Skip to main content

Sokola Rimba (2013): 'Kisah Guru Menemukan Murid'




* * * *

Sutradara: Riri Riza

Apalah artinya guru tanpa murid dan murid tanpa guru. Keduanya bisa saling menemukan dan saling mengisi.

Setelah sekian lama, akhirnya menemukan juga film Indonesia yang cukup menggugah. 'Sokola Rimba', film garapan sutradara Riri Riza dan di produseri oleh Mira Lesmana ini diangkat dari kisah perjuangan 'guru anak rimba' Butet Manurung dengan Prisia Nasution sebagai pemerannya dan anak-anak Suku Anak Dalam yang tampil begitu natural sebagia murid-muridnya.

Sokola Rimba mengisahkan suka duka Butet Manurung merintis Sakola Rimba untuk anak-anak Suku Anak Dalam yang tinggal di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, Sumatera yang dimulainya sejak tahun 1999. Mulanya Butet bekerja untuk sebuah LSM yang mengurusi perluasan Taman Nasional dimana tugas yang diemban Butet adalah melakukan pendampingan pada masyarakat yang tinggal di sekitar Taman Nasional. Namun pada prakteknya, pekerjaan itu membawa Butet pada kenyataan bahwa pendidikan menjadi hal penting yang dibutuhkan bagi masyarakat Suku Anak Dalam atau yang lebih dikenal dengan sebutan Orang Rimba untuk bisa berhadapan dengan perubahan dan kebijakan pemerintah tentang Taman Nasional.

Dengan mengajarkan membaca dan menulis pada Nengkabau, Nyungsang Bungo, Beindah serta anak-anak rimba di hilir Sungai Makekal yang harus ditempuhnya dalam 7 jam perjalanan, Butet meyakini hal itu akan menjadi bekal bagi mereka untuk menghadapi perubahan. Selama ini Orang Rimba tidak memiliki akses terhadap pendidikan dan pengalami pembodohan oleh sistem yang tidak berpihak pada mereka dan pada akhirnya Orang Rimba menjadi pihak yang banyak dirugikan oleh kebijakan pemerintah mengenai Taman Nasional. Mereka sering dibodohi dalam perjanjian kerjasama para pengelola aset Taman Nasional dengan masyarakat adat. Akibatnya, ruang hidup mereka seringkali tergusur dan akses mereka terhadap Sumber Daya Alam menjadi sangat-sangat terbatas. Padahal masyarakat Suku Anak Dalam, seperti halnya masyarakat adat lainnya, mengambil sumber daya alam hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Kearifan lokal membuat mereka sangat paham apa arti 'cukup'.

Upaya mendirikan Sokola Rimba, tidak hanya mendapatkan tentangan dari pemimpin LSM tempat Butet bekerja, namun dari sebagian Orang Rimba sendiri yang masih percaya bahwa sekolah itu adalah kutukan. Butuh waktu dan pengorbanan ketika akhirnya Orang Rimba dapat menerima akses pendidikan yang Butet tawarkan.  Pada perjalanannya, Butet justru merasa dialah yang belajar banyak dari Orang Rimba yang selama ini selalu dianggap terbelakang dan bodoh. Mereka justru memiliki kepintaran dan kecerdasan yang tidak dimiliki orang-orang kota yang hidup dalam moderenitas.

***

Selama ini tidak banyak film Indonesia yang mencoba memotret kehidupan masyarakat adat yang ada di pelosok Indonesia. Sokola Rimba, menurutku menjadi film yang cukup penting yang mencoba memotret itu. Dengan mengambil lokasi di Taman Nasional Bukit Duabelas dan menampilkan Orang Rimba sebagai aktor dan aktris di film ini, penonton seperti disuguhi 'dokumenter' keseharian Orang Rimba dengan cerita yang tidak dilebih-lebihkan.

Memang ada sosok Butet Manurung yang sosoknya sudah sedemikian terkenal sebagai tokoh utama dalam film ini, namun anak-anak rimba yang menjadi aktor dadakan dan berperan begitu alami di film ini, membuat film ini menjadi utuh dan Butet menjadi tokoh yang berusaha tampil apa adanya tanpa bertendensi menjadi superhero  pembawa cahaya bagi anak-anak rimba. Menurutku, mengangkatnya ke layar lebar dapat menjadi upaya memperkenalkan Butet kepada khalayak yang lebih luas dan memberi inspirasi serta semangat perubahan bagi para penontonnya. Atau sekedar memberi sekelumit gambaran kenyataan hidup Orang Rimba, itu pun cukup penting sekalian perkara memberi inspirasi.

Meski tampil tidak terlalu mendalam, kritikan terhadap kebijakan Taman Nasional yang seringkali melupakan masyarakat adat sebagai penghuninya, desakan industri kelapa sawit, laju modernitas yang sulit dibendung ketika merangsek masuk sampai ke pedalaman, juga persoalan bagaimana sosok seperti Butet dapat hadir dan bertahan dengan misinya berkat dukungan lembaga donor asing, menjadi realitas yang di potret berhadap-hadapan dengan kepolosan dan kesederhanaan hidup Orang Rimba. Dan sepertinya di film ini Riri Riza dan Mira Lesmana, cukup berhati-hati untuk tidak memberi porsi 'kepahlawanan' yang berlebihan pada sosok Butet Manurung, karena mungkin Butet Manurung sendiri tidak mengingingkan hal itu.

Bagiku pribadi, ketika sosok peneliti asing yang mengatakan 'Kitalah yang butuh mereka, bukan mereka yang membutuhkan kita,' justru menjadi kenyataan yang menampar. Ketika 'kita (sebagaian masyakarat Indonesia yang beruntung mendapat akses pendidikan, ekonomi dan pengetahuan dan memiliki akses untuk melakukan perubahan)  selalu harus disadarkan oleh 'orang lain (baca: bangsa lain)' tentang betapa berharganya apa yang bangsa ini miliki. Juga kenyataan lembaga donor asinglah yang pada akhirnya mau membiayai cita-cita Butet Manurung atau perusahaan air minum multinasional (yang disisi lain memonopoli sumber-sumber air masyarkat) yang justru mau mendukung film seperti ini. Pertanyaan klasik dan dilematis yang selalu muncul;  mengapa harus mereka? mengapa harus bangsa lain? mengapa tidak bangsa ini sendiri yang lebih memberikan mendukung dan menyemangati cita-cita anak bangsa seperti Butet Manurung. Atau para filantropi Indonesia yang kelebihan duit dan punya idealisme mendukung perfilman Indonesia. Ironisnya lagi, sosok atasan Butet (yang aku lupa namanya) menjadi tipikal gambaran pekerja LSM yang bekerja hanya berdasarkan pesanan sponsor.

Yang ampuh dari film seperti ini pada akhirnya memang 'gangguan pertanyaan' yang ditimbulkan setelah menontonnya. Karena aku meyakini sebuah karya yang baik adalah karya yang setidaknya mampu mengusik penikmatnya untuk mempertanyakan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang ingin disampaikan lewat karya itu. Demikian pula dengan Sokola Rimba, yang menurutku berhasil menggangguku dengan pertanyaan klasik dan dilematis yang sesungguhnya bisa diubah subjek pertanyaannya menjadi; mengapa bukan aku? mengapa bukan kamu? yang mau mendukung cita-cita dan inspirasi perubahan seperti ini.

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...