Skip to main content

Posts

Showing posts from 2008

Hidup di Bandung Dasawarsa 80an - 90an

'Burako alm. jegger bonpis' foto by bapakku Tiba-tiba saja, Bebeng bertanya: "Hey Len, maneh teh lainna budak SMP 20? Atuh gudang beas?" (hey len, bukankah kamu anak SMP 20? Gudang beras ya?). Aku yang ditanya begitu langsung balik menuding Bebeng " Hah? maneh teh budak 20 oge?" tawaku dan tawa Bebeng meledak. Tiba-tiba saja, aku dan Bebeng (yang setiap hari nongkrong di kantor AJI Bandung alias tetangga kamar tobucil) punya kesamaan sejarah, karena bersekolah di SMP yang sama. SMP yang sama sekali bukan SMP favorit (biasanya SMPN 4 tetangga kami, meledek anak-anak SMPN 20 dengan sebuatan sekolah gudang beras. SMPN 20 ini terletak persis di stasiun Cikudapateh). Kenangan kami, ternyata ga jauh beda. Tentang: betapa 'beling'nya daerah kami di jaman remaja dulu. Anak-anak SMPN 20 Bandung (Jl. Centeh, Bandung) pasti ga asing dengan daerah-daerah di sekitarnya: Cinta Asih, Samoja, Gang Warta, Cicadas, Cibangkong, Karees, Cibunut, Alani, Kosambi, B

Langit Usai Gudang Selatan

Foto by tarlen Setiap senja yang tenggelam, selalu membawa rasa yang berbeda tentang hari ini, apa yang akan usai dan dimulai kembali esok pagi.. gudang selatan, 26 Desember 2008

Langitnya, Masih Langit yang Sama

Foto by tarlen Suatu hari, teman baikku menenangkanku saat aku panik berat karena akan menempuh perjalanan penting dalam hidupku. "Tenang saja, langitnya masih langit yang sama, Tuhannya juga masih Tuhan yang sama, bilang saja pada langit, pada angin kalo kamu butuh ditemani, maka saya akan datang padamu lewat langit, lewat angin, lewat dedaunan..." Seketika saja, semua kepanikan menguap entah kemana. Dan benar saja, di tempat asing itu, saat aku merasa sendirian, aku memandangi langit. "Hey langit, apakabarmu? Aku rindu rumah, aku rindu teman-temanku, sampaikan salamku pada mereka ya.." Begitu pula pada angin "Angin, kirimkan bau bunga sakura di musim semi ini pada ibuku, pada orang-orang yang kucintai, aku ingin mereka merasakan keindahannya dan harumnya.." Sejak itu, aku meyakini, semesta selalu hadir dan ada. Dia terhubung dengan hidup dan kehidupan yang kujalani. Dia ada menaungi perjalananku. Meski manusia seringkali mencoba memutuskan keterhubungan

Hatiku Di Antara Si Pembawa Rasa Nyaman Vs Si Roller Coaster

Foto by tarlen Mana yang sebaiknya di pilih? lelaki yang memberikan rasa nyaman dengan gairah yang statis, atau lelaki yang menawarkan banyak petualangan mengairahkan, tapi bikin hidup berjalan seperti roller coaster? Pertanyaan ini, kerap kali muncul di usia tiga puluh sekian seperti yang aku rasakan sekarang, ketika akan menentukan pasangan hidup seperti apa yang cocok untuk hidupku. Kalau pertanyaan ini adalah sebuah pilihan, tentunya ini bukan pilihan yang mudah. Sulit. Bahkan teramat sulit. Karena pilihan ini berhubungan dengan karakter calon pasangan yang tentunya akan berubah di kemudian hari. Bagi perempuan lajang yang intens dalam pencarian makna hidup, punya pasangan yang memberi rasa nyaman itu, penting artinya. Nyaman dengan dirinya, nyaman dengan pencapaiannya, secara psikologis dia adalah pribadi yang matang dan sudah bisa berdamai dengan banyak hal dalam hidupnya, bahkan berdamai dengan hal yang paling sulit untuk diterima sekalipun. Baginya, berdamai itu sama dengan me

