Skip to main content

Forgiven Not Forgotten

Nisan bapak, foto by 'kamu'

Di hari seperti lebaran ini, hampir setiap orang sibuk merangkai kata, mencari kata-kata indah untuk mengucap maaf. Dan begitulah kejadiannya setiap tahun. Maaf demi maaf, lalu khilaf lagi kemudian maaf lagi, lalu khilaf lagi, maaf lagi.. terus.. seperti siklus yang tak jelas ujung pangkalnya.

Tahun ini, aku sendiri ga tau, kata-kata apalagi yang harus kususun untuk mengucap maaf, pada semua kekhilafan yang berulang itu. Aku ga pandai merangkai kata-kata manis, apalagi untuk sebuah ucapan maaf yang sangat ingin kuucapkan dengan ketulusan. Kebingunan ini membuatku memikirkan lagi kata maaf itu. Belum lagi beberapa kejadian yang kualami dan yang beberapa temanku alami membuat perenungan kata maaf itu menjadi sangat relevan buatku.

Saat aku sadar diriku ini berbuat salah, sebenarnya tindakan yang kulakukan sendiri telah lewat dan dalam hitungan waktu, kejadian itu ga bisa di putar mundur. Rasa bersalah yang terjadi kemudian karena aku terus menerus kejadian itu, menginggatnya bahkan berusaha melupakannya. Saat kesalahan itu aku lakukan pada diriku dan aku meminta maaf padanya, yang menjadi bagian dari proses memaafkan itu adalah bagaimana aku kemudian mengingat kejadian itu lagi. Dugaan ini membuatku berpikir, jangan-jangan maaf itu adalah persoalan bagaimana kita mengingat.

Bagaimana mengingat sebuah kesalahan? biar ga jadi trauma, penyangkalan atau malah kutukan. Bagaimana mengingat dengan memaafkan ingatan itu? Dan ketika kesalahan itu harus di tebus, bagaimana sebenarnya menebus ingatan itu? Pertanyaan yang sungguh-sungguh sulit buatku.

Jika melihat sejarah kehidupan manusia, ternyata ruang-ruang untuk kesalahan itu selalu ada. Berbagai macam tragedi kemanusiaan yang terjadi di muka bumi ini, terjadi juga karena kesalahan-kesalahan itu. Aku ga akan ngebahas soal itu disini, karena pada tingkat individu pun setiap orang mengalami tragedi kemanusiaannya sendiri. Itu juga sebabnya ada pemahaman bahwa sejarah adalah perjuangan melawan lupa. Sementara memaafkan juga seringkali dimaknai dengan melupakan segala kesalahan. Namun adakah kesalahan yang benar-benar di lupakan?

Dalam kehidupanku, kesalahan-kesalahan di masa lalu, sering muncul sebagai kilasan-kilasan seperti sambaran kilat di angkasa. Ketika kecil aku takut melihat kilat. Namun lama kelamaan setelah belajar sains, kilat tak lagi menakutkan. Karena hukum sebab akibatnya sedikit demi sedikit mulai dipahami. Kini saat ada kilat, aku bisa melihatnya meski tetap dalam jarak aman. Karena bagaimanapun juga, saat aku melanggar jarak amannya, siap-siap aja mati kesamber gledek.

Mungkin mengingat kesalahan itu, seperti proses mengingat kilat. Waktu pertama kali setelah mengalaminya, ketakutan merajai diriku. Dan setiap kali ingatan itu muncul yang terjadi seperti proses mengingat dan memahami kilat. Ketika sampai pada titik mengerti mengapa kilat itu muncul, aku jadi tau bahaya sekaligus juga manfaatnya. Hal kemudian aku ingat dari proses ini adalah sulit bagiku memperkirakan, seberapa besar sesungguhnya kekuatan dari 'kilat' itu bisa mempengaruhi hidupku. Sejarah mengajarkan banyak tragedi kemanusiaan besar berawal dari kesalahan-kesalahan kecil. Karena kesalahan-kesalahan kecil perlu diberi ruang untuk menemukan kesadarannya..

Temanku pernah bilang bahwa yang membedakan manusia dengan makhluk ltetap menjaga kesadaran. Dan kesalahan justru membuka ruang-ruang baru untuk proses menemukan kesadaran-kesadaran baru itu. Dalam bahasa yang lebih spiritual, mengingat adalah proses menemukan hikmah dari kesalahan. Setelah hikmah itu ditemukan, barulah maaf menemukan maknanya.

Jadi maafkan, tapi jangan dilupakan...

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah