Skip to main content

Bacalah Atas Nama Keberanianmu Sendiri


photo by tarlen

Dua hari lalu, aku diundang rapat sama kepala Dinas Pendidikan TK dan SD kota Bandung. Di undangannya tertulis, karena keprihatianan mereka atas kondisi Indonesia yang ada diperingkat 38 dari 39 negara yang minat bacanya rendah. Yeah, itu berarti Indonesia ada di peringkat kedua paling bawah. Dari daftar undangan yang dilampirkan, aku liat ada beberapa dinas terkait, kalangan akademisi, penerbit dan toko bukunya. Hanya dua toko buku yang diundang, salah satunya tobucil. Dengan naifnya aku mengira, pertemuan itu akan dengan serius membahas bagaimana meningkatkan minat baca dikalangan siswa SD dan TK. Ternyata aku 'ketipu'. Gara-gara salah satu koran terbesar di Jawa Barat, menyumbangkan 50 buah mading buat SD-SD di Bandung, Dinas Pendidikan, sibuk pengen bikin acara seremonial dengan tajuk 'Meningkatkan Gerakan Membaca'. Aduhhhh plis deh.. padahal itu koran yang katanya udah menyebar mengakar pengen aja brandnya masuk ke SD-SD.

Sepanjang rapat, aku diem aja. Pertama, karena ngerasa aneh di antara orang-orang tua, para birokrat itu. Kedua, aku mencoba menyimak apa yang sesungguhnya diinginkan oleh orang-orang yang membuat kebijakan pendidikan ini. Alhamdulillah, sampai rapatnya selesai, aku ga dapet tuh penjelasan yang mengupas sebab musabab dari perspektif mereka, kenapa Indonesia bisa sampai ada diperingkat kedua dari belakang, kecuali masalah keterbatasan fasilitas. Orang-orang itu bilang, bahwa selama ini kita ga punya fasilitas baca yang memadai, perpustakaan ga punya buku-buku baru yang bisa menarik minat siswa-siswa. Untuk itu, kepada seluruh elemen di masyarakat diharapkan dapat memberikan bantuan untuk melengkapi fasilitas tersebut. Yeah, setelah rapat selesai, baru tau aku, kalo ternyata tujuan mereka ngundang adalah minta sumbangan. So tipikal pemerintah.

***

Ngomongin tentang minat baca, sebagai pedagang buku, aku kadang merasa sangat muak. Muak, karena setiap kali banyak orang ngomong minat baca rendah dan memprihatinkan, tapi tetep aja diskriminasi bacaan diberlakukan. Kenapa aku bilang diskriminasi bacaan?
Dalam rapat kemaren juga disinggung, soal bacaan untuk anak SD yang harus sesuai dengan kaidah moral bangsa dan agama. Emang yang sesuai dengan moral bangsa itu seperti apa? Aku beneran tambah muak dengan itu. Bagiku, ketika pikiran orang-orang seperti itu, mengkelompokan ini ada bacaan yang bermoral dan tidak, kukira mereka telah melakukan diskriminasi itu. Aku percaya, tak ada bacaan yang buruk, yang kemudian membedakan yang ini lebih baik dari yang baik, adalah kemampuan seseorang memahami dan menyerapnya dalam kehidupan sehari-hari.

Kukira, salah satu akar persoalan rendahnya minat baca negara ini, karena orang-orang 'yang membaca' seringkali dengan sangat kejam 'mengitimidasi' orang-orang yang baru mau membaca. Bentuk intimidasi yang seringkali tak disadari adalah diskriminasi bahan bacaan. Pembedaan sikap, bahwa yang baca buku-buku filsafat atau wacana besar, derajatnya lebih tinggi dari orang-orang yang memilih baca komik Jepang, Nick Carter, Chicklit atau Teenlit.

Dalam kenyataan, buku-buku yang 'derajatnya' lebih rendah itu justru jauh lebih menyenangkan daripada buku-buku serius itu. Hal-hal yang seringkali dianggap ga penting, justru memberi pengalaman tak terlupakan saat usia SD, kita mulai belajar membaca. Aku ga pernah bisa lupa, betapa menyenangkannya membaca Mimin, Drakula Cilik, Komik Petruk Gareng (yang semi porno itu), Tiger Wong, Crazy Guy, Ko ping Hoo, tumpukan komik yang selalu jadi musuh para orang tua, justru pengalaman berharga pada masa kecil kita. Aku ga bisa ngebayangin, kalo masa kecilku ga mengalami bacaan-bacaan ga penting itu. Ketidak pentingan bacaan itu lah yang seringkali menjadi pintu masuk, untuk eksplorasi kehidupan yang lebih luas. Fantasi dan imajinasi yang terbentuk karenanyalah yang akan menjelajahi dunia dan segala kemungkinan-kemungkinannya. Imajinasi seperti kendaraan yang akan membawa kita menggali kedalaman ke mengurai kompleksitas kehidupan.

Ketika beranjak dewasa, kita seringkali lupa nikmatnya mengalami 'ketidak pentingan' itu. Dengan dalih, buat apa buang waktu, pendidikan yang semakin tinggi (baca: malu kalo baca, bacaan ga penting takut dianggap ga intelek), diskriminatif terhadap bacaan mulai muncul dalam diri kita. Menganggap bahwa buku-buku sastra derajatnya lebih tinggi daripada teenlit atau chicklit. Atau menganggap buku-buku bergambar depan kyai kondang yang heboh kerena poligami itu, lebih baik dan bermoral daripada kumpulan cerita Oh Mama, Oh Papa. Dan kukira, ini bukan masalah motivasi seseorang membaca. Siapapun bisa membaca dengan motif apapun. Banyak sedikitnya bacaan seseorang pun, tergantung dari persoalan motivasi itu.

Lalu imajinasi terbentur-bentur pada batasan-batasan yang dibuat oleh orang-orang dewasa. Kita dipaksa untuk melihat segala sesuatu dari konvensi yang telah disepakati, sesuatu yang kemudian menjadi mapan. Sudut pandang yang dianggap keluar dari kesepakatan dianggap bid'ah dan patut dicurigai. Dunia menjadi begitu kecil dan terlalu sederhana, ketika semua terpatok pada definisi si A, si B, si C.. atau kata si ini kata si anu. Kita lupa untuk membaca dan membuat definisi menurut diri kita sendiri.

***

Aku sempat lama memikirkan apa yang dimaksud Paulo Coelho dengan menemukan legenda pribadimu sendiri (dalam Sang Alkemis). Apakah legenda pribadi itu berhenti, pada saat kita menemukan definisi hidup menurut si A, si B, si C dan berhenti pada titik itu saja. Ataukah legenda pribadi itu lebih jauh dari itu. Ketika kita membaca semua definisi hidup versi si A, B, C.. sampai akhirnya kita bisa menemukan definisi kita sendiri? jadi semua kata para ahli itu seperti potongan-potongan pesan yang harus kita susun, kita pahami, kita kritisi, sampai akhirnya kita bisa menemukan kata kita sendiri, definisi kita sendiri.

Untuk menemukan definisi itu, tentunya ada ruang-ruang toleransi untuk sesuatu yang selama ini dianggap ga penting, ga bermoral, ga intelek itu. Karena hal-hal itulah yang akan menguji dan membentur-benturkan bacaan-bacaan yang mapan itu. Sampai kita percaya bahwa si A, si B, si C itu bukanlah satu-satunya definisi. Ya, kadang kita sendiri juga lupa, sama proses orang-orang ini menemukan 'definisi' itu. Mereka pada mulanya juga mengambil resiko dianggap bid'ah, dianggap menyimpang dan dimusuhi sekelilingnya karena memilih berbeda.

Kukira, jika kita memang orang-orang yang merasa dirinya 'membaca', menghargai perbedaan-perbedaan itu menjadi penting. Sikap seperti itu membuat kita, sadar bahwa sebuah pemikiran yang ada dibuku-buku itu tak lahir begitu saja. Kita lantas bisa menghargai prosesnya. Karena setiap pemikiran selalu punya pesan dan maksudnya sendiri. Dan apakah bisa memperkaya definisi kehidupan kita sendiri, kukira juga butuh keterbukaan dan keberanian untuk mengakuinya.

