Skip to main content

Patah Hati

 Light at the end of Angkor Watt, photo by vitarlenology

Beberapa hari terakhir ini, persoalan 'patah hati' ini muncul lagi dalam pikiranku. Pertemuan dengan orang menyakiti hati keluargaku terus menerus, om (adik ibuku) yang sangat dekat dengan aku dan keluargaku yang mengalami kecelakaan dan mengalami luka dalam yang serius, orang yang dekat denganku mengalami keretakan hubungan dengan seseorang yang sebelumnya dekat dengannya, dan juga ulang tahun bapak ke 73 tahun jika ia masih hidup sampai saat ini. Semua itu membuat aku kembali memikirkan soal patah hati ini.

Apa yang membuat aku merasa patah hati? Apa yang membuat ketika bertemu orang yang menyakiti perasaan, meski sebelumnya lama tidak berjumpa dan dia tak lagi melakukan tindakan-tindakan yang menyakiti, tapi ketika bertemu, rasa sakit yang dulu masih saja tetap ada. Pertemuan dengan orang yang pernah menyakiti, seperti memutar kembali semua pengalaman buruk yang pernah dialami dengan orang itu. Padahal tidak semua hal yang dialami dengan orang itu adalah buruk, banyak hal baik, tapi mengapa yang paling diingat justru pengalaman buruknya yang mungkin merupakan sebagian kecil dari pengalaman keseluruhan. Atau ketika bertemu orang seperti itu, semua hal yang baik ketika dialami dulu, hanya karena ditutup oleh sebuah kalimat yang terucap yang menurut pengucapnya biasa-biasa saja, tapi bagi yang menerimanya kalimat itu membalikkan semua hal baik menjadi buruk. Karena pada akhirnya, kalimat itu menimbulkan perasaan terkhianati, terbodohi, termanfaatkan, terkecewakan, terzhalimi, dan ter.. ter.. lainnya. Atau perasaan kehilangan yang meruntuhkan bangunan hati bahkan diri sampai butuh waktu untuk pulih selama bertahun-tahun. Kalau begitu, siapa sesungguhnya yang mematahkan hati? aku sendiri atau orang lain?

Jika ditanya apakah aku pernah patah hati? jawabannya tentu saja pernah. Berkali-kali. Dan yang paling parah, bukan hanya patah, tapi juga hancur berkeping-keping sampai butuh waktu bertahun-tahun untuk menyusun kepingan-kepingan itu kembali. Dari semua patah hati yang pernah kualami, ada satu benang merah  yang membuat hati bisa patah, retak, atau hancur berkeping-keping. Perasaan kecewa atas orang lain. Ketika aku memberikan perasaanku yang utuh, pada sahabat, teman, kekasih, saudara atau siapapun itu, aku memberikannya perasaan itu dengan disertai harapan. Harapan bahwa keutuhan perasaanku itu akan disambut dengan utuh pula oleh orang lain. Diterima dengan seutuh-utuhnya sesuai dengan standar keutuhan yang aku bayangkan. Singkatnya aku memberikan perasaan yang utuh itu dengan standarisasi cara penerimaannya. Itu sebabnya, harapan yang terbawa dalam perasaan utuh itu, sering terejawantahkan dalam bentuk tuntutan, bahwa orang lain semestinya menerimanya begini dan begitu sesuai dengan cara yang kita inginkan. Akibatnya ketika tuntutan itu tidak bisa dipenuhi oleh orang lain yang menerima perasaan itu, aku jadi kecewa.

Perasaan kecewa inilah yang mengubah pengalaman-pengalaman baik menjadi buruk. Kecewa bisa mendorong aku lebih berfokus pada 'apa yang hilang' daripada apa yang sudah aku dapatkan (dan aku yakin kalo dua hal ini dibikin tabel berbandingan, yang sudah didapatkan jauh lebih banyak daripada yang hilang). Berfokus pada kehilangan daripada Kecewa adalah racun yang membuat hati menjadi rapuh dan getas. Akibatnya mudah retak, patah dan hancur berkeping-keping. Kecewa adalah racun yang bisa ngehancurkan hati jika dikonsumsi secara berlebihan. Disatu sisi, kecewa itu juga bisa jadi obat, karena perasaan ini bisa juga mengubah kegagalan jadi kesuksesan, Kecewa seperti api, bisa mematangkan, tapi juga bisa menghanguskan.  Dan patah hati itu terjadi jika kekecwaan aku biarkan tumbuh berkembang dan menjadi racun atau api yang mengahanguskan.

Belajar dari pengalaman mengatasi kekecewaan yang bisa mengakibatkan patah hati, aku berusaha menguraikan perasaan itu, menelisik dan menelusurinya sampai yang kutemukan adalah 'aku kecewa atas hal-hal yang sesungguhnya tidak perlu membuatku patah hati sedemikian rupa'. Bisa jadi ternyata hanya soal salah paham, cara penerimaan yang berbeda atau yang sulit diperbaiki misalnya karena tabiat orang lain yang berhubungan denganku memang seperti itu dan dia sudah terlalu tua untuk menyadarinya dan mengubah sikapnya. Atau juga karena takdir. Kematian adalah takdir. Haruskan soal takdir yang jelas-jelas aku tau tidak bisa mengubahnya, trus aku harus merasa kecewa dengan itu terus menerus? Kecewa pada keputusan Tuhan? Toh dalam banyak hal, Tuhan memberikan keleluasaan padaku untuk 'menawar' takdirku sesuai dengan usahaku. Jika dalam hal kematian itu adalah harga mati yang Tuhan berikan, rasanya keterlaluan juga kalau ngotot ingin menawar. Selama bertahun-tahun mencoba membangun hati yang baru karena hancur berkeping-keping karena kematian, aku menyadari bahwa yang terpenting bukan pada menawar harga mati yang sudah Tuhan beri dengan takdir kematian itu, tapi justru bagaimana bernegosiasi dengan hidup yang masih tersisa dari kematian itu sendiri. Ketika orang yang aku cintai dan sayangi mati, dia tidak pergi begitu saja dengan membawa semua hal yang pernah dia lakukan dalam hidupnya. Dia hanya pergi dengan raganya, tapi dia meninggalkan berjuta-juta  hal baik dan buruk pada kehidupan.  Dan aku yang terhubung dengan 'warisan yang ditinggalkannya itu', mesti bernegosiasi mencari cara terbaik mengelola 'warisan itu'.

Sementara jika patah hati disebabkan oleh orang lain yang membiarkan kesalah pahaman atau ketidak mengertian ini tidak terselesaikan (mungkin salah satu pihak berusaha menyelesaikan, tapi pihak yang lain tidak mau menerima), jalan yang baik yang biasanya kulakukan adalah memaafkan diriku sendiri dan setelah itu berusaha memaafkan orang lain. Dan ini bukan hal yang mudah. Aku bisa bilang:  'aku sudah memaafkanmu', tapi buktinya setiap kali aku bertemu lagi dengan orang itu, hatiku masih terasa sakit. Buatku artinya aku belum sepenuhnya memaafkannya. Aku benar-benar bisa memaafkan jika ketika bertemu kembali orang itu, aku melihat dia dengan cara yang berbeda. Tidak ada lagi sakit hati, karena aku melihatnya dengan cara yang baru, cara yang berbeda yang tidak lagi menyakiti diriku sendiri. Untuk kasus-kasus kekecewaan yang masih bisa dibilang ringan, hal relatif mudah dilakukan. Tapi untuk kasus-kasus yang bener-bener berat (karena orang yang bersangkutan sedemikian korosifnya dan menimbulkan karat di hatiku) yang perlu dilakukan adalah membuang bagian yang berkarat itu biar ga merembet lebih jauh, lalu menumbuhkan yang baru. Tentunya ini proses yang sangat-sangat sulit, tapi bukan mustahil. Hal ini sangat bisa dilakukan.

Hal lain yang kusadari betul dari pengalaman patah hati berkali-kali ini adalah hatiku ternyata bisa tumbuh. Dia bukan bagian dari diri yang ketika patah atau pecah, ga bisa disambung lagi. Hatiku ini seperti ranting pohon yang ketika patah dia bisa tumbuh lagi, selama akar pohonnya diberi makanan yang cukup. Jika hatiku ini sampai patah, itu karena aku membiarkannya patah. Meski aku tidak berharap mengalami lagi yang namanya patah hati, tapi setidaknya setelah belajar dari pengalaman, aku tidak perlu menghindarinya ketika hal itu terjadi lagi. Setelah patah tumbuh, hilang berganti, aku jadi tau bagaimana caranya menyambung lagi hatiku yang patah, asal aku tidak membiarkan perasaan kecewa tumbuh seperti sel-sel kanker yang mematikan kemampuan hatiku untuk tumbuh kembali. Karena sesungguhnya aku yang memutuskan apakah aku akan membiarkan hatiku dipatahkan atau tidak. Dan aku yang juga memutuskan apakah aku akan membiarkan hatiku tumbuh kembali atau tidak.

***

Untuk tanteku: aku sedang berusaha memaafkanmu, melihatmu dengan cara yang baru dan berbeda.
Untuk adikku: Ini adalah ujian persahabatan, maka bersabarlah.
Untuk bapakku di surga: Pa, I'm a survivor. More than survived. 
Untuk Omku: Aku berdoa untuk keputusah terbaik yang Tuhan berikan padamu.


Terima kasih untuk semua yang hadir dan menambal, menyambung dan menumbuhkan kembali hatiku.

Comments

Rie said…
Selama ini kalo patah hati aku sakiiit... banget, sedih, putus asa. Tp setelah melalui beberapa kali patah hati... aku bisa hidup sampai skrg. Mgkn krn hati bisa tumbuh ya, spt yg Mbak Tarlen bilang.

Blognya kutaruh di blogku ya...
Dian said…
Memaafkan diri sendiri, lalu memaafkan yang lain. Paling susah, tapi paling ampuh. Rasanya benar benar membebaskan :-) miss you, jeng

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah