Skip to main content

En La Cama/In Bed (2005)

* * * *

'Ternyata one night stand bisa juga jadi sesuatu yang emosional', begitu komentarnya ketika membahas film ini lewat sms. Film garapan sutradara Chile, Matiaz Bize ini hanya di bintangi oleh dua orang aktris Blanca Lewin sebagai Daniella dan Gonzalo Valenzuela sebagai Bruno.

Pertemuan yang tak sengaja di sebuah pesta, membawa Daniella dan Bruno ke atas ranjang untuk seks semalam saja (one night stand). Setelah persetubuhan yang menggairahkan antara dua orang asing yang baru saja bertemu, percakapan diantara keduanya, justru membawa mereka ke wilayah diri yang paling dalam. Hal-hal yang selama ini sulit di ungkapkan oleh masing-masing, justru terungkap karena keduanya berpikir, 'setelah ini kita tidak akan bertemu lagi, setelah ini kita akan sibuk dengan hidup kita masing-masing dan saling melupakan'.

Tapi benarkah demikian? benarkan seks hanyalah sekedar penetrasi tanpa emosi? bagaimana dengan gairah saat melakukannya dan emosi yang menyertainya? Kupikir Matias Bize sangat cerdas meninggalkan pertanyaan itu dalam potongan ending yang pas dan tidak memaksa. Biarkan saja itu semua jadi pertanyaan.

Dengan budget yang kurasa sangat murah meriah dan setting yang sangat minimalis_sepanjang film setting hanya di dalam kamar hotel saja dan kamar mandi_ film ini tidak terjebak dalam erotisme dan seks semata, namun lebih dalam dari itu, karena dialog antara dua tokohnya terasa cerdas tanpa terasa tempelan juga... kurasa itu semua juga karena dua bintang yang bermain disini cukup menghayati karakternya dan berakting dengan sangat baik.

Comments

Popular posts from this blog

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah ...

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...