Skip to main content

The Woman That Dreamed About A Man (2010): Sebuah Ilusi Perselingkuhan

* * * *

Sutradara: Per Fly

Sampai kapanpun rasanya drama perselingkuhan akan selalu menjadi tema abadi yang selalu menarik untuk di filmkan. Film Denmark yang dibintangi Sonja Richter dan aktor ganteng dari Polandia; Marcin Dorocinski ini, mengangkat soal perselingkuhan.

Mulanya Maciek (Marcin Dorocinski), kerap hadir dalam setiap tidur Karen (Sonja Richter). Saat  sosok dalam tidur Karen benar-benar hadir dihadapannya, Karen mengejarnya, memastikan bahwa laki-laki itu memang nyata. Maciek yang semula ilusif, kini seperti hadir menjelma nyata dan Karen jatuh cinta pada ilusi yang bertubuh dan berdaging itu.
Sebagai petualang cinta yang mengikuti  'lust'nya, Maciek sengaja masuk dalam ilusi Karen. Menyesatkan Karen dalam hubungan yang ilusif ini. Sampai-sampai Karen harus memilih antara suaminya; Johan atau Maciek. Lantas ketika pilihan itu dijatuhkan kepada Maciek, afair yang selama ini mereka jalin, tidak lagi ilusif, melainkan nyata. Real dan jauh dari bayangan. 

Maciek yang hanya menggunakan Karen sebagai pemuas nafsunya, tidak sungguh-sungguh ingin menjalin hubungan serius dengan Karen dengan alasan Maciek masih mencintai istri dan anaknya dan tak ingin meninggalkan mereka demi Karen. Meski Maciek sendiri, selain dengan Karen, terlibat afair dengan mahasiswanya. Di film ini, sosok Maciek gambarkan sebagai laki-laki yang merasa bisa mendapatkan apa yang dia inginkan karena ketampanan, kepintaran dan pesonanya, tanpa Maciek sendiri mengerti apa yang sesungguhnya ia cari dan inginkan dari semua afair yang dia jalani. Demikian pula Karen, ia membangun ilusi tentang hasrat yang selama ini dia pendam dibalik kesuksesan karirnya sebagai fotografer fashion internasioanal.

Benang merah yang selalu aku dapatkan dari kisah-kisah perselingkuhan seperti ini, bahwa hubungan seperti ini  tidak akan pernah sekedar menjadi sesuatu yang 'sambil lalu', menjadi ganjal pintu dari ketidakpuasan atas kehidupan dan hubungan bersama pasangan masing-masing. Persetubuhan yang mencoba mengkonfirmasi ilusi, sampai kapanku akan tetap menjadi ilusi yang terus menghantui. Bisa saja salah satu pihak terlepas dari ilusi itu mana kala Karen dalam film ini menyadari, Maciek bukanlah kenyataan, kesadaran itu justru membebaskannya dari mimpi-mimpi dan ilusinya tentang sosok Maciek selama ini. Namun bagi Maciek yang memilih bermain-main dalam ilusi itu, pada akhirnya terjebak dalam ilusi yang menghantuinya kemudian. 

Kisah perselingkuhan seperti ini, memberiku pengetahuan tentang motif. Beberapa yang memutuskan berselingkuh, berdalih bahwa motifnya hanya ingin bermain-main di dalamnya (biasanya yang seperti ini akan berkelit, bukan dia yang memulai, dia hanya mengikuti permainan yang datang padanya). Orang seperti ini, seperti Maciek dalam film ini,  tidak akan bisa keluar dengan mudah, meski dia pikir dia bisa keluar kapan saja dari permainan, tapi sesungguhnya tidak, karena dia tidak belajar apa-apa. Dia hanya merasakan kesenangan yang absurd dan candu. Orang seperti ini akan berselingkuh berkali-kali karena memang dia senang bermain-main tanpa tau kenapa dia senang melakukannya dan seringkali ingkar dari tanggung jawab. Dia telah tersesat di dalam permainannya sendiri dan entah kapan akan keluar atau berhenti dari permainan itu.

Sementara beberapa seperti Karen, berselingkuh dengan motif karena dia mencari. Dia mencari kenyataan pada ilusi yang menghantuinya selama ini. Setelah ia temukan kenyataan itu, dia akan berhenti. Ilusinya akan berhenti menghantuinya, ketika afair atau perselingkuhan itu usai. Meski harus bersakit-sakit, namun ia akan menemukan dirinya yang baru yang terbebas dari hantu-hantu yang menjadi ilusinya selama ini. 

Dan menurutku film ini bisa menggambarkan perasaan-perasaan itu dengan jelas dan gamblang, tanpa banyak kata-kata. Warsawa yang muram, model-model yang muncul seperti sosok imajinatif dari dunia mimpi, selera minimalis khas Skandinavia, bagiku justru memberi kekuatan emosi. Satu hal lagi yang aku sadari, emosi perselingkuhan ini, mau diceritakan oleh budaya manapun, rasanya ternyata universal. Sama dan tidak pernah tidak menyakitkan.

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...