Skip to main content

Postcards From The Zoo: Lana Dalam Kumpulan Kartu Pos

gambar di ambil dari sini

* * *
Sutradara Edwin
Seorang bocah perempuan celingukan dengan ransel mungilnya, memanggil-manggil "bapak! bapak!" namun yang dipanggil tidak sedikitpun menyahut apalagi menampakkan batang hidungnya. Si bocah yang mirip Dora the Explorer itu, terus mencari bapaknya dari kandang ke kandang, menjelajah kebun binatang, sampai larut malam hingga pagi, tanpa tangis tanpa ketakutan. Kebun Binantang seperti dunia baru yang ia temukan dan ia jelajahi dengan kepolosannya, jengkal demi jengkal dengan kaki mungilnya. Begitulah adegan pembuka film garapan sutradara Edwin yang diberi judul Postcard from The Zoo.

Bocah perempuan itu bernama Lana. Kebun Binatang kemudian menjadi tepat ia tumbuh dewasa,  bersama jerapah, harimau, leopard, beruang madu, ular-ular dan para penghuni resmi maupun tidak resmi, Kebun Binatang Ragunan. Bapak yang ia panggil-panggil dulu, tak pernah menampakkan diri hingga ia besar. Lana menjadi gadis yang tumbuh dan dibesarkan oleh Kebun Binatang Ragunan beserta seluruh penghuninya.

Cerita memang tidak berhenti sampai di situ. Di Kebun Binatang inilah, Lana bertemu dengan tokoh-tokoh absurd: Om Dave (diperankan Dave Lumenta yang dalam kehidupan nyata adalah doktor antropologi sekaligus seniman soundscape), penduduk gelap yang tidak di ceritakan dengan jelas apa yang sesungguhnya ia lakukan di situ (penonton hanya bisa menebak-nebak: mungkin ia peneliti karena sibuk merekam suara-suara binatang atau entahlah..), sementara Mas Tukang Sulap (diperankan Nicolas Saputra), muncul sebagai koboi misterius jago sulap yang kemudian membawa Lana keluar dari Kebun Binatang itu, lalu menghilang ketika masuk ke dalam sebuah kotak.

Di film ini, mas koboi pesulap adalah jembatan bagi Lana untuk keluar masuk antara dunia Kebun Binatang dan dunia manusia yang memuja nafsu kebinatangan lewat petualangan Lana bekerja di panti pijat plus plus.

***

Terus terang aja, bukan hal mudah untuk mengerti apa yang diinginkan Edwin dengan film ini. Penonton termasuk aku, menebak-nebak dalam alur logika yang terpotong-potong. Dan menimbulkan perasaan kebingungan tak tentu arah dalam pikiran penonton tentang apa yang sesungguhnya ingin diceritakan oleh Edwin. Apakah ini sebuah kebingungan yang disengaja? biar filmnya terasa lebih 'nyeni' atau  kebingungan yang ditimbulkan akibat cacat logika? Dalam tanya jawab yang dilakukan setelah pemutaran film berlangsung, lewat Skype, Edwin menjawab: "Ya, film kan tidak selamanya harus dimengerti." Jawaban yang menurutku cukup egois, karena mestinya ada jawaban atau argumentasi lain yang lebih bisa membangun dialog dengan penonton. Jika pertanyaan yang muncul masih berkutat pada 'jadi pesan yang ingin disampaikan oleh film ini sebenarnya apa?' itu berarti belum berhasil membangun jembatan komunikasi antara kreator dan penikmatnya. Karena pertanyaan yang ditanyakan masih sangat mendasar.

