ini, saat Brandon meneteskan air mata mendengarkan adiknya menyanyi. Mereka seperti sedang merasakan kepedihan dan kekosongan yang sama yang selama ini mereka sangkal.

Sissy mewakili perempuan yang sangat ingin di cintai dan bergantung secara emosional pada pasangannya. Ia akan memohon-mohon untuk kembali ketika pasangannya meninggalnya. Sementara Brandon, justru sangat anti pada hubungan. Justru saat ia menemukan perempuan yang ingin serius berhubungan dengannya, Brandon malah tidak bisa bercinta dengannya. Bagi Brandon, seks tidak lagi terasa sebagai upaya menemukan keterhubungan yang intim, tapi seks justru candu yang melumpuhkannya untuk bisa menemukan keterhubungan emosi yang sublim.

McQueen memilih untuk tidak cerewet dan gamblang dalam menceritakan asal-usul persoalan tokoh-tokohnya. Yang ia ceritakan adalah Brandon dan Sissy pada saat ini. Masa lalu mereka hanya cukup dijelaskan dengan satu kalimat yang diucapkan Sissy di mesin perekam pesan di apartemen Brandon: "We're not bad people. We just come from a bad place." Menurutku kalimat itu cukup kuat untuk menjelaskan semuanya, selebihnya ekspresi kekosongan yang mereka alamilah yang menjelaskan seberapa buruk tempat mereka berasal hingga menimbulkan kehampaan jiwa sebesar itu. Penonton bisa mengira-ngiranya sendiri.

McQueen membawa pada pemahaman bagaimana laki-laki lebih cenderung menelan sendiri kepahitan-kepahitan dalam hidupnya dan mencoba menaklukkan kepedihannya dengan menjadikan seks dengan sebanyak mungkin perempuan sebagai upaya penaklukan itu. Meski dalam karakter Brandon, semakin berupaya menaklukkan, semakin besar kekosongan dan kepedihan itu. Fassbender dengan sangat baik mengekpresikan kepedihan itu pada saat seks mencapai klimaksnya. Bagiku, seluruh adegan seks yang dilakukan Brandon seperti adegan pemerkosaan. Brandon diperkosa oleh candu rasa hampa yang tidak pernah membuatnya menemukan pengisi kekosongan itu. Untuk aktingnya di film ini, Fassbender mendapatkan banyak nominasi di berbagai festival termasuk  sebagai aktor terbaik Golden Globe Award 2012. Serta mendapatkan banyak pujian dari para kritikus.

Sementara lewat Sissy, McQueen mencoba menggambarkan bagaimana perempuan cenderung menyakiti dirinya sendiri, menyalahkan dirinya sendiri atas kepedihan yang tidak pernah ia inginkan, lewat percobaan-percobaan bunuh diri yang ia lakukan. Kemudian hubungan mereka sebagai kakak adik dengan kepahitan yang sama  di masa lalu, berusaha membereskannya dengan cara masing-masing, karena si kakak menolak untuk berengkuhan dan menyelesaikan kepahitan itu bersama-sama.

Kurasa, dialog ini antara Sissy dan Brandon dalam film ini mencerminkan betapa rapuhnya dua orang kakak beradik ini, mereka seperti korban kapal karam, terapung-apung di lautan. Berusaha saling menolong dalam ketakutan dan keputusasaan.

Sissy: I'm trying, I'm trying to help you.
Brandon: How are you helping me, huh? How are you helping me? How are you helping me? Huh? Look at me. You come in here and you're a weight on me. Do you understand me? You're a burden. You're just dragging me down. How are you helping me? You can't even clean up after yourself. Stop playing the victim.
Sissy:  I'm not playing the victim. If I left, I would never hear from you again. Don't you think that's sad? Don't you think that's sad? You're my brother. 

Sampai akhir film, McQueen tidak berusaha menyimpulkan apa-apa  dan memutuskan apapun dengan tokoh-tokohnya. Ia seperti menyajikan sepenggal kisah kehidupan Brandon dan Sissy tanpa perlu menambahkan prolog dan epilog.

Yang aku sukai dari film-film dengan cerita seperti ini, apalagi ketika sutradaranya sangat paham apa dan bagaimana mengisahkannya juga ketika aktor-aktornya sangat mengerti bagaimana memerankannya, adalah  penonton bisa mendapatkan referensi perasaan yang tidak ia dapatkan dari pengalaman hidupnya sehari-hari. Bahwa ada berbagai macam kekosongan dan ada berbagai cara untuk mengisinya, dari yang paling positif sampai paling negatif sekalipun. Film seperti ini menjadi semacam referensi tentang perbendaharaan perasaan manusia yang berjuta-juta ragam dan rasa itu. Dan biasanya sutradara yang berhasil menurutku, adalah yang bisa menghadirkan perbendaharaan itu dengan cara yang manusiawi, wajar, tidak melebih-lebihkan dan menyerahkan kesimpulan pada pemahaman penonton. Kurasa, Steve McQueen lewat film ini, termasuk sutradara yang berhasil menambah perbendaharaan itu.



Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa