Skip to main content

Kembali Pulang

photo by tarlen


"Everything change, but nothing really lost." -Morpheus-


Ada kelegaan ketika perjalanan panjang usai dan aku kembali pulang ke rumah. Pulang ke Bandung. Pulang ke Tobucil. Pulang kembali pada teman-teman, pada keluarga, pada orang yang kucintai. Kembali pada meja kerja, pada urusan-urusan yang sama, pada rutinitas, pada situasi emosional yang kurang lebih sama.. pada semua yang sama yang kutinggalkan 4 bulan lalu. Ketika menginjakan kaki kembali ke rumah, berharap semua masih ada di tempat yang sama

Tapi nyatanya, semua jadi terlihat berbeda. Semua berubah di mataku. Bukan hanya Bandung yang terasa bertambah gersang dan semrawut, tapi keluarga, teman-teman, kamu (tambah ganteng aja, meski kerutan bertambah :P), meja kerja, tobucil, keluargaku, emosiku, semuanya terlihat bebeda. Sebuah perjalanan menambahakan satu lingkaran kehidupan, membuat kepulangan, terasa berbeda. Tak ada yang hilang, hanya komposisinya saja yang berubah dan membuat rasanya menjadi bebeda. Seperti matahari yang ga pernah berputar pada poros yang sama karena selalu bergeser dan membawa kehangatan berbeda setiap harinya lewat jendela kamarku yang masih tetap di tempatnya.

Kembali pulang setelah perjalanan, rasanya seperti memakan sayur daun singkong yang sudah berkali-kali di panaskan. Rasanya jauh lebih nikmat saat pertama kali makan ketika sayur itu baru saja matang. Kembali pulang juga seperti pelari yang berhasil menyelesaikan putaran, menyadari kekuatannya, istirahat sejenak dan bersiap-siap kembali dengan putaran baru, putaran yang jaraknya lebih jauh dari sebelumnya. Begitulah. Pulang selalu penting untuk memulai lagi lingkaran pohon baru yang membesar dan terus membesar, menandai putaran waktu dan menambahkan kekayaan rasa pada batang, daun, akar, bunga, buah, dan keteduhan baru.

Hai diri, selamat kembali pulang..


Comments

Anonymous said…
Pa kabar Mbak?


_dee_
Anonymous said…
aq suka blog nx mb...

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah