Skip to main content

Sebutir Kacang Meninggalkan Kulit


Jalan pulang pantai sundak foto oleh vitarlenology

Siang tadi di tengah hujan dan kehangatan meja kerjaku:

Kamu meminta pelukan. Aku memberikannya. Tapi yang kurasakan hampa saja. Seperti kulit kacang tanpa isi. Rasanya tidak sepenuh pelukan ibu. Aku tidak mengenalimu lagi. Suratmu membuatku merasa, aku ini bid'ah untuk proses kreatifmu. Aku merasa berhadapan dengan seorang fundamentalis. Mmm.. ralat, mungkin seorang idealis pemula yang sangat-sangat yakin dengan dunia di balik cakrawala sana seperti yang ada dalam bayanganmu sendiri. Kamu benar. Aku yang mulai menjadi semakin pragmatis oleh pengalaman. Dan idealismemu memberi hak kenaif-an mutlak atas apa yang pilih. Lalu keberbedaan menjadi jurang yang tak terjembatani antara aku dan kamu.

Fine. Kamu di seberang sana. Dan aku di sini. Silahkan saja.

Aku menatap matamu, mencoba menemukan jembatan. Yang kutemukan hanya rasa dingin dan kelam gerbang benteng kekakuan hatimu. Tak ada peluang untuk kompromi. Percuma aku menembusnya. Aku terlalu pragmatis untuk menawarkan perubahan padamu. Mungkin bukan hanya pragmatis, tapi juga malas atau  merasa perlu menghemat energi dan pikiran dan memilih memikirkan yang bisa dikompromikan.

Kembali aku mencari dirimu dari matamu. Berharap menemukan  kata-kata bijak yang seringkali kau katakan, kau nasehatkan dan kau tuliskan. Tapi aku tak menemukanmu. Dirimu bukanlah  kata-kata bijakmu itu.  Aku hanya menemukan kamu yang ada dalam tulisanmu. Berjarak dan tak ada orang lain dalam kehangatan yang kau ciptakan. Mentari hanya untuk dirimu saja. Bukan orang lain sepertiku dan mungkin juga bukan untuk ibumu. Mungkin memang bukan sekarang bagimu mengerti apa artinya menjadi diri sendiri dan menjadi apa yang kau tulis. Suatu saat kamulah yang memutuskan nilai kebaikan dan keburukannya. Bukan aku, bukan papamu, bukan pula orang-orang yang berusaha membantumu.

Jika Rama bertanya sore ini: adakah alasan untuk menyayangi dan membantu? rasanya bagiku padamu adalah alasannya untuk menyayangi dan membantu itu sendiri. Aku tidak tau apakah itu mengandung ketulusan atau tidak karena personalitas dan pekerjaan menjadi kacau setelah bingung harus ditempatkan dimana.

Sama seperti keimanan yang kau temukan pada proses berkaryamu, aku pun menemukan keyakinan pada proses perjalananku membangun ruang: aku hanya mengantarmu sampai kau bisa terbang bebas. Apakah itu berarti kau bisa menjadi penyintas atau tidak. Dirimu itu ada ditanganmu sendiri.

Kulepaskan kamu pergi.

Untuk A.R.S. yang tak lagi aku kenali..


Aceh 56. 19:10

Comments

Popular posts from this blog

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..