Skip to main content

Mendefinisikan Kembali Peran di Tahun Kesepuluh


Beberapa waktu terakhir, beberapa teman memutuskan untuk meninggalkan tobucil dengan alasan sudah saatnya mereka mesti berbeda arah. Ada cita-cita lain yang mesti mereka tuju. Hal yang lumrah dan wajar. Ketika tidak selamanya orang yang berjalan bersama, mendukungku  mencapai tujuan akan berjalan terus berbarengan sampai ujung. Toh, realitanya, teman perjalanan akan selalu berganti, seperti sebuah lari estafet yang tetap dari awal sampai akhir menjalaninya adalah aku sendiri tentunya yang punya cita-cita. Aku lebih bisa mengahadapinya dengan santai dan menerimanya sebagai bagian dari dinamika perjalanan.

Memang keberadaan teman yang membantu memikirkan banyak hal tentu saja sangat meringankan beban di perjalanan ini. Namun, jika mau jujur teman perjalanan ini juga seringkali menciptakan ketergantungan yang sulit dilepaskan ketika yang digantungi harus pergi meninggalkan perjalanan ini. Jebakannya adalah aku jadi merasa ga yakin bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan teman yang selama ini menyertai. Padahal kalau di runut, pada awalnya sendiri membangun, teman yang membantu datang kemudian. Saat bertukar pikiran dengan sahabatku si pembalap gadungan, aku justru kembali diingatkan olehnya. Dia bilang bahwa biasanya keputusan untuk meninggalkan organisasi terlalu cepat oleh para pendiri, justru akan melemahkan organisasi itu sendiri dan justru menjadi faktor penyebab bubarnya sebuah organisasi. Seperti meninggalkan bayi prematur yang sesungguhnya masih sangat membutuhkan perawatan intensif dari ibu yang melahirkannya. Sahabatku bilang, justru ini mungkin saatnya aku untuk balik lagi ke tobucil. Balik dalam arti, terlibat dan mengambil peran lebih banyak.

Aku jadi ingat omongan temanku, pendiri Ruang Rupa. Dia sempat bilang padaku, bahwa yang namanya kaderisasi dalam sebuah ruang alternatif seperti Ruang Rupa atau Tobucil, itu tidak mungkin bisa terjadi dalam 10 tahun. Mungkin baru 20 atau 25 tahun, setelah semua sistem tata kelola organisasi di ujicobakan lalu ketemu formula dasarnya, baru kaderisasi itu bisa benar-benar di lakukan.

Aku memang sempat mengurangi banyak peranku di tobucil. Sebenarnya untuk memberi kesempatan dan peluang pada yang lain. Tapi mungkin menguranginya terlalu banyak, jadinya aku terlalu sedikit mengambil peran. Memasuki tahun ke 10, 2011 nanti, rupanya aku memang mesti mengambil lebih banyak peran, tanpa mengurangi upaya kemandirian orang-orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Ke depannya yang perlu diuji coba adalah sistem yang selama ini coba dibangun oleh tobucil, bukan ketergantungan pada individu pelaksananya. Dan kalau aku menafsir omongan sahabatku itu, peran pendiri sebenarnya ada pada monitoring sistem dan melakukan ujicoba sistem sampai akhirnya menemukan formula dan rumus untuk bertahan dan berkembang. Keterlibatan seperti itu yang perlu aku  fokuskan ke depannya.

Tantangan yang cukup berat dalam mengelola komunitas seperti tobucil sebenarnya ada pada mengelola dinamika pergantian orang dan juga meneruskan tongkat estafet tugas-tugas yang selama ini sudah dijalani, pada orang yang baru. Peran yang mesti dilakukan olehku sebagai pendiri adalah membuat mekanisme pergerakan tongkat estafet ini bisa berjalan dengan baik dan tidak mengubah tujuan utama yang telah ditetapkan. Peranku justru kembali menjadi panglima yang mengatur dan menyusun segala perubahan situasi dan formasi yang terjadi.

Ya, tahun depan akan menjadi tahun yang penting bagi kehidupanku di tobucil. Dimulai dari mendefinisikan kembali peranku di sini..

Comments

ndutyke said…
bismillah, semangat ya mbak :) semangat dan semoga bisa istiqomah....
membaca postingan ini dan postingan sesudahnya, aku jd terharu...

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah