Skip to main content

Puber Kedua = Kesempatan Hidup Kedua?


Beberapa waktu terakhir ini, beberapa orang temanku, berniat cerai justru memasuki usia 40 tahun. Perkawinan yang sudah berjalan 5-10 tahunan itu, terancam bubar, karena salah satu merasa ga lagi bisa mengerti apa yang diinginkan pasangannya. Gosip artis di infotainment juga mengabarkan sinyalemen yang sama. Pak mentri, Yusril yang bercerai dengan istrinya, lalu menikahi perempuan 22 tahun, wajahnya tampak berseri-seri seperti disuntik suplemen baru. Aku berkomentar pada temanku tentang pak mentri "puber kedua banget sih." Helmi Yahya, yang jarang muncul di acara gosip, tiba-tiba menyatakan dirinya akan bercerai dengan istrinya. "Di antara kami ada perbedaan prinsip yang sulit disatukan," begitu alasan Helmi kepada wartawan.

Ya, perceraian, pernikahan, hal yang lumrah terjadi dalam kehidupan. Tapi bukan itu yang akan kubicarakan disini. Bukan pemakluman seperti itu yang membuat tak ada lagi alasan untuk membicarakannya. Yang menarik buatku justru, mengapa bercerai? mengapa di usia 40 ada kecenderungan, banyak hal berubah menjadi begitu asing dan sulit dimengerti. Mengapa di usia ini masing-masing dari pasangan menjelma jadi alien satu sama lain. Dan bagi banyak pasangan, perceraian kemudian menjadi jalan untuk mengambil jarak dan memahami. Tapi ada pula yang menjadikan perceraian titik nadir untuk menemukan kesempatan hidup kedua.

***

Siapapun yang memutuskan menikah, pasti menyangkal bahwa bisa jadi 5 atau 10 tahun kemudian, bisa saja mereka bercerai karena merasa sudah tidak mungkin lagi hidup bersama. Yang namanya puber kedua, pastinya ga terbayang sebelumnya, seperti apa kira-kira yang akan terjadi saat masing-masing menghadapi situasi itu. Lagi-lagi aku yang sok tau ini, mencoba membahasnya, menduga-duga, kira-kira kenapa hal itu bisa terjadi. Mungkin ini bisa membantu menguraikan sebab-sebab kegagalanku juga dalam memahami orang lain.

Merujuk pada tulisanku sebelumnya tentang 'Life Begin at Forty', secara alami, usia 40 emang usia yang mengandung sejumlah masalah. Usia yang menentukan, karena masa-masa penting untuk mengevaluasi kehidupan seseorang. Maka ga heran, istilah puber kedua kemudian muncul, karena di usia 40 seseorang kemudian mengalami fase perubahan fisik dan psikologis untuk memasuki tahapan baru dalam kehidupannya. Dan proses perubahan ini sesungguhnya alami terjadi sesuai dengan siklus kehidupan.

Penyesuaian atas perubahan fisik kukira lebih mudah diatasi daripada perubahan psikologis yang mengikutinya. Bagi pasangan yang menikah, penyesuaian psikologis ini seperti mencari irama yang sama dari dua gasing yang berputar dengan arah dan kecepatan putar yang berbeda. karena tidak semua gasing berputar dengan kecepatan awal dan daya dorong yang yang sama. Pada satu titik, pasti ada gasing yang kecapean dan berhenti berputar lebih dulu dari yang lain. Hehehe.. aku ga tau apakah analogi ini cukup nyambung atau teu nyambung..

Cuma dalam hubungannya dengan putaran gasing ini, aku jadi inget tulisan James Redfield di buku Celestine Prophecy buku pertama, James bilang banyak perempuan dan laki-laki ketika memutuskan untuk berpasangan, mereka memutuskan energi dari alam semesta dan menggantungkan diri pada energi masing-masing pasangan. Lama kelaman energi itu akan habis. Dan pada titik ini, biasanya tiba-tiba apa yang disebut cinta yang mengikat pasangan, habis terkuras. Sumber energi yang menggerakan komitmen bersama dalam ikatan pernikahan, ga ada lagi. Pernikahan menjadi hambar dan sekedar rutinitas belaka. Merit segan, cerai tak mau. Mencintai menjadi identik dengan kecenderungan untuk menguasai pasangan masing-masing. Mungkin ini akibatnya jika pernikahan dimaknai sebagai meleburnya dua pribadi menjadi satu. Bagaimanapun juga peleburan ini tak akan pernah bisa melahirkan bentukan baru. Yang terjadi malah bukan melebur, tapi menguasai itu tadi. Ada pihak yang mendominasi dan ada pihak yang didominasi. Wow.. pernikahan kemudian menjadi medan pertempuran yang seringkali harus dimenangkan oleh salah satu pihak. Mmm syereeeemmm ga sih..

Aku ga bermaksud menakut-nakuti diriku sendiri atau siapapun yang masih single dengan komitmen pernikahan. Seringkali aku malah berpikir, bagaimana pernikahan itu kemudian menjadi komitmen yang justru memberi ruang gerak yang leluasa pada keduanya untuk bisa mengembangkan dirinya satu sama lain. Saling mencintai, tapi juga sekaligus membebaskan. Kalo dalam konsepnya James Redfield, mencintai sekaligus membebaskan berarti ketika kita mencintai seseorang, kita masih berhubungan dengan energi alam semesta. Kita ga bergantung pada energi pasangan semata. Apa maksudnya tidak memutuskan energi alam semesta? ya tetep jadi diri kita sendiri. Meski menikah, masih bisa mengembangkan potensi dan kemampuan yang kita punya. Bergaul dengan sebanyak mungkin orang. Wow.. utopis banget ga sih? Karena banyak juga kan yang ketika punya pasangan, dia jadi ga mau bersosialisasi dengan sekelilingnya. Hey, aku coba menjalani itu, tapi memang itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Karena untuk menaklukan keinginan diri sendiri untuk tidak bersikap posesif pada orang lain dan meredam dorongan untuk menguasai orang lain, itu hal yang sangat sulit. Apalagi ketika keinginan dan perspektif seperti itu hanya ada pada salah satu pihak saja. Ketika yang satu menganggap pernikahan sebagai medan pertempuran yang harus ditaklukan, sementara satunya lagi menganggap, pernikahan adalah bagian dari negosiasi terus menerus untuk mencapai kesepakatan bersama. Ya jadinya ga nyambung. Mm.. tapi untuk menemukan pasangan yang berangkat dari kesamaan perspektif dalam memandang pernikahan sebagai ikatan yang menyatukan sekaligus membebaskan juga bukan hal yang mudah.

***

Lalu apa hubungan persepsi pernikahan, perceraian dan puber kedua seperti yang aku bicarakan sebelumnya? Aku mengamati, puber kedua itu seperti ‘eureka’ dalam fase kehidupan seseorang ketika mengijak umur 40. Ketika seseorang tiba-tiba menyadari perubahan besar dalam hidupnya. Perubahan yang penting, seperti perpindahan milenium yang kemudian patut dirayakan. Tapi yang sering jadi persoalan, perayaan itu seringkali dirayakan secara sepihak dan dengan cara yang tak disepakati oleh kedua belah pihak. Apalagi ketika perayaan itu justru dirayakan bersama orang lain, bukan dengan pasangan yang selama ini menjalani hidup bersama kita. Bagaimana mungkin salah satu dari pasangan, kemudian menjadi sangat ‘egois’ karena tak mau berbagi perayaan itu dengan pasangannya?

Kukira pada titik ini perspektif pernikahan menjadi penting. Semangat berbagi bersama pasangan, seringkali diidentikan dengan perngorbanan salah satu pihak. Bukan negosiasi yang sama-sama menguntungkan. Ketika salah satu pihak merasa terlalu banyak berkorban dan mengalah, pada titik tertentu, dia tak ingin ‘eureka’ dirinya, dia bagi pada orang yang menemani hidupnya. Orang yang selama ini sesungguhnya tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi kebahagiaan dirinya sebagai individu. Karena puber kedua atau ‘eureka’ diri itu, seringkali begitu personal. Sulit dimengerti oleh orang lain. Bahkan pasangan kita sendiri. Karena pernikahan kemudian dijadikan medan pertempuran dimana masing-masing berusaha saling menguasai dan mengalahkan, pada akhirnya, kehilangan kesempatan untuk menyadari apa yang sesungguhnya terjadi pada pasangan mereka. Ketika berusaha untuk mengenali, yang dikenali hanyalah titik lemahnya belaka, karena seolah-olah itulah yang paling penting harus dikenali untuk menguasai satu sama lain.

