Skip to main content

Mengkritisi Gerakan Literasi Lokal

Bral Geura Miang, karya Titarubi


"Jika gerakan literasi sekadar ajakan membaca, saya kira semua orang sepakat. Namun, ada apa di balik ajakan itu dan bagaimana implementasinya, itu yang sulit," hal itu terlontar dari Puthut E. A., penulis dan aktivis komunitas Tanda Baca, dalam diskusi "Gerakan Literasi Lokal dan Peluang Membangun Jaringan", beberapa waktu lalu di UGM, Yogyakarta. Apa yang disampaikan Puthut menjadi gugatan atas persoalan klasik negeri ini bahwa gerakan-gerakan sosial seringkali berhenti sebatas jargon belaka.

PADA tahun 2003, UNESCO mendefinisikan literasi sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, menciptakan, mengomunikasikan, dan kemampuan berhitung melalui materi-materi tertulis dan tercetak termasuk juga variasi bahan yang sesuai dengan konteks definisi literasi itu sendiri. Dari definisi tersebut, Koiichiro Matsuura, Director-General UNESCO menjelaskan bahwa literasi lebih dari sekadar membaca dan menulis. Melainkan juga mencakup bagaimana kita berkomunikasi dalam masyarakat. Karena literasi berarti juga praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya.

Dalam lima tahun terakhir ini, masyakarat yang diwakili oleh individu, kelompok, maupun kolektif, secara aktif mendorong lahirnya gerakan literasi di tingkat lokal. Indikatornya dapat dilihat dari bermunculannya toko-toko buku "independen" di berbagai kota besar di Indonesia. Peta Komunitas Literer yang diterbitkan Tobucil dan Komunitas Dipan Senja mencatat, pada tahun 2005 terdapat 40 toko buku dan komunitas literer yang tersebar di seluruh Bandung.

Jumlah ini membuat Bandung menjadi inspirasi pendekatan baru dari gerakan literasi bagi banyak kota di Indonesia. Pendekatan komunitas yang ditawarkan toko-toko buku independen di Bandung ini membawa semangat kemandirian komunitas dalam gerakannya. Hal ini dapat disimak dari liputan media nasional maupun lokal dalam kurun waktu 2003-2005 yang ramai membicarakan soal toko buku independen di Bandung sebagai gerakan literasi.

Ironisnya, semangat gerakan literasi di Bandung ini harus mengahadapi kenyataan pahit. Pada tahun 2007, jumlah toko buku independen menyusut drastis. Dari 40 yang tercatat, kini tinggal 8 saja yang tersisa; Rumah Buku, Omuniuum, Tobucil & Klabs, Komunitas Nalar, Reading Light, Lawang Buku, Ultimus, dan Baca-baca.

Gerakan sosial

Jika apa yang dilakukan oleh komunitas literer di Bandung ini mau disebut sebagai sebuah gerakan sosial, setidaknya menurut sosiolog Amerika, Charles Tilly, ada tiga elemen yang harus dipenuhi sebagai syaratnya. Pertama, melakukan kegiatan kampanye. Kedua, sebagai sebuah gerakan politik. Ketiga, mengandung unsur keterwakilan dari anggota masyarakat.

Aktivitas literasi yang muncul, hampir semuanya menyuarakan ajakan untuk meningkatkan minat baca dengan berbagai macam strategi dan pendekatan serta sasaran yang berbeda. Syarat pertama terpenuhi. Meski belum merata dirasakan masyarakat, upaya untuk mengubah kebijakan politik di bidang pendidikan dan khususnya regulasi perbukuan, terus-menerus dilakukan. Termasuk upaya untuk terus memperjuangkan kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat yang sesungguhnya dijamin oleh UUD 1945.
Persoalan keterwakilan pun menjadi pilihan dari strategi gerakan yang dibuat oleh masing-masing individu maupun kelompok. Dengan demikian, syarat kedua dan ketiga juga dipenuhi oleh komunitas literer di Bandung.

Berdasarkan pengamatan penulis, ada beberapa masalah yang selama ini membuat gerakan literasi yang muncul di Bandung timbul tenggelam. Pertama, pemaknaan literasi menentukan bentuk, tujuan, target gerakan literasi itu sendiri.

Sejauh ini, pemahaman literasi seringkali dibatasi pada dunia perbukuan sesuai dengan pemaknaan harfiahnya. Sehingga gerakan-gerakan literasi identik dengan pameran buku dan berhenti pada ajakan meningkatkan minat baca. Sementara hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya tidak banyak dieksplorasi dalam kerangka pendekatan gerakan literasi. Terus-menerus mengidentikkan literasi dengan dunia perbukuan membuat gerakan literasi menjadi mandeg karena dunia perbukuan sendiri selama ini bergelut dengan rumitnya persoalan regulasi, produksi, distribusi, dan konsumsi.

Membuka sekat dan memperluas koridor pemahaman literasi akan membantu gerakan literasi menemukan bentuk-bentuk dan pendekatan yang baru untuk mencapai tujuannya. Gerakan literasi masyarakat dapat berarti mendorong keterlibatan aktif masyarakat untuk memperoleh hak pendidikan yang layak. Selain itu, tingkat literasi juga berhubungan dengan kesadaran politik atas hak-hak politiknya sebagai warga negara.

