Skip to main content

The Rum Diary (2011): Kebimbangan Johnny Deep Atas Hunter S. Thompson

 *    *    *
Sutradara: Bruce Robinson

Bagi penggemar Hunter S. Thompson, seperti aku, film yang diangkat dari buku karangan Hunter, tentunya sangat wajib untuk di tonton. Apalagi Johnny Deep yang selama ini dikenal sebagai sahabat dekat Hunter S. Thompson, berperan sebagai tokoh utamanya.  Komentarku tentang film ini tentunya sangat dipengaruhi oleh film Fear and Loathing in Las Vegas, sebuah film yang diangkat dari karya Hunter yang lain.

Filmnya berkisah tentang Paul Kemp, seorang jurnalis Amerika yang pindah ke Puerto Rico untuk bekerja di surat kabar setempat. Sesungguhnya Kemp bukanlah seorang jurnalis, ia seorang penulis yang karyanya seringkali di tolak oleh banyak penerbit. Kepindahannya ke Puerto Rico, untuk mengadu peruntungannya yang akhirnya mendamparkan dia ke dalam lingkungan kerja surat kabar lokal dimana karir seorang jurnalis akan berakhir sebagai alkoholik, seperti rekan Kemp, Moberg yang diperankan oleh Giovanni Ribisi.

Sementara surat kabar tempat Kemp bekerja adalah surat kabar yang tidak jelas sikap politiknya. Memilih untuk main aman. Sementara, Puerto Rico ada pada masa dimana serbuan para pemilik modal asing, membabi buta dan merebut hak hidup penduduk aslinya. Sampai kemudian, Kemp berkenalan dengan Sanderson yang diperankan oleh Aaron Eackhart, seorang broker investasi yang punya ambisi memperkaya diri yang sedemikian besarnya. Kemp ditawari Sanderson untuk menjadi kolaboratornya, dengan menulis berita-berita yang dapat mempermudah Sanderson mencapai tujuan. Sanderson menawarkan uang dan fasilitas yang menggiurkan, Kemp menerima, bukan semata-mata karena uang, namun Kemp diam-diam jatuh cinta pada Chenault (Amber Hart), kekasih Sanderson.

Kemp melibatnya Sala (Michael Rispoli), teman Kemp yang juga sesama jurnalis dalam mengerjakan pekerjaannya untuk Sanderson. Setelah mengetahui bahwa Sanderson ingin merampas banyak lahan milik penduduk demi kepentingan investasi, Sala kemudian mengambil peran sebagai polisi moral bagi Kemp. Urusan Kemp dengan Sanderson menjadi kacau balau, ketika Chenault juga ternyata jatuh cinta pada Kemp dan secara terbuka menunjukkannya. Sanderson marah dan dengan kekuasaan yang dimilikinya, ia menutup surat kabar tempat Kemp bekerja.

***

Sebenenarnya, persoalan yang ingin disampaikan di film ini sangatlah menarik. Sebagai penulis ceritanya, Hunter S. Thompson, sangat kritis terhadap persoalan seperti ini. Membandingkan dengan Fear and Loathing in Las Vegas, meski itu tentang film perjalanan dua orang sahabat dan petualangan mereka menjajal segala macam obat-obatan terlarang, namun sangat kental terasa, bahwa itu bukan film tentang petualangan drugs semata. Narasi anti perang Vietnam, sangatlah kuat di film itu. Drugs hanyalah dampak dari kebingungan masyarakat muda Amerika pada saat itu dalam menyikapi kebijakan politik luar negeri negaranya.

Aku belum membaca buku The Rum Diary, tapi aku yakin, Hunter juga punya maksud politik seperti itu. Keberpihaknya pada komunitas latin Amerika, di Fear and Loathing in Las Vegas ditunjukkan dengan sangat jelas dari persabahatannya dengan Dr. Gonzo yang mengambil karakter dari sahabat nyata Hunter, Oscar Costa, seorang aktivis Brown Liberation. Sementara di Rum Diary, dengan memilih Puerto Rico dan masalah penguasaan lahan pun, sudah jelas Hunter memiliki tendensi politik yang kuat lewat kisah ini. Namun sayangnya, sang sutradara Bruce Robinson, lebih memilih mengeksekusi cerita ini kedalah petualangan romantis antara Kemp dan Chenault.

Padahal aktor-aktor pendukungnya kurasa berperan dengan cukup baik. Hanya saja, Johnny Deep sepertinya sulit keluar dari stereotipe Raoul Duke di Fear and Loathing in Las Vegas dan Jack Sparrow, Pirate of The Carribean. Aku tidak merasa Johnny bermain maksimal di film ini. Mungkin karena di film ini Hunter tidak bisa lagi ia tanyai dan menjadi mentor baginya. Sehingga menjadi jurnalis yang "Hunter S. Thompson" banget itu, sepertinya Johnny nampak kebingungan.

***

Dalam film yang diadaptasi dari tulisan seseorang, apalagi penulisnya punya karakter yang sangat kuat seperti Hunter S. Thompson,  baik Johnny maupun Bruce Robinson, punya keleluasaan untuk melakukan interpretasi. Semua berpulang dari pilihan yang akan diambil: akan patuh pada bukunya, atau hanya menjadikan buku sebagai pijakan. Namun, ketika ragu menjatuhkan pilihan semua akan terasa. Kepiawaian akting dan keindahan set terasa tidak maksimal.

Tapi terlepas dari kekurangannya, film ini masih enak untuk dinikmati..

Comments

Ayu Welirang said…
nanti coba nonton aaaah. :D

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah