Skip to main content

Membincangkan Soal Jodoh Dengan Ibu

Steve Buscemi di Paris I Love You

Pagi ini kami bertengkar. Sebuah pertengakaran untuk masalah yang berulang. Mulanya dia mengajak kami_ empat orang anaknya_ berintrospeksi. Ibuku itu terganggu sekali ketika beberapa hari sebelumnya, saat dia kembali meributkan soal perjodohan anak-anaknya, aku bilang padanya: "ibu selama ini terlalu protektif sih sama anak..". Rupanya pernyataanku ini membuatnya tak bisa tidur. Ia berpikir dan seperti biasa, berasumsi tentang: mengapa aku mengatakan hal itu. Dan seperti biasa pula, ia mempercayai asumsinya itu.

Sampai tadi pagi, sesudah selesai mandi, ibuku memanggilku untuk duduk bersama ketiga saudaraku yang lain. Ia mengajak kami berintrospektif tentang persoalan perjodohan ini. Tapi intinya sebeneranya ibunya mengajukan pembelaannya bahwa dia tidak seperti yang aku katakan. Lalu mulailah dia bercerita kisah hidupnya yang dia ulang-ulang dengan nada dan irama yang sama persis. Juga tentang penilaiannya terhadap anak-anaknya, bahwa masalah perjodohan ini karena kami anak-anaknya dia anggap tidak serius meminta pada Tuhan untuk diberi jodoh, sehingga ia merasa sekuat apapun ia meminta pada Tuhan, Tuhan tak jua mengabulkan keinginannya.

Lalu aku merasa sangat muak. Aku mencoba menjelaskan padanya yang kumaksud dia terlalu protektif adalah bahwa selama ini dia tidak sepenuhnya membiarkan kami berproses secara dewasa dalam perjodohan ini. Dia memakai standarnya dan caranya untuk menilai upaya kami untuk mendapatkan pasangan. Pernah suatu hari ia berkata:"hal yang membuatku tidak bahagia adalah karena aku belum menyaksikan kalian menikah.." Tentu saja jawaban itu menimbulkan gugatan-gugatan dalam diriku. Sontak aku balik bertanya padanya: "Bagaimana jika sampai ibu mati, salah satu di antara kami belum juga ada yang menikah, apakah ibu akan merasa mati dengan tidak bahagia?" jawabannya membuatku sangat sedih bukan cuma aku tapi juga saudara-saudaraku lainnya:" Ya kalau bisa kalian sudah ada yang menikah sebelum aku mati.."

Lalu tadi pagi dia mulai menggugat itu kembali. Aku tau penyebabnya, hari minggu kemarin anak perempuan sahabat ibuku menikah dan tentunya ibuku terlibat sebagai panitia. Setelah pesta usai, dia kembali dijangkiti perasaan gelisah. Gelisah memikirkan nasib anak-anaknya yang belum juga menikah. Mulailah dia menilai soal hubungan anak-anaknya dengan Tuhan yang secara tersurat ia anggap sebagai alasan kenapa jodoh itu tak kunjung datang.

Aku yang selama ini menahan diri untuk tak membantah gugatan-gugatan ibuku, semakin merasa muak dan sudah waktunya aku membela diri. Lalu semua yang tertahan itu tak bisa ku bendung lagi: aku menggugatnya yang tak pernah mau mendengarkan kami. Aku menggugatnya yang memaksakan standar 'keimanan dan hubungannya dengan Tuhan' kepada kami semua tanpa mau mengerti bagaimana masing-masing dari kami anak-anaknya berproses menemukan Tuhan. Ketika aku mencoba menjelaskan apa yang kupikirkan tentang sebuah hubungan, dia tak sungguh-sungguh mendengarkan malah balik mengulang kisah hidupnya yang selalu dia ulang dengan nada yang sama. "Ibu terlalu sibuk bicara dengan diri ibu sendiri .."

Lalu mulailah dia mengeluarkan jurus saktinya sebagai ibu, "Lalu aku ini harus bagaimana sebagai ibu, aku bingung menghadapi kalian semua, gini salah gitu salah.. aku selalu menahan diri selama ini.. tapi masa aku ngga boleh berbagi bebanku dengan anak-anakku sendiri.. aku kan selama ini hidup dengan anak.." Dengan kesal tapi serius aku bilang: "Terserah ibu saja.. jalani apa yang ingin ibu lakukan.. aku akan berusaha menerima dan memahaminya.." Saat motor melaju, samar-samar aku mendengar ibuku: " menerima mungkin iya.. tapi kamu tak pernah bisa memahaminya... " Dalam hati aku membalasnya: "terserah apa kata ibu.. kau ibu dan kau akan selalu merasa paling benar..."

