Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2009

Sebuah Kemungkinan Menjadi Bijak dan Banal Sekaligus

Anggrek Bulan, foto kiriman kamu "Bener ga sih, selain semakin matang & bijak, semakin tua seseorang, semakin banal/dangkal dan pragmatis?" Tiba-tiba saja pertanyaan soal pragmatisme ini muncul kembali bagai pop up di kepalaku. Pertanyaan yang muncul ketika aku membaca kembali tahapan psikologi perkembangan lewat tulisanku Life Begin at Forty dan hasil mengamati sekelilingku, tentang teman-teman yang tumbuh menua dan seperti kehilangan semangat untuk bermimpi dan hidup menjauhi sesuatu yang menjadi "passion" atau legenda hidupnya. Namun pada saat yang sama aku berjumpa dengan orang-orang yang di usia sangat muda (belum genap 20 tahun), sudah menemukan keyakinan hidup berdasarkan passion dan impiannya (baca: cita-cita) serta menjalaninya dengan keriangan yang penuh integritas. Meski sesekali terdengar keluhan atas pilihannya yang didasari oleh passion itu, membuat mereka seperti "sendirian". Pertanyaan di atas kemudian aku kirim via sms kepada beberapa

Keterpencilan Komunitas Adat Terpencil

foto dari album vitarlenology Tarlen Handayani Anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur yang diselenggarakan oleh Yayasan Interseksi. Tulisan ini merupakan catatan lapangan kedua yang dipublikasikan di www.interseksi.org Sulit bagi saya membayangkan bagaimana hidup di wilayah relokasi “Komunitas Adat Terpencil” sub etnik Tidung, di Gn. Temblunu, Sembakung, Kaltim. Hidup di sebuah rumah kayu yang dibangun pemerintah, di tengah-tengah hutan Gn. Temblunu yang belum lama dibuka (bahkan bekas bakaran bonggol-bonggol kayunya masih menyisakan asap). Hanya ada air rawa dan 30 rumah saja. Listrik yang menerangi, muncul dari solar sel yang masih perlu stabilizer pengatur tegangan untuk menyalakan lampu dan alat elektronik lain. Semua itu menjadi situasi yang harus dihadapi tiga puluh kepala keluarga warga RT 06 dan RT 0

Dua Perjumpaan Pada Seminggu Terakhir

D'Java String Quartet, foto by Tarlen Setiap perjumpaan dengan orang-orang yang intens dalam berkarya, selalu meninggalkan jejak dalam diriku. Seminggu terakhir ini, D'Java String Quartet dan Gunawan Maryanto meninggalkan jejak itu padaku. Jejak yang di tinggalkan melalui energi kreatif mereka yang menginspirasi. Perjumpaan Pertama Mulanya Ahmad Ramadhan, alias Rama, pemain Biola D'Java String Quartet (DSQ), beberapa kali singgah di Klab Klassik, Tobucil & Klabs. Saat pertama aku menyimak permainan biolanya, Rama baru saja terdaftar sebagai mahasiswa ISI Jogja jurusan Seni Musik. Usianya baru 17 tahun saat itu (sekarang Rama duduk di semester 4), namun lewat gesekan biolanya, aku bisa merasakan intensitasnya. Rama telah memilih biola dan musik klasik sebagai jalan hidupnya. Pada usia semuda itu, aku mengagumi dan menaruh hormat pada pilihan hidupnya. Lalu, 12 April kemarin, Rama datang kembali bersama teman-teman sebayanya yang tergabung di D'Java String Quartet. Ad

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Rumah Senja

foto oleh tarlen ( http://flickr.com/photos/vitarlenology ) Ini adalah cita-citaku di hari tua nanti (semoga umurku cukup untuk mewujudkannya). Sebuah rumah jompo, tapi aku tidak mau menyebutnya begitu, tapi aku lebih suka menyebutnya Rumah Senja (pemandangan senja selalu indah bagiku). Sebuah rumah, dimana para manula (aku dan teman-temanku kelak), bisa menghabiskan sisa hidup di rumah itu. Aku membayangkannya, rumahnya terletak di daerah pedesaan, dengan tanah yang luas. Setiap orang bisa berkebun atau sekedar memelihara bunga matahari dalam sebuah pot, paviliun cozy untuk setiap penghuninya. Ruang bersama yang bisa jadi galeri kecil, ruang pertunjukkan, ya semacam ruang aktivitas bersama. Perpustakaan kecil dengan perapian yang hangat, klinik kesehatan yang memadai, tempat berolah raga, lapangan rumput yang luas, pokoknya rumah senjaku itu, rumah dimana semua penghuninya bisa menemukan bahagia tutup usia. Ide membangun rumah senja ini, terlontar secara spontan olehku, ketika pertemu