Karenanya penting membuka sekat pemahaman literasi, serta menjadikannya sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas hidup keseharian.

Bias kelas

Kedua adalah persoalan bias kelas menengah dalam gerakan literasi. Sebagai sebuah gerakan, inisiatif gerakan, seringkali muncul dari kelompok menengah. Di Bandung, misalnya, toko buku dan komunitas literasi ini diinisiasi oleh kelompok pendidikan tinggi yang menjadikan itu sebagai bagian dari aktualisasi diri. Ini terbukti dari latar belakang pendidikan dan ekonomi para pelakunya.

Akses bagi kelas menengah bukan lagi persoalan yang cukup serius untuk diperjuangkan. Karena itu, kelas menengah memiliki banyak kemudahan dan kelimpahan akses untuk mencapai tingkat literasi yang lebih tinggi. Gerakan literasi seperti juga banyak gerakan sosial lain, seringkali dikritik karena tidak memiliki kepekaan pada banyak persoalan masyarakat di tingkat bawah dengan akses justru menjadi persoalan utama mereka.

Bias kelas menengah membuat gerakan literasi sulit menentukan skala prioritas persoalan dan terjebak pada eksklusivitas gerakan. Standar kepentingan dan kebutuhan sangat ditentukan oleh perspektif karena apa yang penting bagi pelakunya belum tentu tepat sasaran. Kecuali, gerakan literasi ini memang ditujukan untuk pemberdayaan kelas menengah untuk mendorongnya menjadi agen-agen perubahan di masyarakat. Untuk tujuan ini pun, gerakan literasi perlu memiliki strategi dan capaian yang jelas.

Ketiga, tidak adanya strategi gerakan yang menyeluruh. Terkait dengan persoalan kedua, gerakan literasi di tingkat lokal bahkan nasional, seringkali tidak memiliki strategi gerakan yang jelas kerena tidak adanya koordinasi antarpihak terkait serta tidak adanya tujuan dan strategi yang menjadi kerangka acuan gerakan.
Akibatnya, gerakan terfragmentasi dan terjebak dalam kotaknya masing-masing. Menjadi eksklusif dan asyik sendiri, karena tidak bersentuhan dengan gerakan-gerakan lain yang sesungguhnya saling mendukung. Sehingga pemetaan jaringan dan potensi sumber daya tidak dilihat dalam perspektif multidisiplin untuk mencapai tujuan gerakan literasi.

Persoalan keempat menyangkut perspektif kemandirian. Selama ini, inisiatif gerakan justru bermunculan di kalangan muda di banyak kota di Indonesia, terutama Kota Bandung. Hal ini membawa semangat independensi dan kemandirian yang kuat dalam gerakan literasi.

Namun, semangat ini seringkali diterjemahkan dalam perspektif yang sempit. Independensi dan kemandirian seringkali dimaknai sebagai sikap berjibaku sampai mati, tanpa berpikir panjang mengenai strategi bertahan hidup yang berkelanjutan. Pihak-pihak yang bisa menjadi sponsor seringkali dianggap sebagai pihak yang dapat mengkooptasi semangat gerakan. Padahal, pondasi penting dari semangat kemandirian dan independensi ini adalah proses membangun posisi tawar ketika bernegosiasi dengan banyak pihak yang dapat mendukung gerakan literasi.

Terbatas

Kelima adalah terbatasnya sumber daya pendukung. Selama ini, gerakan literasi yang mewujud dalam bentuk toko buku komunitas dibangun dengan keterbatasan sumber daya. Baik sumber daya kapital, maupun sumber daya manusia. Modal utamanya lebih pada semangat untuk melakukan perubahan.

Dengan modal kapital yang terbatas dan kemampuan manajerial usaha yang sangat terbatas, toko buku komunitas atau disebut juga toko buku independen ini, menanggung banyak beban operasional. Sebagai sandaran utama pendukung gerakan literasi, toko buku komunitas atau independen ini bertanggung jawab pada pembiayaan operasional toko, pengembangan bisnis, dan pembiayaan komunitas.

Perhitungan modal seringkali tidak memasukkan unsur pembiayaan komunitas dan perhitungan risiko trial and error ketika mencari bentuk manajemen pengelolaan yang tepat. Akibatnya, modal yang dimiliki seringkali terkuras habis justru bukan untuk pengembangan aspek bisnisnya, namun untuk membiayai komunitas dan risiko belajar yang harus ditanggung.

Dari identifikasi sejumlah persoalan di atas, gerakan literasi di tingkat lokal tampaknya perlu meninjau kembali implementasinya. Mendefinisikan dan memaknai kembali gerakan, membantu memperjelas arah dan capaian gerakan literasi itu sendiri. Sehingga gerakan literasi tidak berhenti melulu pada sebuah ajakan membaca, namun bergerak menjadi semacam gerakan penyadaran sosial untuk, katakanlah, meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. ***

Penulis, sehari-hari bekerja untuk Tobucil & Klabs 

Tulisan ini dimuat di Pikiran Rakyat, 13 Desember 2007

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah