Skip to main content

Eliminasi


Rumah kawin di Tangerang, foto oleh vitarlenology, 2005

Ternyata proses eliminasi itu ga hanya di ajang idol-idolan aja. Dalam kehidupan sehari-hari, sadar atau tidak, hidup sering membawaku pada proses eliminasi ini. Kadang posisiku sebagai 'juri' yang mengeliminasi, kadang sebagai 'peserta yang tereliminasi dan ga jarang bisa dua-duanya sekaligus: sebagai yang mengeliminasi sekaligus yang tereliminasi. 

Ketika mengelola ruang seperti tobucil, proses eliminasi ini menjadi hal yag lumrah terjadi. Proses eliminasi menjadi bagian dari dinamika komunitas. Ada yang bertahan dan ada yang tersingkir. Ada yang datang, ada pula yang pergi. Jika dalam kontes 'idol' eliminasi bertujuan untuk mencapai posisi nomer satu, dalam sebuah komunitas seperti tobucil, eliminasi justru bertujuan untuk tetap pada tujuan komunitas itu sendiri, meskipun tujuan dari sebuah komunitas itu bergerak maju seperti cakrawala dan bukan sebuah titik di ujung sebuah puncak seperti halnya gelar idol. 

Tujuan sebuah komunitas, meski mulanya ditetapkan oleh penggagasnya, namun mengandung keleluasaan untuk ditafsir para penggiatnya. Tafsiran itu bisa memperkuat, namun bisa juga melemahkan tujuan. Lalu apakah ini berarti proses elimini dalam sebuah ruang seperti tobucil adalah proses menseleksi penafsiran atas tujuan? Kupikir, memang seperti itu. Ruang seperti tobucil selalu memiliki rentang batas antara penfasiran tujuan yang paling dekat dan yang paling jauh. Sampai seberapa akurat penafsiran itu bisa ditolelir. Tujuan menjadi batas antara rentang terjauh dan terdekat sekaligus. 

Sampai titik ini penjelasanku mungkin masih terlalu abstrak. Mari kita perjelas. Dengan berpegang pada prinsip 'tidak semua orang harus setuju dengan apa yang kita lakukan'' setiap hal yang terjadi di ruang Komunitas seperti tobucil mengandung resiko pro dan kontra. Orang bisa setuju dengan program-program yang ada di tobucil atau tidak setuju sama sekali. Pada titik ini, eliminasi tahap awal berlaku. Yang setuju dia akan bergabung dan yang tidak setuju dengan program yang ditawarkan tobucil, tentu saja dia tidak akan bergabung. Orang-orang yang bergabung dan setuju ini, kemudian menjalani serangkaian pengalaman melalui cara mengalami yang ditawarkan oleh tobucil. 

Bahwa misalnya ketika orang setuju dengan program filsafat yang tujuannya adalah membumikan filsafat, kemudian cara yang ditawarkan adalah membicarakan tema-tema keseharian, menjadikan pertemuan ini ramah terhadap orang-orang yang awam terhadap filsafat dan membuat pemikiran-pemikiran sederhana mendapatkan apresiasi. Setelah tujuan teralami melalui cara yang ditawarkan, orang-orang yang berpartisipasi di klab filsafat, kemudian bisa menilai, apakah memang cara mengalami seperti itukah yang ia kehendaki untuk mencapai tujuan dari klab filsafat tersebut? 

Pada titik ini, eliminasi tahap dua, berlaku. Yang setuju dengan cara mencapai tujuan seperti yang ditawarkan, dia akan bertahan. Sementara yang ga setuju dengan cara seperti itu, dia akan tereliminasi. Setelah tujuan disepakati, cara di sepakati, biasanya eliminasi akan masuk pada persoalan-persoalan yang lebih mikro: friksi di antara penggiat, kebosanan dan perasaan mandeg karena ketika semakin berusaha mendekati tujuan, tujuannya sendiri malah semakin menjauh.  

Eliminasi berikutnya adalah memperbaharui tujuan, melihatnya dengan perspektif baru. Biasanya orang-orang yang bertahan akan kembali mengalami proses eliminasi. Sebagian akan merasa menemukan kebaruan cara pandang itu penting untuk mencapai tujuan, namun sebagian bisa tidak setuju dan tetap bertahan pada cara pandang lama. Proses eliminasi pada titik ini seperti penawaran untung dan rugi. Setiap pihak menawarkan untung dan ruginya dengan pandangan masing-masing. Para pendukung tinggal memilih. Lalu siapa yang paling banyak dukungan dialah yang bisa melaju terus, yang tidak bisa silahkan memilih jalannya sendiri. 

***

Begitulah terus. Eliminasi lantas menjadi proses keseimbangan yang harus di jalani. Tidak pernah ada keseimbangan yang statis. Titik statis itu hanya bisa terjadi sepersekian detik dari pergerakan dan proses yang berlangsung terus menerus, setelah itu eliminasi akan kembali meneruskan kembali prosesnya. Kapan berhentinya kalau begitu? sampai ada pihak yang mengetok palu bahwa komunitas (tobucil) misalnya resmi di bubarkan. Selama masih berjalan, proses eliminasi akan jadi bagian dari perjalanan dan dinamika komunitas yang bersangkutan. Sepahit atau semanis apapun prosesnya, proses eliminasi akan selalu memberikan banyak pembelajaran dan membantu sebuah komunitas melihat kembali perjalanannya untuk mencapai tujuan.

Aceh 56 
15:37

Comments

dede said…
i like post
:)

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah