Skip to main content

Pause/Re-Think: 'Craftivism in My Everyday Life'

 'KLCC' foto by vitarlenology

Akhir pekan kemarin, aku pergi ke ibukota, memberi workshop di sebuah mall bergengsi di ibukota. Setelah selesai, aku dan beberapa teman berkeliling di beberapa spot yang 'menarik' untuk di kunjungi. Salah satunya sebuah oulet barang-barang kerajinan olahan kerajinan tradisional berbagai daerah di Indonesia. Desainnya bagus-bagus setidaknya representasi dan karena ditempatkan di mall itu, barang-barang yang biasanya terlihat 'jujur dan sederhana' jadi terlihat prestisius. Jangan tanya soal harga, karena soal masuk akal dan tidak jadi sangat relatif. Kemegahan mall ini, membuat harga yang 'tidak masuk akal menurutku' menjadi punya argumentasi logis.

Selain melihat-lihat outlet barang-barang yang mengolah tradisi itu, aku dan teman-teman juga melihat-lihat lantai basement dari mall itu yang berisi jajaran outlet brand yang konon kabarnya 'independen'. Lagi-lagi karena kemegahan mall ini, outlet-outlet itu bisa memasang harga yang bisa di logiskan oleh 'nama besar mall' itu. Produk-produk yang tutorialnya dibagi secara cuma-cuma di blog-blog craft yang biasa aku kunjungi, di outlet-outlet ini jadi produk yang menandai label fashionista dan gaul tidaknya seseorang. Label independen menjadi identik dengan harga yang mahal dan 'tidak masuk di akalku'. Mungkin begini jika 'kemerdekaan' (baca: independen label) itu memang harus dibeli dengan kapital yang besar. Sepertinya, hanya orang-orang yang memilki kapitallah yang bisa melabeli dirinya dengan sesuatu yang dianggap independen atau seolah-olah bisa membeli sebuah 'kebebasan'.

Keluar dari mall itu, persis di emperan mall, tepatnya di dua mall bergengsi yang saling berhadap-hadapan, aku dipaksa melihat pemandangan kontras: tukang ojeg, pedagang susu jahe yang mejajakan dagangannya dengan sepeda butut duduk berjajar, mencoba mengais sedikit rezeki yang masuk akal dari kemegahan mall ibukota itu. Aku ga bisa berpaling dari kekontrasan itu. Mengabaikannya hanya membuatku semakin terganggu.

***

Dalam perjalanan pulang ke Bandung, aku mencoba menguraikan apa yang sesungguhnya membuatku terganggu. Bukankah kemegahan dan borjuasi seperti itu adalah hal yang lumrah. Resiko dari kehidupan sebuah kota besar seperti ibukota. Bukankah kekontrasan proletar dan borjuis adalah pemandangan yang juga lumrah dalam ruang perputaran kapital dan gaya hidup materialisme bernama mall. Juga bukankah aku juga tau, bahwa mall adalah ruang yang sengaja dibangun untuk  membuat pengunjungnya tersesat secara spiritual dan menjadikan konsumerisme sebagai jalan pemenuhan kekosongan dan dahaga spiritual, meski buatku ini bukan pilihan satu-satunya, tapi siapa tau itu memang satu-satunya buat orang-orang yang hidup dalam semangat materialisme.

Keyakinanku tentang craftivisme ternyata yang paling terusik lewat eksplorasi setengah hari di mall ibukota kemarin. Selama ini aku meyakini bahwa passionku dalam 'berkerajinan tangan', bukan sekedar pengisi waktu luang atau sumber penghasilan ekonomi, tapi ada pemenuhan kebutuhan spiritual yang dengan seringkali kosong karena tekangan materialisme dan pragmatisme. Bagiku, ketika aku membuat sesuatu dengan tanganku, ada penghargaan terhadap proses, ada kesadaran yang tumbuh untuk mengingatkan diri dari hidup yang penuh jebakan artifisialisme dan kembali ke esensi. Berkerajinan tangan mengajakku untuk terus menerus memaknai apa itu kemandirian dengan semangat Do It Yourself. Kegiatan ini mengisiku dengan energi positif yang menyembuhkan dan menguatkan. Seperti sebuah pohon yang dirawat dan dipupuk dengan proses yang semestinya. Apalagi saat energi itu bisa dibagi pada orang lain, seperti benih yang dibawa angin dan tumbuh subur di tempat lain. Seringkali aku tidak menyadari saat angin menerbangkannya.

Menyaksikan ketidak masuk akalan yang terjadi di mall pada barang-barang handmade  juga barang-barang berlabel independen itu, sungguh menggangguku. Dimana itu semangat perdagangan yang adil dan jalan alternatif yang sekiranya dibawa oleh sesuatu berlabel independen. Sepanjang perjalanan dan sampai tadi siang ketika sahabatku si pembalap gadungan datang, aku masih bertanya-tanya (bahkan sampai detik ini): 'apakah aku yang terlalu hitam putih dan naif, menganggap bahwa ketika orang melabeli diri dengan independen atau handmade itu berarti dia paham apa esensi dari label-label itu'. Mungkin aku yang menjadi fasis dengan definisiku sendiri. Meski aku bisa mengemukakan gugatanku yang sesungguhnya sederhana saja  (setidaknya sederhana menurutku): dimana letak keadilannya jika barang handmade yang biasanya dijual 50 ribu, bisa jadi 200 ribu, hanya karena dia dijual di mall seperti itu. Sementara, pembuatnya sendiri tidak mendapat keuntungan lebih banyak, karena lebih dari 50% dari harga jual, untuk pengelola mall yang artinya adalah untuk membiayai semua 'kemegahan artifisial itu' (meski alasannya yang 50% itu buat biaya maintenance ruangan, bayar pegawai dll). Mengapa harus orang-orang yang bersusah payah menekuni proses yang harus berkontribusi membiayai prestis dan gaya hidup borjuasi yang seringkali instan dan permukaan itu. Begitu pula dengan label independen, mengapa harus di mall untuk menjual produk-produk itu, jika semangat awalnya adalah menjadi produk alternatif. Aku mengira gugatanku ini berkaitan dengan kecenderungan persoalan pengakuan. Bahwa mall megah seperti itu menjadi tempat suci untuk mendapatkan pengakuan bahwa produk itu telah diamini oleh gaya hidup yang diwakilinya. Seperti kecenderungan menggunakan label 'green' dimana-mana, padahal proses yang dijalani oleh produk itu ga 'green' sama sekali.

Memang, soal esensi atau kemasan belaka ujung-ujungnya adalah sebuah pilihan. Dua-duanya sama-sama mengandung resiko, hanya beda bentuk saja. Memilih 'esensi' seperti berjalan jalan yang berliku-liku, menukik ke kedalaman, butuh keberanian untuk merasa tidak ada yang menemani, karena untuk mengisi kekosongan itu, perlu jujur pada diri sendiri saat melihat di kedalaman.  Sementara memilih jalan 'kemasan' seperti berjalan ramai-ramai di sirkus yang terang benderang, terpukau oleh lampu-lampu, terhibur sementara, tapi setelah itu apa? Ketika gemerlap itu usai, kekosongan masih tetap saja ada, kebaruan hanya sesaat. Saat menjadi rutin, makna menjadi sesuatu yang sulit ditemukan.

***

Jika berkerajinan tangan yang kulakukan itu adalah passion dan 'craftivism in my everyday life' itu artinya aku memilih berkerajinan tangan sebagai craft + art + aktivisme. Apa yang menjadi gagasan/ide, ekspresi estetis pada benda-benda yang kubuat dengan kerajinan tanganku itu, adalah pengejawantahan dari sikap hidup yang aku yakini. Jika aku meyakini sebuah perdagangan itu haruslah dijalankan dengan seadil-adilnya, maka janganlah aku menempuh cara-cara distribusi yang berlawanan dengan itu. Jika aku meyakini kemandirian atau menjadi independen itu adalah berani mengambil jalan alternatif, pengakuan untuk menjadi bagian dari gaya hidup atau ruang-ruang megah, simbol hidup yang artifisial dan materialistis itu menjadi tidak penting dan tidaklah diperlukan. Jalan alternatif, seringkali berliku dan berbatu, tapi dia menawarkan keyakinan dan kesungguhan, bukan sesuatu yang artifisial dan permukaan. Gangguan seperti ini adalah salah satu bentuk ujian kesungguhan itu. Berhenti sejenak dan merenungkan kembali langkah-langkah yang sudah kujalani, akan menjagaku untuk tetap melakoninya dengan passion, dengan keyakinan yang aku temukan. Untuk itu dengan kesadaran penuh  dan atas nama passion, pilihanku sesungguhnya sudah sangat jelas.

Gudang Selatan,
22:37

Comments

I. Widiastuti said…
"Jalan alternatif, seringkali berliku dan berbatu, tapi dia menawarkan keyakinan dan kesungguhan, bukan sesuatu yang artifisial dan permukaan." tapi saya suka lewat jalan alternatif lho mbak hihihihi. sejujurnya ini yang paling aku takutkan ketika aku memulai Mikisi bersama Julian. Kami takut, ketika suatu hari orang menilai harga kami kemahalan. Namun aku harus belajar dari ketakutan dan menerjemahkannya menjadi sesuatu yang lebih riil. Dengan membaca di mana dan kepada siapa kita berhadapan.
sibebo said…
ugghh..hal ini sempet menghantui pikiranku beberapa waktu yg lalu..spt yg pernah aku bc di sini juga, tentang jack white, perasaanku sm dgnnya:"> (ciee disama- samain :-P) quote:"I never really loved the money part. I guess it started to hurt my business attitude." Semoga kita tetep bisa berkarya dgn jujur, happy dan paling penting, bikin orang hepi juga (^_^)

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah