Skip to main content

The Child and The Fox/ Le Renard et l'enfant (2007)

* * * *

Saat membaca judulnya, aku teringat cerita di masa kecil tentang 'Ruby si Rubah Kecil'. Cerita itu membuatku menangis sedih untuk pertama kalinya gara-gara sebuah buku. Dan ternyata aku tetep juga menangis, tapi karena haru saat menonton film yang berkisah tentang persahabatan seorang anak perempuan dengan 'lily' rubah liar yang hidup di hutan dekat rumahnya.

Menonton film ini, seperti sedang didongengi oleh Kate Winslet sebagai narator edisi bahasa Inggris tentang lika liku kehidupan seekor rubah dari pandangan seorang anak perempuan. Film ini sangat menyenangkan bagiku. Seperti menonton dokumenter National Geographic tapi terasa manis dan segar, hanyut dalam pemandangan Perancis Selatan yang indah dari musim ke musim.

Pemainnya hanya seorang gadis kecil yang tak disebutkan namanya diperankan oleh Bertille Noël-Bruneau dan seekor rubah yang diberi nama lily. Bagiku yang dibesarkan oleh buku-buku cerita anak-anak terjemahan dari Eropa, film ini seperti memanggil kembali semua gambaran kisah-kisah Enyd Blyton, petualangan Tini, Astrid Lindgren, Serial Nina, Ruby si Rubah Kecil, tapi semua dalam setting yang nyata.

Kisah yang manis dan sederhana, karena si gadis kecil ini, begitu pantang menyerah untuk bisa bersahabat dengan Lily. Setelah persahabatan itu ia dapatkan, hasrat untuk menguasai muncul, ia mencoba mengurung Lily dalam kamarnya, namun yang terjadi di luar dugaan. Sampai akhirnya si gadis cilik menyadari, bahwa ketika ia begitu mencintai si rubah, ia juga harus belajar melepaskan dan bebebaskannya.

Ku kira, film ini sangat cocok untuk anak-anak, selain mereka bisa belajar mencintai binatang, mereka bisa belajar tentang pelajaran penting tentang bagaimana mencintai yang membebaskan itu. Benar-benar sangat menyentuhku..

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Mencintai Lelaki Beristri

Foto karya Roy Voragen Satu hal yang harus kamu pahami, ketika berhubungan dengan lelaki beristri, kamu harus rela. Rela menjadi nomer kesekian. Rela menjadi bukan prioritas. Rela menerima sisihan waktu. Rela menerima label pengganggu rumah tangga orang lain. Rela memberi maaf atas semua alasan yang harus kau terima, saat si lelaki itu tak bisa menepati banyak hal yang ia janjikan padamu. Rela atas banyak hal. Rela atas semua resiko, ketika kau tau, lelaki yang kau cintai adalah lelaki dengan status NOT AVAILABLE alias Suami orang, alias bapaknya anak-anaknya. Tentunya kau akan dituduh cari gara-gara, cari penyakit, parahnya perempuan ga bener, perempuan gatal, ketika kau lebih memilih mencintai lelaki beristri daripada lelaki lajang untuk kau kencani. Tapi kau juga bisa membela diri, siapa yang bisa melarang perasaan cinta yang datang? Kerelaan ini, termasuk juga ketidak pahaman lingkungan ketika dalam hubungan itu,ketika kau berusaha keras menjaga dengan susah payah batas terjauh dar...

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...