Dalam konteks yang lain, setelah semua gerakan-gerakan membaca itu berhasil 'menggerakan', beranikah pemerintah menanggung resikonya? Karenanya kupikir, membacapun butuh keberanian. Ketika kita menemukan banyak kebenaran atas apa yang kita baca, beranikah kita untuk menerimanya? kukira hal itu tak pernah diajarkan pada saat pertama kali kita belajar membaca.

Comments

Anonymous said…
wah kalo ngomongin gerakan baca buku sama kamu nyerah deh. hehe. apalagi ada local literat movment.

spakat. Waktu kecil aku juga baca semua buku anak-anak, cerita silat kopingho sampe wiro sableng (eh itu cerita anak2 kan). komik gundala, godam cs, dsb-dsb.

selain buku serius, sampe sekarang juga masi suka baca komik2 /novel, di komik korner sering juga. Kadang agak gimanaa gitu baca bareng anak smp. tapi gmana lagi, emang suka sih.

tadi liat kamu di tobucil,dari muka2mu kayaknya ada postingan baru ni.. e bener, :P

tips: (bandung dskitarnya)
1. kalo kamu 22 tahun keatas,jangan baca komik siang hari di komik korner atao penyewaan komik lainnya, nanti bareng anak2 smp atau sma, baca pagi2 sekali atau malam skalian, nanti akan ktemu orang2 tua lainnya yang hobi komik.
2. kalo baca buku serius tapi ga mampu beli, baca di rumah buku, gratis.
3. Bisa gratisan juga di tobucil, baca ajah sampe habis buku serius itu, jangan lupa tandai sampai mana. kalo gaboleh pura2 beli trus baca yang lama. :))
4. selamat mencoba, kalo ada tips ini smoga minat baca bertambah.
Anonymous said…
Karena membaca membawa orang ke dunia yang lain, membuka orang untuk berpikir tentang hal-hal yang selama ini dikira tabu, membawa orang menemui ide-ide lain daripada yang selama ini diajarkan dari pendidikan PPKN dan agama, maka pemerintah Indonesia tidak mendukung gerakan membaca. Karena membaca membawa orang menjadi pemberontak, menjadi berbeda.

'Dare to be different' memiliki arti yang lain di negara ini, karena menjadi berbeda bisa mengakibatkan nyawa melayang.

Do you agree?
vitarlenology said…
wah rlynn,
saya setuju sama sekali sama kamu.. sangking takutnya dengan perbedaan, banyak orang memilih untuk diseragamkan daripada harus mengalami resiko nyawa melayang.. butuh keberanian untuk menunjukkan dan menerima perbedaan itu.. resiko paling ringan.. selain nyawa melayang..ya terkucil dan dianggap aneh.. begitulah resiko hidup dinegara dimana perbedaan hanya slogan, sementara warganya takut pada perbedaan..

biar ga takut.. yang merasa butuh keberanian untuk jadi berbeda.. yuk.. sama-sama bergandengan tangan.. biasanya dua orang takut, bisa melahirkan 3 orang berani..

salam
Unknown said…
Ini tarlene temen rani ^^?
Lagi iseng blog-hopping sampe sini, baca post yg ini..n jadi pengen bilang: hore..hidup tarlene!

Setuju sekali sama semua hal baca membaca, masa yg baca komik & 'cheesy' books dianggep shallow, baca buku2 berat *isi & fisiknya* dianggep intelek? bete banget.. gw suka komik sampe mati, jadi gw kekanak2an n shallow sampe mati? T___________T;

Klo dipikir2 yah mana ada org yang dari awal uda suka baca buku yg tulisannya kayak ga ada akhirnya gitu, mana anak2 kan membaca aja sulit..

Kyknya mengawali minat membaca dengan komik itu yg paling masuk akal..sekarang gw suka baca buku2 yang klo dibaca bikin mata juling juga gara2 baca komik. TAPI klo komik dianggep merusak, klo anak-anak baca komik dimarahin, gimana bisa mulai suka membaca?

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah