Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2006

Katanya, "Life Begin at Forty!"

Kata banyak orang, laki-laki baru mulai merasa hidup ketika masuk usia 40. Mmm.. benarkah? Ketertarikanku pada laki-laki 40 tahun ke atas, membuatku membuka-buka apa yang ditulis Elizabeth B. Hurlock dalam buku Psikolologi Perkembangan. Bukan sok mau membuktikan anggapan banyak orang itu secara ilmiah. Buatku sangat menarik untuk mencocokan hasil metode ilmiahnya Hurlock, dengan apa yang diamati dan dirasakan langsung dampaknya olehku. Siapa tau, beberapa teman yang terlalu over estimate, menilaiku expert dalam hal omonology, ternyata salah menilai. Bisa jadi aku yang ominizer pemula ini, terlalu cepat mengambil kesimpulan. Karena itu, aku sendiri lagi belajar menyelami psikologi usia 40-50an ini. Hehehe mungkin karena terlalu intens ngikutin Tony Soprano, padahal....... Kalau mau lebih ilmiah, Hurlock menyebut usia 40-50 dengan sebutan usia madya dini. Dan aku akan mulai mempelajari dan memahaminya dari ciri-ciri stres yang mereka alami dalam kategori usia madya dini ini. Ada empat ka

The Ballad of Jack and Rose

Entah kenapa aku senang sekali mengulang dan mengulang dan mengulang menonton film The Ballad Jack and Rose. Kisah bapak dan anak, hidup di sebuah tempat terpencil dengan idealisme tinggalan jaman hippies, sebagai environmentalis. Sampai akhirnya realitas berkata, “Rose, ayahmu Jack Slavin, sekarat sayang. Kau tak akan hidup selamanya bersamanya. Dia akan mati, dan kau harus terima kenyataan itu.” Yeah right, apakah aku pernah membayangkan bapakku mati? tentu saja tidak. Bahkan Rose sekalipun, meski dikisah itu, Rose tau, kondisi paru-paru Jack sudah sedemikian parahnya. Tapi saat kematian itu datang, rasanya terlalu berat untuk bisa menerima itu. Diriku sendiri, di detik-detik terakhir kematiannya, sulit mempercayai bahwa hal itu terjadi di depan mataku. Kukira, semua anak perempuan yang sangat-sangat sangat menyayangi bapaknya, tak pernah membayangkan bapaknya kan mati suatu hari nanti. Begitu pula sundea temanku, si anak bapak, yang tak bisa membayangkan, bahwa suatu hari nanti dia

Perjalanan Ke "Ujung Dunia"

photo by tarlen "Kok ngga nyampe-nyampe ya?" pertanyaan itu diulang-ulang sepanjang perjalanan Bandung –Ujung Genteng. Saya dan empat orang teman yang lain, sampai tak tahu lagi harus melontarkan joke apa lagi, karena semua joke dan cerita-cerita ngga penting sudah habis dari perbendaharaan kami berlima, bahkan diulang sampai beberapa kali. Dua puluh liter pertama sejak kami isi tanki di bandung, habis dimakan jalan. Dua puluh liter berikutnya kami isi di pom bensin terakhir yang kami jumpai di daerah Jampang Kulon. Sempat bertanya pada penduduk setempat, berapa lama lagi kira-kira perjalanan yang akan kami tempuh. Salah satu orang yang kami tanyai menjawab "satu jam lagi kira-kira!". Sementara senja mulai turun. Langit berangsur-angsur gelap. Setelah menempuh tujuh jam perjalanan dengan rute Cianjur Selatan, Jampang Kulon, Surade _ Ujung Genteng, tibalah kami ke tempat tujuan. Jam menunjukkan pukul 19.30 malam. Saya masih menebak-nebak, seperti apa kira-kira Panta

Lord of Dogtown Sepenggal Nostalgia Legenda Z-Boys

Beginilah ketika seorang Stacy Peralta, skater pro menuliskan kembali awal perjalanan karirnya. Apa yang dia tulis di Lord of Dogtown, bukanlah sebuah narsisme nama besar ketika melihat kesuksesannya sendiri. Lord of Dogtown adalah kisah persahabatan dibalik legenda Dogtown and Z-Boys (sebutan skater asal Santa Monica dari generasi 70’an) yang ditulis dengan kerendahan hati Stacy Peralta dan garapan apik Catherine Hardwicke, sang sutradara. Mengambil setting waktu pertengahan tahun 70an, cerita berfokus pada tiga nama besar yang merubah skateboard menjadi seperti yang dikenal sekarang. Bagi Tony Alva (Victor Rasuk), Jay Adams (Emile Hirsch) dan Stacy Peralta (John Robinshon), skateboard bukan hanya kegiatan pengisi waktu senggang tapi skateboard adalah gaya hidup dan sikap yang mereka lakoni sehari-hari. Dibuka dengan adegan ketika ketiganya di tengah malam pergi diam-diam membawa papan surfing dan memulai hari menari bersama ombak pantai Venice di antara reruntuhan dermaga Pasific Oce

Somewhere Over the Rainbow

Somewhere, over the rainbow, way up high, There's a land that I heard of once in a lullaby. Somewhere, over the rainbow, skies are blue, And the dreams that you dare to dream really do come true. Someday I'll wish upon a star And wake up where the clouds are far behind me, Where troubles melt like lemon drops. Away above the chimney tops That's where you'll find me. Somewhere over the rainbow, bluebirds fly, Birds fly over the rainbow, Why then, oh why can't I? If happy little bluebirds fly Beyond the rainbow, Why oh why can't I? *** Lagu itu tiba-tiba bergema dikepalaku, saat kegalauan muncul semalam. Gimana ga galau, temanku lewat YM bilang, ada lowongan sebagai media campaigner full time -nya Greenpeace . Dan dia bilang 'coba len,' dalam hati aku mulai bimbang. Pengalamanku banyak sekali berhubungan dengan media campaign . Dan yang paling bikin galau adalah Greenpeace . Aku inget, kurang lebih empat belas tahun lalu. Waktu aku kelas 2 SMU. Saat a

Memento in My Everydaylife

“you can erase someone from your mind. Getting them out of your heart is another story.” –eternal sunshine of the spotless mind- I 10 juni 1995. sabtu. Saat itu aku hanya bisa menuliskan dalam buku harianku, bahwa aku kehilangan dia untuk selamanya. Aku hanya menangis dalam hati. Bahkan ketika jasadnya ditimbun tanah. Aku hanya menatapnya, tanpa air mata. Tanpa raungan histeris. Juga ketika aku menatap detik demi detik nyawanya berpisah dari tubuhnya. Setelah memberikan pesan terakhirnya padaku dengan nafas tersenggal-senggal ‘jangan lupa solat, kalau punya anak ajarin dia ngaji dan yang akur ya sama adikmu.’ Ada lubang yang tiba-tiba menganga dalam hatiku. Pikiranku temporary black out. Seperti komputer yang tiba-tiba blank. Kosong. Kamar yang ditinggal penghuninya. Semua barangnya masih tetap di tempatnya tapi orangnya tak ada dan tak pernah kembali. Sepi. *** Keesokan pagi dirimu terbangun. Jendela kamarmu masih tetap sama. Langit pagi yang biasa kau pandangi masih tetap sama. Keha

Surat Untukmu

surat ini biasa aku pakai untuk membalas surat-surat yang ditujukan padaku dan bertanya tentang tobucil. surat ini juga pernah dimuat dibuku revolusi semut yang diterbitkan oleh if community' Salam, Sebelumnya aku sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas surat yang dikirimkan kepada ku. Surat tersebut membuat aku merasa tidak sendirian, karena ternyata banyak orang memiliki cita-cita yang sama dan alangkah senangnya jika aku dapat berbagi. Permohonan maaf juga aku sampaikan karena aku begitu lama membalas surat yang dikirimkan kepadaku. Jika dilihat dari hitungan waktu, apa yang aku lakukan tidaklah berarti apa-apa. masih panjang jalan dan waktu yang harus aku tempuh untuk membuktikan bahwa aku bisa konsisten terhadap apa yang aku cita-citakan sejak kecil. Izinkan aku berbagi cerita tentang bagaimana aku mengawali apa yang aku lakukan sekarang ini. Seperti yang tertulis di KOMPAS, 7 Maret 2004 , sejak kecil aku memang senang buku. Keinginan aku banyak sekali, sampai-sampai

Just Do It

“Everything Change, But Nothing Really Lost” - Morpheus, Lord of Dreams - Jika ditanya, hal apa yang paling membuat saya takut sekaligus exciting , jawabnya adalah perubahan. Ya. Perubahan selalu membuat saya nervous. Seperti ketika pertama kali saya harus meniti canopy bridge yang menghubungkan pohon bangkirai yang satu dengan yang lain di hutan Kalimantan beberapa waktu lalu. Canopy bridge di bangun di batang pohon bangkirai paling tinggi dengan ketinggian 40 meter dari permukaan tanah menggunakan tambang baja dan kayu sebagai tapaknya. Persis seperti jembatan gantung di film Indiana Jones . Saya harus meniti tangga yang begitu tinggi untuk bisa sampai ke mulut jembatan. Begitu sampai badan saya seperti kehilangan bobot dan kaki saya lemas hampir-hampir tak bisa digerakan. Keringat dingin tiba-tiba membasahi telapak tangan dan kening. Saya benar-benar ketakutan setengah mati. Tapi meniti canopy bridge adalah hal penting yang harus saya lakukan untuk mengobati phobia ketinggian ya

Temanku, Meja Bundar, Kekosongan, dan Apa yang Kalian Cari?

Tiba-tiba terlintas di pikiranku, bagaimana jika temanku, si psikolog yang merasa terganggu oleh keramaian jalan Dago di malam minggu, berdiri di atas sebuah meja bundar di perempatan jalan Dago –Sulanjana, lalu berteriak: ‘HEY APA YANG KALIAN CARI DIKERAMAIAN?????’ Aku tergelitik untuk menduga-duga apakah orang-orang yang memadati jalanan Dago akan menoleh padanya? Apakah obivan-obivan radio-radio gaul Bandung itu akan menghentikan suara-suara yang dibuatnya? Apakah setiap kendaraan yang lewat akan berhenti dan terpaku padanya? Apakah waktu akan berhenti sejenak dan memberi kesempatan pada semua yang ada di ruas jalan itu untuk menjawab pertanyaannya? Jangan-jangan malah sebaliknya. Sekuat apapun temanku itu meneriakan pertanyaannya, tak ada yang mempedulikannya, tak ada yang menoleh sedikitpun padanya. Obivan-obivan itu malah semakin keras meneriakkan musik-musik pengiring tari kejang. Karena temanku bertanya pada ‘ruang kosong’. Orang-orang memadati sekeliling meja bundar itu. Dalam

How To Get What You Want

Akhir-akhir ini saya banyak berpikir tentang apa yang sudah saya jalani dalam kehidupan saya. Sejak saya kecil sampai detik ini. Saya selalu bertanya-tanya, apakah saya telah mendapatkan apa yang saya inginkan? Tapi apa yang sebenarnya saya inginkan? Jika saya masih percaya bahwa keinginan itu seperti garis cakrawala, saat mendekatinya lima langkah, dia menjauhi kita sepuluh langkah, apa sebenarnya keinginan itu? Akankah dia benar-benar teraih? Bisa saya pegang? Tercapai seperti garis finish? Apakah keinginan itu sesungguhnya? Jika keinginan-keingan itu sesuatu yang bisa kita pilih, bagaimana dia bisa kita sebut sebagai sesuatu yang benar-benar kita inginkan? Kenapa selalu ada yang lebih kita inginkan dari pada yang lain? Dan mengapa kita merasa yakin bahwa itulah yang benar-benar kita inginkan? Is this what I want? Buat Macan_teman saya yang paling dia inginkan sekarang adalah menyelesaikan skripsinya lalu dirinya akan terbebas dari tekanan orang tua dan lingkungannya. Keinginan itu b

Ya Sudahlah, Lupakan!

(Aku Hanya Ingin Memanggilmu Bapak) artwork: Agus Suwage Kau yang duduk di sudut itu duduk dalam temaramnya sinar kuning lampu gantung dan bangku kayu di sudut ruang bertembok putih kusam, menanti teman tuamu, tempat dirimu berbagi sekarang. Dua jam menunggu dalam janji jumpa tepat waktu dalam semangat berbagi duka. Gelisah berpacu dengan waktu yang membawa malam. Segelas Ekspresso dan Risso de Polo tak lagi menggelitik lidah dan menghibur dirimu. Malah jejak rasa mual naik ke kerongkongan berlomba dengan gelisah yang kian sangat, berharap dirinya segera datang menjumpaimu. Seresta mengalun dari speaker yang tergantung disudut-sudut ruangan. Denting banjo Bela Fleck dan lengking harmonica Howard Levi, mengantar kelanamu, melalang menyusuri arti dirinya dalam hidupmu kini. : Semua ini hanya ilusi Semua ini hanya obsesi Tentang sosokmu dalam hidupku Imajiku tentangmu. Menggedor-gedor relung jiwaku. Lamat-lamat semakin dekat. Dirimu menari di ruang khayalku. Membuai. Tentang bapak yang ku