We Are Also What We Have Lost

Foto by tarlen Alejandro Gonzales Innarittu menulis kalimat tadi dia akhir film pertama dia, Amores Perros yang menang di banyak festival. Sebuat kutipan yang Innarittu tujukan bagi anaknya yang meninggal sebelum film itu membawa perubahan besar dalam hidup Innarittu, sebagai sutradara yang patut diperhitungkan dalam pentas perfilman dunia. Itu Inarrittu. Kehilangan besar dan perubahan besar (kalau tidak besar, sebut saja penting) dalam hidup, juga aku alami. Aku ingat, kelas 3 SD adalah masa terindah dalam rentang 6 tahun pendidikan dasar yang kutempuh. Di kelas 3 SD itu, aku punya guru yang menyadarkan aku pertama kalinya bahwa aku punya bakat dibidang seni. Dia selalu memberikan apresiasi yang positif terhadap karya-karyaku. Begitu pula teman sebangkuku. Aku ingat namanya Ranti. Aku merasa punya teman yang mengerti dan bisa berbagi keceriaan masa-masa terindah di kelas 3 SD itu. Namun, semua ga berlangsung lama, karena di semester kedua, Ranti pindah sekolah dan aku ga pernah tau la

Kacamata Baru

Foto by tarlen Rasanya kaya baru ganti kacamata baru, karena ukurannya berubah. Biasanya beberapa hari akan terasa 'kleyeng-kleyeng' kaya juling, karena mata perlu membiasakan diri dengan ukuran baru untuk bisa melihat dengan jelas dan nyaman. Apalagi kalo ada lonjakan ukuran, misal dari minus 1 langsung loncat jadi minus 3 dan pake tambahan silindris lagi..butuh penyesuaian yang rada lama sampai mata bisa nyaman dengan kacamata baru itu. Memang yang dilihat jadi berubah ya? mungkin objek yang terlihat sebenernya sama aja. Cuma karena kacamatanya ukuran baru, hal-hal yang dulu ga terlihat jadi kelihatan dan jadi lebih jelas juga fokus. Cara ngeliatnya yang berubah dan ternyata untuk bisa mensinkronkan dengan pikiran juga butuh waktu. Semua objek yang kemudian jadi terlihat atau menjadi lebih jelas, butuh waktu buat pikiran mencernanya. Pertanyaan menjadi datang bertubi-tubi sebagai bagian dari mengenali lagi objek2 yang ga terlihat itu atau ga fokus sebelumnya. Kenapa gini, ken

Kembali Pulang

photo by tarlen "Everything change, but nothing really lost." -Morpheus- Ada kelegaan ketika perjalanan panjang usai dan aku kembali pulang ke rumah. Pulang ke Bandung. Pulang ke Tobucil. Pulang kembali pada teman-teman, pada keluarga, pada orang yang kucintai. Kembali pada meja kerja, pada urusan-urusan yang sama, pada rutinitas, pada situasi emosional yang kurang lebih sama.. pada semua yang sama yang kutinggalkan 4 bulan lalu. Ketika menginjakan kaki kembali ke rumah, berharap semua masih ada di tempat yang sama Tapi nyatanya, semua jadi terlihat berbeda. Semua berubah di mataku. Bukan hanya Bandung yang terasa bertambah gersang dan semrawut, tapi keluarga, teman-teman, kamu (tambah ganteng aja, meski kerutan bertambah :P), meja kerja, tobucil, keluargaku, emosiku, semuanya terlihat bebeda. Sebuah perjalanan menambahakan satu lingkaran kehidupan, membuat kepulangan, terasa berbeda. Tak ada yang hilang, hanya komposisinya saja yang berubah dan membuat rasanya menjadi bebe

Rumput di Rumah Tetangga

Photo by tarlen Dalam waktu yang hampir bersamaan, dua orang teman di Yahoo Messanger mengatakan hal persoalan yang sama dalam nada yang berbeda. Yang satu mengatakan bahwa aku beruntung ada di negeri orang saat harga BBM melambung tinggi karena pemerintah mencabut subsidinya. Demo setiap hari tapi para wakil rakyat malah sibuk jual pesona karena pemilu akan datang sebentar lagi. Temanku itu bilang, aku beruntung karena tidak mengalami Indonesia yang makin hari makin kacau. Sementara, temanku yang satu lagi, dia sedang ada di Washington DC sekarang sampai satu bulan ke depan. Ia mengeluh, sebagai seorang dokumenter, dia kehilangan banyak moment 'kekacauan Indonesia' itu.. menurutnya moment kekacauan seperti itu sangat sayang kalau ga diabadikan lewat video. Aku ga tau apakah aku merasa beruntung atau tidak, karena terhindar dari kekacauan Indonesia setidaknya sampai hari kemerdekaan nanti (aku akan sampai di Indonesia lagi pada tanggal 17 Agustus 2008). Rasanya memang melegaka

Karena Aku Menginginkannya

Smith Street, Brooklyn foto by tarlen Ga terasa, sudah sepuluh hari aku tinggal di New York. Aku mulai terbiasa dengan dinginnya, dengan ketergesaannya, dengan bau apartemenku. Aku ga lagi panik saat tersesat gara-gara salah naik subway atau naik bis. Dan sejauh ini, aku bisa menikmati setiap jengkal kota ini. Aku belum punya banyak teman baru disini. Karena bertemu orang bukan hal mudah. Selalu harus ada janji terlebih dahulu. Setiap orang sibuk. Bahkan saat di subway atau bis, setiap orang seperti diskonek dengan sekelilingnya. Setiap orang seperti menghindari kontak mata dengan orang lain. Mungkin ini salah satu cara bertahan hidup di kota seperti New york. Terbayang semua kepanikan yang aku rasakan beberapa waktu sebelum pergi. Aku yang jadi sensitif berat karena kemanjaanku dan ketakutan-ketakutan tak beralasanku menjelang kepergiaan. Mungkin karena ini kali pertama aku harus pergi jauh dari Bandung, dari tobucil dari semua orang yang aku sayangi dan menyangiku dalam waktu yan

Rasa Keadilan

foto by tarlen Aku baru menyadari jika keadilan itu punya rasa, setelah riset soal pemberdayaan hukum beberapa waktu lalu. Dan beberapa hari ini aku kembali memikirkannya. Rasa keadilan terdengar sangat subjektif, sangat relatif. Meskipun ada hukum dan aturan yang menjadi panduannya. Rasa keadilan dalam kasus-kasus hukum, lebih pada sikap 'korban' menerima peristiwa yang menimpanya. Apakah korban merasa 'puas' hukuman yang diterima oleh pelaku, apakah proses dan prosedur hukum yang dijalani, berpihak pada korban. Semua ditentukan oleh korban. Rasa keadilan itu, korbanlah yang menentukan. Dari proses wawancara panjang dengan banyak korban saat penelitian lalu, jawaban korban tidak ada yang merasa benar-benar puas dengan hukuman yang diterima oleh pelaku. "Saya inginnya pelaku di hukum mati saja.." begitu jawaban salah satu keluarga korban kekerasan seksual yang dialami oleh anak retarded di bawah umur. Padahal hakim mengetuk palu hukuman maksimal 14 tahun pe

Penyelenggaraan Siaran Komunitas, Terganjal Birokrasi Perizinan

Foto by tarlen "Tahun 2005, kami mengajukan izin tapi sampai sekarang IPP (Izin Penyelenggaraan Penyiarannya) belum juga turun," demikian diungkapkan Akhfiyan Qoyyum, editor TV Rajawali, sebuah TV Komunitas di daerah Rajawali, Bandung. Masalah perizinan TV komunitas ini ternyata menjadi persoalan yang mengemuka dan dihadapi banyak TV komunitas. Birokrasi perizinan yang panjang dan rumit ini, mengacu pada UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 yang diatur dalam pasal 33 dan 34 dan PP No. 51 th 2005 . Dalam pasal 33 di tegaskan bahwa sebelum menyelenggarakan kegiatannya lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran. Ganesha TV (GTV), televisi komunitas yang digagas oleh Unit Kegitaan Mahasiswa LFM dan Himpunan Mahasiswa Teknik Elektro ITB, mengalami nasib yang sama. "Kita sempat di 'bredel' karena tidak punya izin," jelas Tomy Rusmansjah, Advisor GTV. "Waktu sekitar tahun 2002 dan UU Penyiarannya belum selesai disusun, Selain itu juga ada p

Transformasi Mencari Bentuk

foto by tarlen Sebut saja Submissive, Tigabelas, Emphaty Lies for Beyond, Empatika, No Compromise, Limbah, Halo Opository, Movement, re-action, Unfold, Rayuan Gombalz, ONe Life Stand, Poster, Setaramata, Ujungberung Update, Crypt from the Abyss, Loud n` Freaks, The Evening Sun, Rottrevore, Minor Bacaan Kecil, Wasted Rocker, menjadi sedikit dari sekian banyak zine yang beredar di komunitas underground pada ’90-an akhir hingga 2005. Media foto copy-an ini menyebar di antara jejaring underground, bukan hanya di Bandung tapi juga di kota-kota lain di Indonesia, bahkan sampai luar negeri. Tradisi zine sebagai media propaganda, baru dikenal komunitas underground pada pertengahan tahun ’90-an. Saat salah satu anggota komunitas punk, mendapat zine dari jejaring pertemanan mereka di Belanda. Media sederhana dengan teknik fotocopy ini berisi review pertunjukan underground setempat, wawancara dengan personel-personel band, isu-isu seputar musik dan ideologi yang menyertainya. Opini pembu

Dari Fotokopi ke "Blog"

Foto by tarlen Tak bisa dimungkiri bahwa perkembangan teknologi juga menjadi faktor penting dalam pergeseran bentuk dan media ekspresi komunitas underground, selain situasi sosial, politik, ekonomi makro, dan mikro yang memengaruhinya. Lahirnya teknologi blog, membuat media-media komunitas bergeser menjadi lebih personel. Setiap orang dapat menulis apa yang dipikirkannya dalam medium baru ini dengan lebih leluasa tanpa dibebani oleh masalah produksi dan distribusi. Fasilitas blog yang menyediakan macam-macam template dan kemudahan, membuat penggunanya dapat mencoba bermacam-macam jenis blog sekaligus, sesuai dengan kebutuhannya. Akibatnya, ruang-ruang pertukaran pemikiran, gagasan, ide-ide, lebih banyak bertemu di ruang cyber. Pertemuan di ruang maya membuat meeting point komunitas tidak lagi menjadi tempat pertukaran informasi utama di antara sesama anggota komunitas. Meski begitu, Pam menilai, perpindahan media ekspresi komunitas underground ini ke internet, justru memat

Zines, Catatan dari Bawah Tanah

foto: Joedith Cristanto Dalam bukunya yang berjudul `Notes from Underground, Zines and The Politics of Alternative Culture`, Stephen Duncombe, mendefinisikan zine sebagai majalah nonkomersial, nonprofesional dengan sirkulasi yang terbatas, di mana pembuatnya memproduksi, menerbitkan, dan mendistribusikannya sendiri. Dalam sejarah pers alternatif Amerika, zine lahir di era 1930-an dan dimotori para penggemar science fiction. Saat itu, istilah "fanzines" mulai dikenal sebagai media berbagi berbagai cerita science fiction dan komentar kritis dari para penggemar termasuk pula komunikasi antara penggemar. Empat puluh tahun kemudian, di 1970-an, perkembangan zines modern dipengaruhi para penggemar musik punk rock, yang pada saat itu tidak mendapat tempat di media musik mainstream. Fanzines yang terbit saat itu, lebih banyak berisi tentang musik dan kultur yang berkembang di scene musik tersebut. Baru era 80-an dan 90-an, hal-hal yang bersifat politis kemudian masuk dan

Dari Militansi ke Komodifikasi

Drawing Raymond Pettibon JIKA komunitas underground di Indonesia cukup berpengaruh di Asia (Robby Nugraha, "PR", 12/2), Bandung tentunya memiliki kontribusi penting dalam memberikan pengaruh tersebut. Bila mencermati lebih jauh, apa yang berkembang dalam kurun waktu 14 tahun (1994-2008) dapat menjelaskan pengaruh tersebut. Era `90-an Tahun 1994 menjadi tahun penting bagi perkembangan generasi yang lahir di era `70-an dan tumbuh menjalani masa remajanya di era `90-an. Identitas kelompok underground ini sangat dipengaruhi oleh pergolakan sosial, politik, ekonomi baik secara makro maupun mikro. Beberapa peristiwa penting di tahun 1994 seperti pemberedelan media oleh pemerintah Orde Baru, membawa semangat perlawanan dan gerakan underground (bawah tanah) yang memperjuangkan kemerdekaan berekspresi dan kebebasan berpendapat. Pada tahun itu, aksi perlawanan muncul dalam bentuk demonstrasi, penerbitan media-media independen, dan pertunjukan-pertunjukan mus

Mencintai Lelaki Beristri

Foto karya Roy Voragen Satu hal yang harus kamu pahami, ketika berhubungan dengan lelaki beristri, kamu harus rela. Rela menjadi nomer kesekian. Rela menjadi bukan prioritas. Rela menerima sisihan waktu. Rela menerima label pengganggu rumah tangga orang lain. Rela memberi maaf atas semua alasan yang harus kau terima, saat si lelaki itu tak bisa menepati banyak hal yang ia janjikan padamu. Rela atas banyak hal. Rela atas semua resiko, ketika kau tau, lelaki yang kau cintai adalah lelaki dengan status NOT AVAILABLE alias Suami orang, alias bapaknya anak-anaknya. Tentunya kau akan dituduh cari gara-gara, cari penyakit, parahnya perempuan ga bener, perempuan gatal, ketika kau lebih memilih mencintai lelaki beristri daripada lelaki lajang untuk kau kencani. Tapi kau juga bisa membela diri, siapa yang bisa melarang perasaan cinta yang datang? Kerelaan ini, termasuk juga ketidak pahaman lingkungan ketika dalam hubungan itu,ketika kau berusaha keras menjaga dengan susah payah batas terjauh dar