gambar di ambil dari sini * * * Sutradara Edwin |
Bocah perempuan itu bernama Lana. Kebun Binatang kemudian menjadi tepat ia tumbuh dewasa, bersama jerapah, harimau, leopard, beruang madu, ular-ular dan para penghuni resmi maupun tidak resmi, Kebun Binatang Ragunan. Bapak yang ia panggil-panggil dulu, tak pernah menampakkan diri hingga ia besar. Lana menjadi gadis yang tumbuh dan dibesarkan oleh Kebun Binatang Ragunan beserta seluruh penghuninya.
Cerita memang tidak berhenti sampai di situ. Di Kebun Binatang inilah, Lana bertemu dengan tokoh-tokoh absurd: Om Dave (diperankan Dave Lumenta yang dalam kehidupan nyata adalah doktor antropologi sekaligus seniman soundscape), penduduk gelap yang tidak di ceritakan dengan jelas apa yang sesungguhnya ia lakukan di situ (penonton hanya bisa menebak-nebak: mungkin ia peneliti karena sibuk merekam suara-suara binatang atau entahlah..), sementara Mas Tukang Sulap (diperankan Nicolas Saputra), muncul sebagai koboi misterius jago sulap yang kemudian membawa Lana keluar dari Kebun Binatang itu, lalu menghilang ketika masuk ke dalam sebuah kotak.
Di film ini, mas koboi pesulap adalah jembatan bagi Lana untuk keluar masuk antara dunia Kebun Binatang dan dunia manusia yang memuja nafsu kebinatangan lewat petualangan Lana bekerja di panti pijat plus plus.
***
Terus terang aja, bukan hal mudah untuk mengerti apa yang diinginkan Edwin dengan film ini. Penonton termasuk aku, menebak-nebak dalam alur logika yang terpotong-potong. Dan menimbulkan perasaan kebingungan tak tentu arah dalam pikiran penonton tentang apa yang sesungguhnya ingin diceritakan oleh Edwin. Apakah ini sebuah kebingungan yang disengaja? biar filmnya terasa lebih 'nyeni' atau kebingungan yang ditimbulkan akibat cacat logika? Dalam tanya jawab yang dilakukan setelah pemutaran film berlangsung, lewat Skype, Edwin menjawab: "Ya, film kan tidak selamanya harus dimengerti." Jawaban yang menurutku cukup egois, karena mestinya ada jawaban atau argumentasi lain yang lebih bisa membangun dialog dengan penonton. Jika pertanyaan yang muncul masih berkutat pada 'jadi pesan yang ingin disampaikan oleh film ini sebenarnya apa?' itu berarti belum berhasil membangun jembatan komunikasi antara kreator dan penikmatnya. Karena pertanyaan yang ditanyakan masih sangat mendasar.
Bagiku kemudian, film ini seperti menceritakan tentang Lana dalam kiriman-kiriman kartu pos. Sepotong-potong tentang Lana, seperti halnya orang berkirim kabar lewat kartu pos. Pada kartu pos, aku seringkali lebih terpukau pada gambar kartu posnya itu sendiri bahkan perangko dan capnya daripada isinya. Biasanya karena kabarnya terlalu pendek dan sekedar permukaan belaka, sapaan basa-basi, atau kalimat-kalimat yang ga utuh sebagai sebuah kisah yang dikabarkan. Terasa banyak bagian yang hilang dan tidak utuh, ketika ingin membaca sebuah kisah pada kumpulan kartu pos. Misalnya saja soal perpindahan waktu antara Lana kecil dan Lana besar. Aku merasakan kekacauan yang waktu pada perpindahan ini, mengapa? karena Dave Lumenta yang hadir pada saat Lana kecil, masih sama dengan Dave Lumenta ketika Lana dewasa. Apakah hanya Lana yang tumbuh dan berkembang? bagaimana dengan tokoh Dave tidak menua sama sekali. Ketidak konsistenan ini menurutku, mengacaukan pemahaman penonton.
Meski demikian, menurutku penggarapan artistiknya bagus. Suasana yang dibangun di Postcard from the Zoo mengingatkanku pada film 'Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Live' (2010) yang berhasil menyabet film terbaik di Festival Film Cannes 2010. Cuma lagi-lagi persoalan bercerita yang seringkali mengganggu. Banyak kok cerita-cerita absurd yang dibangun dengan ketaatan pada logika. Dan kurasa akan sangat percuma, jika membuat film dengan susah payah, kemudian membiarkan penontonya ga menangkap maksud si pembuatnya.
Comments