Skip to main content

#30hari30film Bill Cunningham New York (2010): Merekam Jejak Sang Fotografer Jalanan

Dokumenter. 
Sutradara Richard Press
* * * *

Bill Cunningham memberi pelajaran berharga tentang bekerja dengan passion. Fotografer yang mendedikasikan hidupnya memotret fashion jalanan kota New York ini, menghampiriku lewat dokumenter berjudul Bill Cuningham New York yang dibesut Richard Press. Cunningham_ Opa-opa berusia lebih dari 80 tahun, bekerja untuk harian The New York Times. Foto-fotonya yang muncul di halaman akhir pekan, seperti sebuah ramalan: Apa yang dipotret Cunningham hari ini, akan menjadi trend fashion dunia dalam beberapa bulan ke depan. 

Sosoknya begitu mengejutkan bagiku: charming, penuh semangat, bersahaja dan taat pada keyakinannya, begitu down to earth, kemana-mana naik sepeda. Tidak suka hal-hal yang fancy, up scale dan mahal. Sangat bertolak belakang dengan dunia fashion dan teman-temannya  dari kalangan sosialita New York, Paris, yang begitu glamour dan superfisial. Sepanjang hidupnya, Cunningham mengaku tidak pernah terlibat dengan hubungan romantis dengan perempuan manapun. Sebagai pemeluk khatolik yang taat, agama menjadi panduan penting dalam hidupnya. Wajahnya berubah serius ketika membicarakan soal ini.

"Fashion itu seperti senjata ketika manusia berperang menghadapi realitas hidup yang keras dan pahit. Lewat fashion, kita bisa melihat bagaimana dia bisa  bertahan hidup," pandangan itulah yang kemudian mendasari Cunningham, tak pernah bosan memotret fashion dari jalanan, cat walk, sampai sosialita masyarakat New York. Bagi sebagian orang, Cunningham menjadi pencatat perkembangan fashion yang begitu tekun dan fokus. Cunningham tidak pernah tertarik dengan gaya hidup orang-orang di dunia fashion, selebritas atau glamournya dunia fashion. Hal ini ia buktikan dengan disetiap acara gala atau pesta-pesta perayaan kalangan fashionista New York, Cunningham tidak pernah meneguk setetespun atau mencicipi secuil pun hidangan yang mereka sajikan. "Saya datang untuk bekerja, bukan untuk berpesta, " jelas Cunningham tentang kebiasaannya itu. Cunningham hanya tertarik pada fashion sebagai pakaian yang menandai bagaimana seseorang berkembang dan bertahan hidup. Tidak lebih dan tidak kurang. 

Menurutku, Richard Press berhasil membuat penontonnya memahami sekaligus merasakan passion Bill Cunningham dengan pekerjaannya itu. Seperti sebuah feature profil, Press berhasil menguak banyak sisi Cunningham yang selama ini tidak banyak orang mengetahuinya, lewat footage-footage yang akrab namun tetap menjunjung tinggi privasi Cunningham. Aku sendiri juga ga tau, siapa itu Cunningham sebelum menonton dokumenter ini. Setelah menontonnya, aku merasakan passion yang sedemikian besar itu dan terinspirasi olehnya. Bagi yang mendambakan bekerja dengan penuh passion, integritas, totalitas dan profesionalitas, Bill Cunningham lewat film ini bisa jadi salah satu teladan. 

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa