Skip to main content

Rumput di Rumah Tetangga

Photo by tarlen

Dalam waktu yang hampir bersamaan, dua orang teman di Yahoo Messanger mengatakan hal persoalan yang sama dalam nada yang berbeda. Yang satu mengatakan bahwa aku beruntung ada di negeri orang saat harga BBM melambung tinggi karena pemerintah mencabut subsidinya. Demo setiap hari tapi para wakil rakyat malah sibuk jual pesona karena pemilu akan datang sebentar lagi. Temanku itu bilang, aku beruntung karena tidak mengalami Indonesia yang makin hari makin kacau. Sementara, temanku yang satu lagi, dia sedang ada di Washington DC sekarang sampai satu bulan ke depan. Ia mengeluh, sebagai seorang dokumenter, dia kehilangan banyak moment 'kekacauan Indonesia' itu.. menurutnya moment kekacauan seperti itu sangat sayang kalau ga diabadikan lewat video.

Aku ga tau apakah aku merasa beruntung atau tidak, karena terhindar dari kekacauan Indonesia setidaknya sampai hari kemerdekaan nanti (aku akan sampai di Indonesia lagi pada tanggal 17 Agustus 2008). Rasanya memang melegakan, terlepas dari kepenatan hidup di Indonesia yang membuat harapan seperti kehilangan arah. Merasakan tempat baru meski hanya 4 bulan saja, seperti mendapat udara segar setalah penat dengan kepengapan. Rasanya aku ini seperti duduk di central park sambil nonton dokumenter tentang Indonesia. Aku kenal betul setiap tempat yang ada di film itu. Aku tau bagaimana rasanya udara saat orang-orang sibuk mengantri bantuan atau panik ngantri BBM sebelum harganya di naikan. Tapi semuanya seperti bisu. Aku seperti nonton film bisu, ga denger suara apa-apa dari sini. Yang terdengar suara angin dan orang-orang yang riang menikmati hari-hari indah di awal musim panas. Di subway situasinya lebih berbeda. Aku melihat kilasan film bisu tentang Indonesia di setiap jendela subway yang aku tumpangi. Namun sesekali kudengar suara yang hampir sama. Suara para imigran yang mencari mimpinya di sini dan merasakan kehidupan yang kian hari kian sulit saja. Yang gagal menemukan mimpi itu, dia terlepar ke jalan. Homeless. Susah payah menggeret koper-kopernya setiap hari sambil berusaha keras menjaga harapan hidupnya tetap menyala. Yang berhasil meraba impian itu dengan susah payah, berusaha berjalan dengan tegak di antara hiruk pikuk Mahanttan.

Rasanya pemandangan tiga demensional yang kurasa dan kudengar di sini, dengan pemandangan dua dimensional Indonesia, sama-sama bukan hal yang menyenangkan. Semua memberi rasa pahit karena kenyataan hidup membuat harapan kehilangan tujuannya. Mana yang lebih baik dari semua kepahitan itu? Ku kira bukan hal mudah juga untuk mentukannya. Rumput tetangga seringkali terlihat lebih hijau dari pada rumput di halaman sendiri, tapi siapa yang tau di balik warna hijau yang terlihat lebih itu, ternyata lebih rapuh dan high maintenance, menguras lebih banyak air.. daripada rumput liar yang tumbuh di halaman rumah sendiri.

Aku sengaja tidak terlalu mengupdate diri dengan kondisi Indonesia sekarang. Aku hanya ingin absen sebentar. Melihat hidup yang lain. Menikmati momentum selama tinggal disini. Memberi keyakinan pada diri sendiri, bahwa pintu-pintu lain ternyata masih ada, di sana mungkin tersimpan harapan yang lebih baik. Setidaknya itu akan membantuku melihat kehidupan tiga dimensi Indonesia saat aku kembali pulang nanti. Melihatnya dengan lebih ajeg, karena yakin bahwa harapan tidak pernah mati bahwa aku sendiri yang menentukan tujuan harapan itu, mau menuju kemana ia.

Comments

Anonymous said…
Yup, setuju dengan paragraf terakhir, jeng. Pintu-pintu masih ada. Kita cuma perlu keluar sebentar dari pintu yang satu untuk bisa melihat pintu yang lainnya
Vie said…
"Aku sengaja tidak terlalu mengupdate diri dengan kondisi Indonesia sekarang."
Syukurlah kebutuhan untuk itu juga absen. Kesempatan untuk mengosongkan RAM anda, dan mengisinya dengan sebanyak mungkin rekaman gejolak kehidupan di sekitar anda, sampai dengan hari terakhir anda di NY, while charging your battery, shall I say ...
Teriring salam hangat
vitarlenology said…
salam hangat dari NY yang mulai hangat...

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah