Skip to main content

The Diving Bell and The Butterfly (2007)

* * * * 1/2

Aku benar-benar jatuh cinta pada bahasa visual Julian Schnabel di Film ini. Menurutku Schnabel sangat jenius memvisualisasikan bagaimana tokohnya, Jean Dominique Bauby, berkomunikasi.

Film ini diangkat dari kisah nyata, Editor majalah Elle, Jean Dominique Bauby (diperankan oleh Matthew Amalric) yang menderita Lock-in Syndrome pada tahun 1995, akibat serangan jantung dan stroke yang dideritanya. Satu-satunya organ tubuh yang tidak mengalami kecacatan adalah matanya. Dengan mata itulah, Jean Do, berkomunikasi dengan dunia. Satu kedipan mata untuk mengatakan ya, dan dua kedipan untuk mengatakan tidak. Dalam kondisi yang serba terbatas itu ternyata tidak menghalangi Jean Do untuk menuliskan apa yang dia pikirkan dan rasakan dalam dunianya yang sangat terbatas itu. Dengan dibantu oleh pengeja yang membantu menyebutkan huruf-huruf dimana Jean Do akan mengedip pada huruf yang dimaksud, dalam sisa hidupnya yang serba terbatas itu, Jean Do berhasil menulis sebuah buku tentang imajinasinya yang tak terbatas itu.

Berbeda dengan film-film penderita penyakit seperti yang di derita Jean Do, bahasa visual yang dipakai Julian Schnabel dalam film ini, benar-benar membuat penonton merasa Jean Do dengan kondisinya yang sangat terbatas itulah yang sedang bercerita. Schnabel mencoba memakai mata Jean Do untuk menceritakan kisahnya dan kukira cukup berhasil. Selama ini, film-film sejenis selalu memakai mata narator untuk bercerita. Juga bagaimana Schnabel merangkaikan visual yang mewakili isi kepala Jean Do dalam film ini. Schnabel benar-benar masuk dalam mata dan kepala Jean Do.

Sebuah film yang sangat menarik dalam eksplorasi visual. Setidaknya memberi sudut pandang lain bagaimana sutradara menghadirkan tokohnya bukan sekedar menggambarkan karakternya, tapi juga bagaimana dia melihat dan bersuara.

Comments

@dewikhami said…
http://gigapedia.com/items/133486/diving-bell-and-the-butterfly

Iyaa, saya ketemu tulisannya :)
Penasaran karena score-nya 4 1/2 (Apa bukunya juga mendapat score yang sama?)

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa...

Mencintai Lelaki Beristri

Foto karya Roy Voragen Satu hal yang harus kamu pahami, ketika berhubungan dengan lelaki beristri, kamu harus rela. Rela menjadi nomer kesekian. Rela menjadi bukan prioritas. Rela menerima sisihan waktu. Rela menerima label pengganggu rumah tangga orang lain. Rela memberi maaf atas semua alasan yang harus kau terima, saat si lelaki itu tak bisa menepati banyak hal yang ia janjikan padamu. Rela atas banyak hal. Rela atas semua resiko, ketika kau tau, lelaki yang kau cintai adalah lelaki dengan status NOT AVAILABLE alias Suami orang, alias bapaknya anak-anaknya. Tentunya kau akan dituduh cari gara-gara, cari penyakit, parahnya perempuan ga bener, perempuan gatal, ketika kau lebih memilih mencintai lelaki beristri daripada lelaki lajang untuk kau kencani. Tapi kau juga bisa membela diri, siapa yang bisa melarang perasaan cinta yang datang? Kerelaan ini, termasuk juga ketidak pahaman lingkungan ketika dalam hubungan itu,ketika kau berusaha keras menjaga dengan susah payah batas terjauh dar...