Bagiku kemudian, film ini seperti menceritakan tentang Lana dalam kiriman-kiriman kartu pos.  Sepotong-potong tentang Lana, seperti halnya orang berkirim kabar lewat kartu pos. Pada kartu pos, aku seringkali lebih terpukau pada gambar kartu posnya itu sendiri bahkan perangko dan capnya daripada isinya. Biasanya karena kabarnya terlalu pendek dan sekedar permukaan belaka, sapaan basa-basi, atau kalimat-kalimat yang ga utuh sebagai sebuah kisah yang dikabarkan. Terasa banyak bagian yang hilang dan tidak utuh, ketika ingin membaca sebuah kisah pada kumpulan kartu pos. Misalnya saja soal perpindahan waktu antara Lana kecil dan Lana besar. Aku merasakan kekacauan yang waktu pada perpindahan ini, mengapa? karena Dave Lumenta yang hadir pada saat Lana kecil, masih sama dengan Dave Lumenta ketika Lana dewasa. Apakah hanya Lana yang tumbuh dan berkembang? bagaimana dengan tokoh Dave tidak menua sama sekali. Ketidak konsistenan ini  menurutku, mengacaukan pemahaman penonton.

Meski demikian, menurutku penggarapan artistiknya bagus. Suasana yang dibangun di Postcard from the Zoo mengingatkanku pada  film 'Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Live' (2010) yang berhasil menyabet film terbaik di Festival Film Cannes 2010. Cuma lagi-lagi persoalan bercerita yang seringkali mengganggu. Banyak kok cerita-cerita absurd yang dibangun dengan ketaatan pada logika. Dan kurasa akan sangat percuma, jika membuat film dengan susah payah, kemudian membiarkan penontonya ga menangkap maksud si pembuatnya.

Comments

Popular posts from this blog

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...

Ketika Menjadi Aktivis Adalah Hobi

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Pro Aktif Online Hobi seperti apakah yang cocok untuk para aktivis? Pertanyaan ini muncul ketika saya diminta menulis soal hobi untuk para aktivis untuk laman ini. Saya kira, siapa pun, dari latar belakang apapun, baik aktivis maupun bukan, bisa bebas memilih hobi untuk dijalaninya. Karena hobi adalah pilihan bebas. Ia menjadi aktivitas yang dikerjakan dengan senang hati di waktu luang. Apapun bentuk kegiatannya, selama aktivitas itu bisa memberikan kesenangan bisa disebut hobi.  Sebelum membicarakan bagaimanakah hobi untuk para aktivis ini, saya akan terlebih dahulu membicarakan soal hobi, terutama yang hobi yang merupakan keterampilan tangan. Selain memberikan kesenangan, aktivitas ini bisa melatih kemampuan motorik dan keahlian dalam membuat sesuatu. Misalnya saja menjahit, merajut, automotif, pertukangan, apapun kegiatan yang membutuhkan keterampilan tangan.  Banyak orang merasa, aktivitas ini terlalu merepotkan untuk dilakukan,...

Perjumpaan Cara Pandang Berbeda Dalam 'Kultur Membuat'

Jika dirunut lebih jauh kultur membuat ini, sesungguhnya tidak pernah bisa dilepaskan dari kehidupan   keseharian sejak dahulu kala. Semua pengetahuan tradisional (di barat dan di timur) dengan teknonologi sederhana, aplikatif dan kebijaksanaan terhadap lingkungan sekitarnya, menciptakan gaya hidup yang seimbang lahir, batin juga dengan lingkungan sekitarnya. Masyarakat tradisional memiliki pengetahuan dan cara untuk menemukan keadilan hidup yang selaras dengan lingkungan. ‘Membuat’ bukan semata-mata memenuhi tuntutan seseorang untuk menjadi ‘produktif’, namun lebih jauh dari itu, ‘membuat’ membangun ideologi dan pemenuhan diri secara spiritual dimana ‘membuat’ memberi perasaan berdaya kepada setiap individu yang melakukannya. Membuat juga menciptakan pemahaman akan proses yang membutuhkan waktu, tolerasi atas kegagalan, juga kesadaran bahwa sesuatu itu tidak bisa diperoleh dengan cara instan. Sikap seperti ini yang menumbukan kemampuan untuk menjaga diri dari keserakahan. Nam...