Skip to main content

Candy (2006)

**1/2

Sejak Lord of Dogtown dan Brokeback Mountain, aku tertarik untuk memantau aktingnya Heath Ledger. Itu sebabnya film ini, jadi salah satu pilihan di bulan desember. Film yang diproduksi di Australia, negara asal Heath, juga digarap sutradara Ausi, Neil Armfield, bercerita tentang sepasang kekasih Candy dan Dan. Sepasang kekasih yang disatukan oleh cinta dan heroin yang dua-duanya sama-sama adiktif dan memabukan. Dunia yang mereka jalani lebih sureal daripada kenyataan yang mereka hadapi. Apapun yang mereka lakukan adalah demi cinta dan heroin. Cukup absurd sih..

Dari ceritanya sebenernya biasa aja. Cuma aku seneng aja mencermati ketika sutradara australia yang bikin. Gimana mereka melihat masalah seperti ini dan menceritakannya kembali dengan bahasa visual. Ya bagiku, kerasanya biasa aja. Ga terlalu nendang. Beberapa film tentang kecanduan napza, yang pernah aku tonton: transpotting, spun, selton sea, fear and loathing in las vegas.. hanya fear and loathing yang berhasil memukauku. mungkin juga karena itu tokohnya adalah Hunter P. Thompson, dan Terry Gilliam berusaha untuk sesureal mungkin seperti bukunya.

By the way, karena yang kuamati adalah Heath Ledger, aktingnya lumayan. Dulu sebelum dia maen Lord of Dogtown, aku agak underestimate sama dia, karena peran-perannya ga menarik. Setelah brokeback.. heath kukira berhasil membuktikan kemampuan aktingnya. Secara keseluruhan, film ini biasa aja. Oya, sayang banget Geoffrey Rush, ga dimaksimalkan perannya di film ini. Mungkin karena dia cuma jadi pemeran pembantu... padahal kalo liat Rush maen di Quills atau Shine, dia aktor hebat. Sayang banget.

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Mencintai Lelaki Beristri

Foto karya Roy Voragen Satu hal yang harus kamu pahami, ketika berhubungan dengan lelaki beristri, kamu harus rela. Rela menjadi nomer kesekian. Rela menjadi bukan prioritas. Rela menerima sisihan waktu. Rela menerima label pengganggu rumah tangga orang lain. Rela memberi maaf atas semua alasan yang harus kau terima, saat si lelaki itu tak bisa menepati banyak hal yang ia janjikan padamu. Rela atas banyak hal. Rela atas semua resiko, ketika kau tau, lelaki yang kau cintai adalah lelaki dengan status NOT AVAILABLE alias Suami orang, alias bapaknya anak-anaknya. Tentunya kau akan dituduh cari gara-gara, cari penyakit, parahnya perempuan ga bener, perempuan gatal, ketika kau lebih memilih mencintai lelaki beristri daripada lelaki lajang untuk kau kencani. Tapi kau juga bisa membela diri, siapa yang bisa melarang perasaan cinta yang datang? Kerelaan ini, termasuk juga ketidak pahaman lingkungan ketika dalam hubungan itu,ketika kau berusaha keras menjaga dengan susah payah batas terjauh dar...

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...