***

Yeah..
Persoalan klasik. Aku yakin bukan aku saja yang mengahadapi perbincangan berat seperti ini dengan ibu. Bagi ibuku adalah masalah besar ketika sampai saat ini belum ada satupun anaknya yang menikah. Menurutnya hal ini jadi masalah karena kami tidak melakukan apa yang menjadi 'umumnya orang'. Sementara bagiku mencari jodoh itu adalah proses. Proses mencari bahagia, karena jika aku tidak bahagia dengan pasangan hidupku, aku yang menanggung semuanya. Aku ga bisa menyalahkan orang lain. Bagiku menemukan pasangan hidup adalah menemukan kesadaran bahwa aku mempersilahkan diriku membangun hidup bersama orang lain yang tentunya bukan manusia yang sempurna.

Kakak lelakiku malah bilang pada ibuku, ketika ibuku mempertanyakan kenapa Tuhan sepertinya tak kunjung mengabulkan doanya, tanpa disadari ibuku berusaha masuk ke dalam wilayah keputusan Tuhan. Aku sendiri percaya bahwa Tuhan adalah penguasa hati. Tuhan akan menyatukan hati umatnya yang dia kehendaki. Juga aku percaya sangat bahwa Tuhan sangat sangat apresiatif terhadap proses umatnya. Karena itu yang sangat penting juga adalah proses untuk menyiapkan hatiku secara terbuka menerima hati yang lain, dan ini bukan hal yang mudah.

Sebelum pertengkaran ini, beberapa waktu lalu, aku bertemu seorang teman yang memberiku doa untuk meyakinkan hati bahwa aku memang ingin membangun hidup bersama seseorang yang menurutku spesial. Temanku itu bilang, "Sebelum kamu benar-benar berdoa, meminta pada Tuhan, kami harus tanya dirimu sendiri, apakah kamu memang benar-benar yakin pada perasaanmu?" Dan ternyata setelah aku benar-benar bertanya pada diriku sendiri, aku justru menjadi sangat gelisah. "Benarkah dia yang kuinginkan membangun hidup bersamaku?" Dan untuk menjawabannya butuh waktu dan keberanian untuk menyusun jawabannya. Termasuk juga keberanian menghadapi ibuku yang tak sabar dengan proses menemukan keyakinan itu.

***

Ibuku selalu mengemukakan kata kuncinya sebagai seorang ibu:"nanti juga kamu kalau sudah berumah tangga, sudah punya anak, akan merasakan apa yang ibu rasakan.." dan dengan kengeyelanku atas pandangan hidup kami yang berbeda itu aku berkata pada ibuku: "cobalah melihat hal ini dari sisi yang berbeda, ngga lagi dianggap beban tapi dari sisi yang lebih positif, aku ngga mau melihat ibu semakin tua dengan beban kesedihan yang seolah-olah hanya ibulah yang berhak menanggungnya..., padahal kami yang merasakannya..."

Aceh 56, 14:00

Comments

boit said…
hey, jangan semarah itu pada ibu..
please.
boit said…
jangan semarah itu pada ibu,,
please ?
Unknown said…
Nenek dari sisi ayah saya usianya dipercaya sudah 100 tahun lebih (dikira2), dia sudah menderita berbagai macam penyakit, tapi masih saja terlihat jauh dari kematian. Saat ditanya dia hanya bilang "emak gak akan mati sebelum imas nikah", imas itu sepupu saya yang selalu merawat emak, dia sudah lewat dari usia 'normal' untuk menikah tapi belum juga menikah.

Melihat hal itu mamah saya bilang ke saya, "put jangan sampai bikin mamah kayak emak ya..."

Saya cuman senyum2 saja dan bilang pada mamah saya, "saat mamah merasa terlalu gelisah dan memaksa put untuk cepat menikah, berarti mamah udah mulai gak percaya lagi dengan ketetapan Allah".

Itu jadi kesepakatan gak tertulis dengan mamah bahwa untuk urusan jodoh, mamah gak akan terlalu memaksa saya. Jodoh itu gak selalu jadi rizki, itu adalah cobaan, teguran, bahkan musibah sekaligus. Karena itu setiap orang harus mempersiapkannya dengan baik.

Semua hal pasti ada masanya. Orangtua memang selalu berpikir jauh, terlalu jauh malahan, dimaklumi aja, toh anak mah memang cuman bisa maklum. Hehehe...susah juga sih jadi cewek, 'gak bisa' maju duluan, jadi ya menunggu saja...
Linda said…
mbak tarlen, sikon saat mamanya mbak tarlen dg saat ini berbeda. jadi kita sebagai anak harus mengalah. pengalaman lind kalo mau membicarakan sesuatu sama ibu, biasanya mencari sikon yg tepat. apalagi semenjak meninggalnya bapak, ibu linda sensitif banget. linda cari waktu yg tepat dan cari bahasa yg sehalus mungkin biar ibu bisa menerima apa pendapat linda. alhamdulillah sampe saat ini berjalan lancar mbak :)
anita said…
saya belum pernah jadi ibu, jadi saya belum pernah sekhawatir beliau.

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah