Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2010

Nine (2009): Midlife Crisis Sang Maestro

* * * * Sutradara Rob Marshall Aku sedikit ngedrop waktu tau ternyata ini adalah film musikal. Pertanyaan yang muncul di kepalaku adalah bisakah Daniel Day Lewis memaksimalkan karakternya di film musikal seperti ini? Mengingat film Day Lewis sebelumnya_ There Will Be Blood_ bener-bener mempertontokan kemampuan akting Day Lewis yang maksimal dan luar biasa itu. Setelah menonton filmnya, barulah aku merasa lega, karena justru Day Lewis lah yang yang membuat film ini bukan sekedar film musikal biasa. Day Lewis memberi kedalaman dan intensitas pada karakter Guido Contini, sang maestro perfilman Itali pada krisis paruh baya yang dialaminya. Day Lewis memberi bobot pada persoalan krisis paruh baya yang 'tidak biasa' karena yang mengalaminya adalah seorang maestro di tengah-tengah tekanan karirnya. Arogansinya sebagai sutradara besar yang dituntut untuk selalu melahirkan karya hebat dipertaruhkan di tengah konflik rumah tangganya. Menurutku meski film ini bertaburan aktris ter

Che (2008): Memberi Bingkai Pada Mimpi Sang Revolusioner

  * * * * * Sutradara: Steven Soderbergh  Part One: 134 menit Part Two: 135 menit  Jujur aja, bukan hal yang mudah menonton film ini. Film berdurasi sekitar 4.5 jam ini, butuh 'kesiapan' untuk menontonnya. Berhubung aku lagi 'in the mood for Benicio Del Toro', film ini menjadi film penting yang harus aku tonton untuk melihat perjalanan karirnya. Bagi yang tidak terbiasa menonton film berbahasa lain selain Inggris, film ini pasti terasa membosankan di awal. Dan jangan berharap akan menemukan adegan perang-perangan yang heroik ala Hollywood di film ini. Jika itu yang kamu harapkan, sebaiknya lupakan saja, tidak perlu bersusah payah menonton Che. Katakan saja, tidak ada sutradara Hollywood sebelum Steven yang mau bersusah payah memfilmkan Che. Jika Motorcycles Diary disebut-sebut, film ini tidak cukup untuk memberi gambaran tetang alasan mengapa Che menjadi icon revolusioner anti kapitalisme global. Kerja keras menghadirkan gambaran Che yang revolusioner itu, tentunya

In The Mood For Benicio Del Toro

Gara-gara menunggu hujan reda di Parijs Van Java Mall sambil menonton The Wolfman , moodku menonton kembali film-filmnya Benicio Del Toro kembali muncul. Selain Johnny Deep dan Daniel Day Lewis , Benicio Del Toro adalah aktor favoritku. Bukan semata-mata karena ketampanannya dan matanya yang membius itu, tapi juga karena totalitasnya sebagai aktor.  Pertama kali terpesona olehnya, ketika pertama kali aku nonton Excess Baggage dengan lawan mainnya Alicia Silverstone. Benicio berperan sebagai pencuri kendaraan yang terhubung dengan seorang putri pengusaha kaya yang sengaja mencari perhatian keluarganya dengan mengaku diculik. Saat itu, aktingnya langsung memikatku. Siapa yang bisa dengan mudah melupakan wajah latinnya yang karismatik dan tatapan yang membius itu? Dengan mudah Beni bisa membuat penontonya jatuh hati padanya. Pandangan pertama tentu karena ketampanannya dan tak perlu terlalu memperhatikan apakah dia bisa berakting atau tidak. Pertemuan berikutnya (aku lupa mana yang

Precious: Based on the Novel Push by Sapphire (2009): Ketika Nasib Terlalu Berharga Untuk Diratapi

* * * * 1/2 Sutradara: Lee Daniels Aku jarang sekali menemukan sebuah film yang ketika aku selesai menontonnya, perasaanku bener-bener ngilu dan sesek di dalem. Yang bisa melepaskan itu semua adalah dengan menangis tergugu. Itulah yang kurasakan setelah menonton film ini. Film garapan Lee Daniels, dengan eksekutif produser Oprah Winfrey dan Tayler Perry, menampilkan kepiawaian akting Mo'Nique dengan maksimal. Mo'nique berperan sebagai Mary, single mother yang mengalami keruntuhan psikologis ketika Precious (diperankan aktris pendatang baru Gabourey Sidibe ) mengalami sexual harrasment untuk pertama kalinya ketika berumur 3 tahun oleh ayahnya sendiri. Mary menjadi abusessive terhadap Precious, karena ia merasa semua laki-laki yang dicintainya direbut oleh Precious. Padahal yang dialami Precious adalah pemerkosaan demi pemerkosaan. Dari mulai ayahnya sendiri sampai kekasih ibunya yang lain. Setiap mengalami kekerasan seksual dan kekerasan psikologis lainnya, Precious memba

New York, I Love You (2009): New York Di Mata Yang Lain, Hop In Hop Off!

* * * Sutradara dan Full Cast buka di sini Apa yang sesungguhnya ingin diceritakan fragmen-fragmen dalam film ini? Apakah 'moment-moment' intim dari mata 'yang lain' (Karena sebagian besar sutradara di fragmen-fragmen ini sepertinya pendatang atau hanya mampir, Fatih Atkin misalnya)? Atau ini cerita tentang sebuah metropolitan dengan lima borough yang bebeda (Bronx, Manhattan, Brooklyn, Queens, Staten Island)? Aku sungguh-sungguh mengalami kebingungan dengan tujuan dari film ini. Harapanku untuk menemukan 'New York' yang pernah kualami 2 tahun lalu, sepertinya tidak terjawab. Aku tidak menemukan sesuatu yang 'Brooklyn banget' (btw, beberapa teman di ACC menyebutku: brooklyn girl, sangking senengnya aku maen ke brooklyn) atau 'queens' banget. Bronx dan Staten Island apalagi. Mahattan yang kutemukan di film ini juga hanya kelebatan saja: sedikit bau Soho, west side, 5th Ave, China Town dan rasanya seperti melihat gambar-gambar itu di katalog

Positive Vibration

  Setelah membaca komentar puisi Jack White tentang kotanya (yang setengahnya sangat sinis dengan kesuksesannya), aku jadi teringat tentang bagaimana hidup di temani kesinisian orang di sekitarku. Kesinisan bagiku mematahkan dan menguras tenaga. Meski kadang  aku tau di balik kesinisan itu ada maksud baik, tapi tetap saja yang terasa pertama kali adalah mematahkan dan mengecilkan hati. Sinis dan kritis itu jauh bebeda. Salah satu sahabat baikku, dia orang yang kritis. Dia selalu bertanya mengapa aku memutuskan itu? Dia hanya berusaha memastikan bahwa aku meyakini keputusanku. Sementara orang yang cenderung mengolok-olok lebih dahulu, mungkin hanya bermaksud menggoda dan menggoyahkan keyakinan, tapi jika itu terus menerus dilakukan, bener-bener bisa mematahkan. Aku selalu menduga, mengapa orang bisa sinis dengan gagasan atau karya orang lain, tidak berusaha mengapresiasinya terlebih dulu, tapi lebih senang  'mengolok-olok', pertama, mungkin karena dia sedemikian jago dan heba

The Raconteurs: Old Enough

You look pretty in your fancy dress But I detect unhappiness You never speak so I have to guess You’re not free. There, maybe when you’re old enough You’ll realize you’re not so tough And some days the seas get rough And you’ll see You’re too young to have it figured out You think you know what you’re talking about You think it will all work itself out But we’ll see When I was young I thought I knew You probably think you know too Do you? Well do you? I was naïve just like you I thought I knew exactly what I wanted to do Well, what’s you gonna do? And how have you gotten by so far Without having a visible scar? No one knows who you really are They can’t see What’s you gonna do (what’s you gonna do) What’s you gonna do now What’s you gonna do (what’s you gonna do) What’s you gonna do now What’s you gonna do (what’s you gonna do) What’s you gonna do now What’s you gonna do (what’s you gonna do) What’s you gonna do now What’s you gonna do now The onl

The White Stripes Jepretan Annie Leibovitz

The White Stripes , Annie Leibovitz Akhirnya aku menemukan foto ini. Pertama kali aku melihatnya di majalah Vouge  dan langsung membuatku berkomentar: "Gila ini foto keren banget!" aku suka banget sama suasana dan warnanya. Ganjil. Jack White disini pas banget dengan kostum putih dan pisau dapur di tangannya. Sementara Meg White sebagai sasaran tembak, tersenyum innocent.  Menurutku Annie Leibovitz pas banget mendeskripsikan karakter The White Stripes di foto ini yang seksi misterius dan bisa jadi bebahaya, penuh kejutan tapi semuanya terkontrol. Latar belakang yang sepertinya menggambarkan daerah industri, seperti menjadi metafor Detroit yang industrial, keras, murung, serius dan menyimpan kisah pahit yang lama-lama mengental bersama asap dan debu southwest Detroit. Itu sebabnya menurutku warna merah yang ditampilkan disini lebih untuk menggambarkan 'kekentalan itu' (makanya bukan merah terang, tapi lebih murung dan gelap). Warna putih justu menambah dramatis  puca