Skip to main content

Death of a President (2006)

*****

Sebenernya ini film fiksi dokumenter (mockumentary). Tapi bener-bener di garap dengan rapih dan pas. Terutama dalam persoalan editing yang menggabungkan footage-footage asli dengan adegan yang sengaja dibuat. Gabriel Range, sang sutradara, membayangkan, seandainya Presidan Bush, mati tertembak, dalam lawatannya ke Chicago, bagaimana kira-kira analisis dari staf kepresidenan, agen FBI, redaktur senior Washiton Post, ngeliat situasi ini. Karena kunjungan Bush diwarnai oleh demonstrasi anti perang, otomatis perwakilan aktivis juga diwawancarai.

Simon Finch dan Gabriel Range, ketika menulis naskahnya ingin bilang bahwa Amerika selama ini selalu terburu-buru dalam menghakimi satu masalah. Ketika vonis dijatuhkan, dan dikemudian hari vonis itu salah, mereka ga punya kebesaran hati untuk mengakuinya. Dalam kasus penembakan Presiden Bush, FBI langsung berkesimpulan bahwa yang melakukan adalah teroris muslim yang terkait dengan jaringan Al Qaeeda. Orang yang ketiban pulung itu adalah Jamal Abi Zikri, seorang imigran dari Yaman yang berkerja sebagai tenaga IT di gedung seberang tempat kejadian. Si istri, Zahra Abi Zikri dalam wawancaranya mengatakan: "Saya ke Amerika untuk mendapatkan kebebasan, tapi coba liat, apa yang kami dapat?"

Setelah diselidiki pelakunya adalah warga Amerika sendiri yang merasa frustasi karena anaknya mati di perang Irak. Meski bukti cukup kuat, namun pemerintah tidak mau mencabut dakwaan terhadap Jamal.

Aku kira, ini adalah mockumentary paling berhasil yang pernah aku tonton. Meski tujuannya sebagai kritik pada sikap Amerika yang kebiasaan buru-buru menghakimi, disatu sisi, Range juga seperti memberi kembali suara, pada pihak-pihak yang selama ini gampang dituduh sebagai tetoris, setelah di mute sejak peristiwa 9/11.

Salut juga buat Brand Thumim, sang editor.

(aku memindahkan postingan posting review film-film ini dari multiply ke blogger, just in case..)

Comments

Popular posts from this blog

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah ...

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...