Skip to main content

Mwathirika dan Rasa Kehilangan yang Universal

Foto dokumentasi Papermoon Puppet Theatre by Arul

Yang seringkali hilang, itu karena kita seringkali enggan membicarkannya dan menganggap seolah-olah hal itu tidak pernah ada. Mwathirika, sebuah pementasan teater boneka, garapan Papermoon Puppet Theatre, sebuah kelompok teater boneka asal Yogjakarta, mencoba mengangkat sejarah kehilangan dan kehilangan sejarah. Pementasan yang digelar di auditorium IFI (Institut Francais Indesia), Bandung, 15 -16 Juni lalu, sesak dan padat oleh penonton dan juga kesan yang ditinggalkannya.

Kisahnya sederhana saja. Tentang dua orang kakak adik Tupu dan Moyo juga ayah mereka yang bertangan satu, Baba. Mereka bertiga bertetangga dengan Haki, seorang ayah yang tinggal berdua saja dengan anak perempuannya yang pemalu dan duduk di kursi roda_ Lacuna. Di awal pertujukan, penonton diberi tahu, bahwa Mwathirika dipersembahkan untuk korban peristiwa 1965 dan semua korban dari kekacauan politik yang ada diseantero jagat. Adegan dibuka dengan  pemutaran video di layar lebar seorang orator, berpropaganda tanpa kata-kata dengan penuh semangat. Lima orang pemain boneka muncul dengan topeng dan balon-balon merah di tangan, menyambut sang orator dengan gegap gempita, memberi gambaran besar situasi sosial dimana ideologi dirayakan sedemikian rupa pada saat itu.

Seperti hari-hari yang lain, kehidupan Tupu dan Moyo seperti layaknya kehidupan anak-anak pada umumnya. Kakak adik ini bermain, bercanda, berselisih dalam semangat persaudaraan dimana yang satu menjaga yang lain. Kehadiran tetangga menggenapi semangat tenggang rasa, saling membantu satu sama lain. Gegap gempita ideologi bagi mereka adalah kemeriahan badut keliling, hiburan kampung yang mereka nikmati apa adanya dan tanpa curiga.

Sampai suatu malam, keributan yang tak jelas asal usulnya, mengubah nasib kedua keluarga itu kearah yang sama sekali berbeda. Entah siapa yang melakukannya dan dengan alasan apa.  Baba menemukan pintu rumahnya, ditandai dengan gambar segitiga merah. Ia mencoba membersihkannya namun tidak berhasil. Sementara Baba tidak menemukan tanda yang sama di pintu rumah Haki.

Ternyata tanda bukan sekedar bentuk tanpa makna. Segitiga merah berarti tanda afiliasi pada apa yang diwakili oleh tanda itu. Seperti halnya tanda bintang daud yang diterakan pada orang-orang Yahudi pada zaman pendudukan Nazi, di Eropa. Ketika gegap gempita ideologi merah berakhir, tesingkir oleh ideologi baru dan semua yang berafiliasi dengan tanda merah itu harus menyingkir pula, di sinilah tragedi dimulai.

Saat ideologi baru, ingin menghapus semua tanda ideologi merah yang dianggap berafiliasi kepadanya, setiap orang mencari selamat. Semangat tenggang rasa menguap entah kemana. Dua orang tentara datang dan bertanya pada Haki, siapakah pemilik rumah bertanda segitiga merah itu? Haki menunjuk Baba. Yang ditunjuk sedang sibuk membetulkan mainan anak bungsunya, Tupu. Tentara itu meminta Baba ikut bersama mereka. Moyo sebagai anak tertua merasa masalah menghampiri mereka. Namun ia tak kuasa ketika ayahnya dibawa oleh tentara.

Dalam kebisuan pertunjukan Mwathirika, penonton dibawa dalam suasana mencekam yang menghinggapi Tupu dan Moyo. Bahkan Haki, tetangga mereka yang selama ini begitu baik pun, tak lagi membolehkan Lacuna bermain bersama mereka setelah Baba pergi. Hari berganti-hari, kakak beradik ini menunggu kepulangan ayah mereka, namun setelah berbulan-bulan menunggu dan mencari, yang ditunggu seperti hilang di telan bumi.

Keceriaan Tupu berganti dengan kemuraman dan harapan yang semakin tipis untuk bertemu ayah mereka kembali. Suara peluit yang biasa Tupu bunyikan penuh semangat, semakin lirih dan getir terdengar. Sementara di luar sana, semua orang yang ditandai, di sukabumikan satu persatu. Lalu Baba? Entahlah.

Mwathrika diambil dari bahasa Swahili yang artinya ‘korban’. Lewat tokoh anak kecil Tupu dan Moyo, perasaan korban tampil lebih universal dengan kegetiran, kesedihan, keperihan dan tragedi yang bisa dirasakan siapa saja. Dengan penggarapan artistik yang pas, cerita yang fokus dan tidak berlebihan, Papermoon justru berhasil menemukan kekuatan sebagai pertunjukan yang memukau dan menggedor rasa para penontonnya. Usai pertunjukan keharuan dan perasaan sesak tergambar jelas di wajah para penonton. “ Kebayang kalau anak saya mengalami apa yang dialami Tupu dan Moyo, “ ungkap Elin, salah satu penonton yang juga ibu dari dua anak. Mata Elin terlihat sembab usai keluar dari auditorium.

Maria Tri Sulistyani atau yang akrab dipanggil Ria bersama suaminya, Iwan Effendi yang juga perupa, mengawali Papermoon Puppet Theatre pada tahun 2006 lewat pementasan boneka untuk anak-anak di kampung tempat mereka tinggal. Dalam perkembangannya, teater boneka menjadi media eksperimen seni bagi publik dan persoalan yang lebih luas, termasuk pula mengangkat tema sejarah 1965 yang untuk sebagian orang masih dianggap sangat sensitif. “Selama ini, kita hidup dalam ketakutan atas mitos sejarah masa itu. Itu yang bikin kita enggan membicarakan dan mempelajarinya, padahal tanpa mengetahuinya, kita tidak akan pernah memahaminya dan bukan tidak mungkin sejarah yang sama bisa terulang kembali,” jelas Iwan mengenai tema 1965. September mendatang, Papermoon akan menggelar pentas keliling Mwathrika di Amerika Serikat.  *** Tarlen Handayani

Tulisan ini dimuat di lembar Khazanah, Harian Pikiran Rakyat, 24 Juni 2012

Comments

kuwacikecil said…
trimakasih mbak tarleeen!! ghiks...

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa