Skip to main content

Impian Bersama atau Kepentingan Bersama?


(Tulisan pertama refleksiku setelah aku mengundurkan diri dari Common Room Networks Foundation)

Aku jadi ga percaya kalau mimpi bersama itu ada, yang ada hanyalah persamaan kepentingan dari impian yang berbeda-beda itu. Enam tahun perjalanan philantrophiku membuktikan itu. Dulu (dan sampai kemarin) aku terlalu naif, menganggap bahwa orang-orang yang sama-sama punya mimpi sama yaitu ingin mengubah dunia, berarti bisa lebih mudah mengikatkan diri dalam komitmen untuk membangun mimpi itu bersama-sama. Kupikir, tak perlu lagi memperjelas impian itu, karena ku kira impian kita sudah sama. Tapi ternyata itu pikiran yang sangat bodoh, sama bodohnya ketika menganggap saat memilih hidup bersama, pasangan kita punya mimpi yang sama dengan kita.

Setiap orang punya meskipun punya 'tema' mimpi yang sama, namun selalu punya cara berbeda ketika memimpikannya dan mempersepsinya. Perbedaan inilah yang kemudian mendorong cara meraih impian bagi setiap orang berbeda-beda. Sebenernya situasi ini ga terlalu masalah kalau impian itu dijalankan oleh perorangan, karena ia bisa lebih leluasa bergerak sesuai dengan caranya untuk mewujudkan impiannya itu. Namun hal ini seringkali jadi masalah, manakala yang merasa punya impian bersama ini, bersepakat untuk menyatukan langkah dalam sebuah organisasi dan bersepakat membangun sebuah impian kolektif. Karena persyaratan paling mendasar dan sulit untuk dilakukan adalah: reduce your ego! manakala kolektivitas menjadi alat untuk melahirkan impian bersama itu.

Banyak impian kolektif ini kandas, masing-masing anggota kolektif ga bisa mer-reduce egonya masing-masing, akibatnya selalu ada pihak yang dianggap mau menang sendiri dan juga merasa paling banyak berkorban, akhirnya patah arang dengan proses menyatukan langkah dan bubar jalan. Disangkanya, jika langkah-langkah itu telah menyatu, otomatis mimpinya akan sama. Padahal saat langkah-langkah itu disatukan ada banyak konsekuensi yang harus ditanggung dari komitmen berkolektif yaitu banyak mimpi terberangus. Sebagian hak kebebasan paling hakiki dari diri individu_ hak untuk bermimpi_ terberangus, karena harus patuh pada komando yang sama. Ku kira, hak untuk bermimpi seringkali tidak disadari oleh banyak orang sebagai sesuatu yang asasi dari diri manusia. Sehingga ga heran banyak orang takut untuk bermimpi karena takut untuk menemukan dirinya yang asasi itu. Takut jika dunia tak bisa menerima impian-impiannya. Akhirnya ketakutan-ketakutan itu melahirkan pemimpin-pemimpin fasis yang memaksakan mimpinya pada semua orang dan caranya menjadi satu-satunya yang menurutnya terbaik untuk mencapai impian itu. Padahal warna dunia dibangun dari semua impian manusia yang berbeda-beda itu. Semua mimpi itu menjadi kepingan-kepingan puzzle yang menyusun dunia. Jika ada satu yang mendominasi, komposisi warna dunia kemudian jadi berubah. Impian seperti api abadi yang menggerakan manusia untuk meraih kehidupan yang lebih baik, ketika si empunya mimpi menyadari bahwa mimpinya kait mengait dengan orang lain. Kesadaran ini tak dapat dibangun tanpa kemauan untuk mereduce ego masing-masing.

Enam tahunku itu memberitahukan padaku, bahwa hidup juga bukan sekedar mimpi. Perlu tindakan lebih dari sekedar memimpikannya jika ingin mengalami mimpi itu dalam dunia nyata. Itu yang membuat Tuhan menyukai orang-orang yang bekerja keras. Dan peradaban manusia pun sesungguhnya dipenuhi oleh kisah-kisah perjuangan manusia untuk mengalami mimpinya di dunia nyata. Namun pertanyaannya, apakah semua mimpi-mimpi hebat itu telah membawa hidup manusia menjadi lebih baik? Ku kira pertanyaan ini selalu berusaha dijawab dengan upaya manusia menemukan berbagai macam cara untuk meraih impian itu dengan kesadaran bahwa manusia ga bisa hidup sendirian. Dan itu berarti manusia butuh saling bekerjasama. Lagi-lagi kunci kerjasama itu adalah reduce your ego!

Sejarah mengajarkan, gagasan-gagasan baik yang muncul dari impian individu, kemudian menjadi petaka, manakala gagasan itu diperjuangkan dan dipertahankan sebagai yang paling baik. Jadinya semua orang dianggap harus mengikuti gagasan itu. Bahkan hukum, sistem pemerintahan dan kekuasaan di buat untuk memaksa setiap orang bisa menerima gagasan yang sama (baca: secara substansial menerima satu mimpi untuk menjadi mimpi bersama). Hasrat menguasai jauh lebih terasa daripada naluri untuk berbagi. Dan sejarah juga telah membuktikan itu. Bagaimana peradaban manusia yang didorong dan dikendalikan oleh hasrat mengusai justru membawa manusia pada titik kemanusiaannya yang paling rendah: holocaust, genocide, in the name of holy war.

Padahal untuk menyatukan persepsi tentang mimpi itu saja, bukan hal yang mudah. Apalagi menyamakan langkah. Ku kira di dunia ini, hanya militerisasilah yang bisa berhasil dalam hal menyatukan langkah dan menjaga akselerasi dengan kata lain baris berbaris :D. Ku pikir, akan sangat melelahkan jika yang dimaksud dengan menyamakan langkah adalah menyamakan akselerasi dan persepsi itu. Seringkali kita terjebak untuk menyamakan akselerasi, padahal akselerasi tak akan pernah bisa sama sebagaimana ritme hidup seseorang yang berbeda-beda. Seperti ombak di lautan, aku memperhatikan bahwa setiap bagian gelombang yang membentuk ombak bergerak dengan kecepatan yang berbeda dan cara yang berbeda. Namun perbedaan itu jika bergerak dalam harmoni dan kesadaran bahwa yang satu merupakan bagian dari yang lain, dia mampu menjadi energi yang sedemikian dasyat dan mematahkan pertahanan siapapun yang dia lalui, manakala ombak melahirkan tsunami. Karena tsunami menjadi kepentingan bersama ombak untuk mengembalikan keseimbangan ekosistem dalam bentuk yang menurut manusia cukup ekstrem.

Kemudian pertanyaan tentang impian bersama atau kepentingan bersama bagiku menjadi sangat penting sekarang. Ini bukan hanya menyangkut apa yang terjadi pada diriku beberapa waktu ini, namun juga mempengaruhi cara pandang dan caraku memahami upaya terus menerus yang dilakukan manusia untuk mengubah dunia menjadi lebih baik.

Comments

Beni Suryadi said…
so inspiring mbak.
maybe it's time to wake up and get real.
tks
This comment has been removed by the author.
temanku laras, yang magang di tempat teteh, sering membicarakan masa-masa sebelum perpisahan ini. InsyaALlah rencanaNya selalu yang terbaik
Anonymous said…
saya ragu kalau ide bisa mati.

Mengutip seseorang :
Even if it's a hard blow. You make the best of it. And move on....

Yeah! Time to get busy and rock!

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...