Skip to main content

Catatan Dua Belas Tahun Tobucil



Jika ditanya bagaimana rasanya menjalani Tobucil selama 12 tahun? aku pasti menjawab, biasa-biasa saja. Biasa karena, masa-masa sulit  membangun pondasi Tobucil sudah terlampaui di sepuluh tahun pertama. Sepuluh tahun berikutnya adalah menjawab masa pertumbuhan, mau tumbuh seperti apa?

Ketika menengok kembali perjalanan Tobucil selama 12 tahun, aku tidak pernah membayangkan Tobucil seperti saat ini. Aku hanya berusaha menjalaninya sebaik yang aku mampu. Setelah ditinggalkan oleh dua pendiri lainnya, aku hanya berusaha menjawab tantangan pada diriku sendiri: 'jika setelah ditinggalkan aku berhenti, aku tidak akan pernah bisa menjalani persoalan hidup yang lebih besar dari Tobucil'. Dan upaya menjawab tantangan itu  kemudian mengantarkanku sampai waktu 12 tahun. 

Aku ingat, di awal tahun 2000 an, ketika Tobucil baru saja berdiri, banyak orang melabeli Tobucil sebagai  'Toko Buku Alternatif' atau 'Ruang Alternatif'. Tobucil pada saat itu, hadir sebagai alternatif  dari cara memaknai sebuah gerakan literasi. Sejak awal Tobucil menyatakan diri 'mendukung gerakan literasi di tingkat lokal'. Literasi bagi Tobucil bukan sekedar kemampuan membaca dan menulis, namun juga kemampuan membaca diri, lingkungan dan persoalan di sekeliling kita. Pemaknaan literasi seperti ini yang menjadi semangat dari perjalanan dua belas tahun Tobucil. Itu sebabnya kegiatan Tobucil tidak melulu teks dalam bentuk buku, namun lebih luas daripada itu. Tobucil menjadi ruang pertemuan berbagai gagasan, pemikiran dan penafsiran, semuanya bisa bertemu dan saling mengasah dan mematangkan. Meski pun proses mengasah dan mematangkan itu seringkali harus dimulai dari diri sendiri dan lingkaran yang paling dalam terlebih dahulu. 

Dua belas tahun juga mengajarkan tentang apa arti komitmen dan berjalan bersama. Jika bubarnya perkongsian dengan para pendiri atau organiasi mitra bisa disebut sebagai salah satu hal yang sulit yang harus dilalui, aku mengiyakan itu. Masa-masa ditinggalkan dua pendiri lain dan perpindahan Tobucil dari Kyai Gede Utama ke Jl. Aceh (2003-2007) menjadi soal belajar bahwa membangun sebuah cita-cita bersama itu jauh lebih sulit daripada sekedar menyusunnya sebagai konsep. Setiap orang menafsir mimpi bersama secara berbeda. Memaksakan tafsir yang sama hanya akan merusak mimpi itu sendiri. Pada akhirnya memang sulit mempercayai bahwa mimpi yang benar-benar sama itu ada. Yang ada adalah kesepakatan dan komitmen untuk menjalani sebuah impian secara bersama-sama. Karena sebuah mimpi memiliki banyak dimensi, memiliki banyak tafsir. Setiap dimensi, setiap tafsir akan membawa pada cara yang berbeda. Komitmen dan kelegaan hati menjadi penting untuk menerima perbedaan cara, sepanjang semua itu bertujuan mewujudkan impian yang telah disepakati. Komitmen berarti sama-sama bekerja keras mewujukan mimpi dan idealisme sesuai dengan tafsirnya masing-masing. 

Tahun 2007, ketika pindah ke jalan Aceh (tempat ketiga), Tobucil mereposisi diri dengan menjadikan literasi sebagai bagian dari keseharian. Proses membaca diri dan lingkungan bergerak lebih jauh melalui kegiatan aktualisasi diri. Kegiatan dan pendekatan hobi menjadi pilihan. Lewat hobi seseoarang lebih mudah berinisiatif,  tidak takut untuk mencoba dan gagal lalu mencoba lagi. Lewat hobi pula seseorang bisa dengan senang hati berbagi dan menularkan ilmu, semangat serta pengalamannya. Menjadikan literasi menjadi bagian dari keseharian artinya menjadikan aktualisasi diri sebagai bagian dari proses berkontribusi pada perubahan. Karena setiap perubahan besar selalu dimulai dari perubahan kecil di tingkat individu. Itu sebabnya Tobucil tidak akan pernah menjadi Tobusar (Toko Buku Besar), karena Tobucil percaya setiap hal besar selalu berawal dari hal kecil. Tobucil memilih perannya menjadi tempat memulai hal-hal kecil itu. Di tengah definisi 'kemajuan dan kesuksesan adalah menjadi besar', pilihan menjadi kecil selama dua belas tahun ini justru mengajarkan Tobucil bagaimana mendefinisikan kemajuan dan kesuksesannya sendiri dengan menjaga komitmen dan konsistensi. Istiqomah dengan tujuan, pilihan dan cara. 

Membangun kemandirian finansial, termasuk soal yang sulit untuk dikerjakan, namun akhirnya menemukan cara menyelesaikannya. Pertanyaan yang paling mendasar dari persoalan ini adalah sebuah pertanyaan yang sangat substansial: 'Bagaimana mungkin seseorang bisa mandiri dalam berpikir dan bertindak, jika untuk makan saja masih minta sama orang lain, bukan dari hasil keringat sendiri ?'. Pertanyaan substansial ini ketika berusaha untuk di jawab oleh  Tobucil sebagai sebuah ruang, menjadi berkali lipat sulitnya. Karena ada sistem untuk mencapai kemandirian yang harus dibangun, ada ketetapan hati untuk berkata tidak pada para sponsor yang menawarkan kemudahan tapi melumpuhkan semangat untuk mandiri dan juga perhitungan dimana investasi pendiri bukanlah investasi seumur hidup (alias nombok selamanya), tapi sebuah modal awal yang harus dikembalikan. 

Dua belas tahun ternyata waktu yang cukup singkat untuk menemukan sistem kemandirian itu, mengujinya termasuk  juga memperbaiki kesalahan-kesalahannya. Kemandirian finansial bagi tobucil adalah alat yang substansial untuk sampai pada tujuan literasi yang dimaksud oleh Tobucil. Bagaimana sebuah tujuan bisa tercapai jika alat atau caranya justru berlawananan dengan tujuan itu sendiri. Mungkin keyakinan Tobucil ini akan terasa naif untuk sebagian orang, karena Tobucil tidak melihat dukungan donor atau sponsor sebagai sebuah peluang. Namun bagi Tobucil ini adalah persoalan menjadi diri sendiri secara organik, membangun harga diri dan keyakinan bahwa kita mampu. 

'Kenaifan' itu akhirnya di kompromikan ketika memasuki dasawarsa kedua, koperasi menjadi pilihan yang diambil. Meski koperasi ini berdiri di luar Tobucil, namun keberadaannya seperti jaring pengaman di masa trial and error membangun sistem kemandirian finansial Tobucil tanpa melemahkan tujuan kemandirian finansial yang berusaha di capai oleh Tobucil. 

Upaya membangun kemandirian finansial juga yang membuat Tobucil enggan menjawab pertanyaan: 'berapa banyak orang yang pernah atau terlibat dalam kegiatan Tobucil selama dua belas tahun ini?' Pertanyaan ini biasanya diajukan untuk menilai 'tingkat kesuksesan' Tobucil sebagai sebuah ruang berkomunitas. Di jaman superfisial seperti sekarang ini, jumlah follower seolah-olah menentukan nilai dan kredibilitas sebuah gerakan. Padahal seringkali banyaknya follower hanya memberi gema pada apa yang kita lakukan dan tidak juga membuat esensi dari gagasannya tertangkap dengan jelas. Seperti nilai baik buruk yang makin lama makin ditentukan oleh suara mayoritas.

Meski memiliki datanya, aku selalu menjawab 'banyak' tanpa mau menyebutkan jumlah angkanya. Bagiku, setiap orang yang berinisiatif bergabung dalam program yang ditawarkan oleh Tobucil, terlalu berharga jika harus disederhanakan dalam angka dan statistik yang biasanya penting untuk menyakinkan para sponsor atau lembaga donor. Lebih jauh lagi, jumlah pengikut ini seringkali dianggap menentukan sejauh mana apa yang kita lakukan berdampak dan berpengaruh pada khalayak luas. Itu sebabnya jika ditanya, seberapa jauh Tobucil telah membuat perubahan pada masyarakat? dengan santai aku pasti menjawab: silahkan tanya pada orang-orang yang pernah berkegiatan di Tobucil. 

Dua belas tahun ini seperti sebuah perjalanan untuk tetap menyakini hal-hal yang sederhana. Tobucil memilih perannya di sini dan setiap orang bebas memilih perannya masing-masing. Ketika semuanya di jalankan sepenuh hati dan suka cita, aku yakin sebesar dan sekecil apapun itu, pasti akan memberi dampak pada sekelilingnya. 


Comments

Unknown said…
waktu dua belas tahun adalah waktu yang cukup untuk mematangkan dan kualitas teruji oleh waktu, mampir juga ya ke blog saya www.goocap.com

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah