Skip to main content

Sherry Baby (2006)

* * *

Mmmm... mulai darimana ya komentarnya? Bayangin, seorang ibu_Sherry (Magie Gyllenhaal) baru bebas, setelah dipenjara bertahun-tahun karena kasus narkoba. Si ibu berusaha memulai kembali hidupnya, bukan cuma memulai, tapi juga menatanya kembali. Berusaha tetap bersih dari ketergantungan pada narkoba, berusaha jadi ibu yang baik dan berusaha berpandangan lebih positif pada dirinya sendiri. Tapi apakah mungkin semua itu bisa terjadi pada saat yang bersamaan?

Laurie Collyer, sang sutradara sekaligus penulis naskah film ini, berhasil bicara dengan bahasa yang sangat visual untuk cerita drama seperti ini. Tanpa percakapan verbal, penonton bisa tau apa yang sesungguhnya telah dialami oleh Sherry sehingga hidupnya kacau. Ada sebuah adegan yang mengesankan aku, ketika Sherry dan sodaranya Bobby (Brad William Henke) ada di sebuah restoran. Bobby bilang pada Sherry "Jangan kau kira aku tak tau apa yang telah kau lalui. Dan aku ada dipihakmu Sherry." Saat itu Sherry hanya bilang "kamu ga tau apa yang aku lalui" dan Sherry mengalihkan pembicaraan pada hal lain.

Adegan itu mucul setelah sebelumnya, Bobby, melihat saat Sherry mengadukan rasa sebalnya bahwa Alexis (Ryan Swimpkin) anaknya menjauh darinya, pada ayahnya (Sam Buttoms). Pada saat itu, sang ayah menghibur Sherry, sambil diam-diam menggerayangi Sherry. Pada saat Sherry tiba-tiba berhenti menangis dan pergi meninggalkan ayahnya begitu saja. Bobby yang diam-diam melihat, menampilkan ekspresi tak berdaya.

Tanpa harus menjelaskan apapun, penonton tau apa yang sesungguhnya dialami Sherry sebagai korban pelecehan ayahnya sendiri. Bagaimana hubungan Sherry dengan Dean Walker (Danny Trejo), memperkuat apa yang dia rindukan dari seorang lelaki. Yang juga kusuka dari film ini adalah karakter tokoh-tokohnya yang real. Bahwa sangatlah manusiawi, kemudian merasa ga mampu berjalan sendirian, ketika ingin memulai dan menata kembali hidupnya. Bagaimana perasaan-perasaan itu diungkapkan, selalu menarik untuk dicermati.

Yang membuatku tertarik untuk menonton dengan cermat film-film drama, adalah bagaiman kisah drama itu, tidak dikatakan secara verbal, tapi bisa dijelaskan dengan gesture dan ekpresi tokoh-tokohnya. Ga perlu ngomong semuanya, karena film punya kekuatan visual yang bisa bercerita dengan lebih dasyat. Itu yang masih langka kita temui di film-film Indonesia.

Comments

Popular posts from this blog

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah ...

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...