Aku ingat, omongan James, temanku. “Kalo gue, pasangan hidup gue justru harus punya kehidupan sendiri. Punya kesibukan yang jauh beda sama gue. Biar kalo kita ketemu di rumah, gue sama dia bisa tukeran cerita tentang apa yang kita jalanin masing-masing. Seru aja. Jadinya ga bosen.” Pandangan seperti ini kukira jauh lebih sehat, dibandingkan dengan pandangan bahwa “dia adalah milikku.” Karena konsep kepemilikan pada pasangan seperti itu, seringkali memenjarakan salah satu pihak, dari pada membebaskannya. Dan momentum puber kedua seringkali jadi momen pembebasan, dimana pihak yang merasa terpenjara melakukan pembalasan pada pihak yang mengekangnya selama ini. Puncak pembebasan itu, jika tak ada jalan yang disepakati bersama, ya bisa berakhir dengan perceraian. Seperti banyak pasangan, yang setelah menikah bertahun-tahun bahkan lebih dari dua puluh tahun, kemudian bercerai, karena salah satu ga bisa ngikutin perubahan yang terjadi pada pasangannya.

Bagi pasangan yang sejak semula pernikahan adalah hubungan kerjasama, yang harus memberi ruang bagi kedua belah pihak untuk tetap jadi dirinya sendiri, berkembang sesuai dengan potensi masing-masing, momen puber kedua ini, justru bisa menjadi momen yang dirayakan bersama-sama. Karena seperti yang dibilang James temenku itu, dunia yang dibangun oleh masing-masing justru jadi bahan yang selalu ingin dibagi dengan pasangan. Masing-masing akan selalu berusaha bertemu dalam wilayah irisan dari dua lingkaran besar kehidupan yang dibangun oleh masing-masing. Bagi pasangan seperti ini, puber kedua seperti kesempatan untuk menjalani petualangan baru yang ga asyik kalo hanya dijalani sendiri. Akan lebih asyik kalo dijalani dengan pasangan yang mengenali diri kita bukan hanya dari kelemahan, tapi juga kekuatan apa yang kita miliki. Wow... kukira ini adalah kondisi ideal yang didambakan oleh setiap pasangan ya..

***

Mengakhiri tulisanku yang sok tau dan sangat berjarak ini, aku membayangkan, puber kedua itu, sebernernya, seperti hujan badai yang datang tiba-tiba setelah panas yang datang berbulan-bulan lamanya. Pohon-pohon yang akarnya keropos tentunya akan gugur dan tumbang. Tapi pohon yang akarnya kuat akan tetap berdiri, malahan badai yang menerpanya, menumbuhkan pucuk-pucuk daun baru. Kehidupan baru dimulai seriiring bertambahnya lingkaran tahun dibatangnya.

Seperti juga perjalanan hidup yang seringkali diwarnai banyak kesalahan dan kegagalan, jika kesempatan kedua itu datang, apa yang akan kita lakukan? tentunya berusaha lebih keras lagi membuat hidup kita lebih baik lagi.. karena siapa tau, setelah 40 tahun, kesempatan itu tak pernah datang lagi..

kgu 8

Comments

Anonymous said…
Ehm, tarlen.
Ini nyambung yang dulu ya? Puber kedua, ehm...
gimanaaa, gitu. Masalahnya mpe sekarang ngerasa puber
terus nih, hehe..

Santi.
Unknown said…
Salam.

Saya turut menyimak perkembangan para selebritas (selebriti) yang bercerai di usianya yang sudah paruh baya, yang telah menikah dengan pasangannya selama 10-25 tahun. Setelah mendengarnya, saya merasakan keheranan sekaligus kekhawatiran akan diri saya. Kalau rasa khawatirnya tidak usah ditanyakan lagi sebabnya. Tapi yang rasa herannya adalah ini: Kenapa ada yang bisa dengan mudahnya mengatakan kalau 'mereka sudah sampai pada titik perbedaan yang tidak bisa ditawar lagi'?

Ah, saya sendiri masih muda, masih punya harapan bagus tentang masa depan saya. Semoga saja Tuhan melindungi saya dari hal ini (Serius, saya khawatir banget! Saya menjunjung nilai keutuhan keluarga banget sih dan gak berharap nilai itu hancur di depan mata saya).
Unknown said…
Yah..... pantes aja, aku susah nyari jodoh,.. rupanya yang usia 40an, ngambil jatah untuk usia kami... hiks hik....

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah