Skip to main content

Le Grand Voyage (2004)

* * * *

Bagaimana rasanya 'terpaksa' mengantar ayah pergi haji dari Perancis sampai Saudi Arabia? Ismael Farroukhi (sutradara) mencoba menjawabnya. Lewat Reda (Nicolas Cazale) si anak, dan si ayah (Mohamed Majd), perjalanan spiritual ini, menjadi kisah bagaimana anak dan ayah mencoba saling memahami.

Tanpa banyak berkata, gap generasi si ayah yang lahir di tanah asal dan si anak yang lahir di tanah rantau, terungkapkan lewat adegan demi adegan film ini. Bagaimana si ayah masih memeluk agama islam secara taat, sementara anaknya yang lahir di Perancis, sulit mengerti mengapa ritual-ritual agama yang terasa menyulitkan itu masih harus dilakukan. Yang lebih mengherankan lagi, mengapa ayanya harus bersusah payah ke tanah suci dengan menempuh jalan darat, padahal ada pesawat yang bisa mengantar si ayah langsung ke tanah suci tanpa harus bersusah payah. Sebagai sebuah film perjalanan spiritual, Le Grand Voyage, terasa kental dan intens lewat bahasa visualnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tokohnya. Mereka ga perlu cerewet untuk mengatakan banyak hal, namun setiap peristiwa yang menjadi kepingan-kepingan cerita sudah cukup melukiskan intensitas emosi cerita.

Film berbahasa Perancis ini, memang terasa sangat Perancis dalam bertutur. Penonton tidak perlu lagi dijelaskan panjang lebar tentang apa dan mengapa tokoh-tokohnya hadir, namun penonton langsung diajak ke setiap fragmen dan mengenali sendiri apa, siapa dan mengapa mereka hadir.

Adegan favoritku di film ini adalah pada saat Reda menangisi bapaknya. Getar emosinya meninggalkan kesan justru sesudah filmnya selesai. Bagiku, kebanyakan film-film yang ga cerewet dalam bercerita, justru meninggalkan kesan yang dalam, karena ada jejak emosi yang tertinggal yang membuatku memikirkannya. Kurasa film-film seperti itu lah yang berhasil mengganggu penontonnya untuk berpikir dan melihat apa yang ada di balik drama tokoh-tokohnya.

Comments

IBS said…
mba tarlen, aku jadi penasaran sama film ini, I'll watch it! Your review is very good, (^_^)

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa...

Mencintai Lelaki Beristri

Foto karya Roy Voragen Satu hal yang harus kamu pahami, ketika berhubungan dengan lelaki beristri, kamu harus rela. Rela menjadi nomer kesekian. Rela menjadi bukan prioritas. Rela menerima sisihan waktu. Rela menerima label pengganggu rumah tangga orang lain. Rela memberi maaf atas semua alasan yang harus kau terima, saat si lelaki itu tak bisa menepati banyak hal yang ia janjikan padamu. Rela atas banyak hal. Rela atas semua resiko, ketika kau tau, lelaki yang kau cintai adalah lelaki dengan status NOT AVAILABLE alias Suami orang, alias bapaknya anak-anaknya. Tentunya kau akan dituduh cari gara-gara, cari penyakit, parahnya perempuan ga bener, perempuan gatal, ketika kau lebih memilih mencintai lelaki beristri daripada lelaki lajang untuk kau kencani. Tapi kau juga bisa membela diri, siapa yang bisa melarang perasaan cinta yang datang? Kerelaan ini, termasuk juga ketidak pahaman lingkungan ketika dalam hubungan itu,ketika kau berusaha keras menjaga dengan susah payah batas terjauh dar...