Skip to main content

Perjumpaan Cara Pandang Berbeda Dalam 'Kultur Membuat'

Jika dirunut lebih jauh kultur membuat ini, sesungguhnya tidak pernah bisa dilepaskan dari kehidupan  keseharian sejak dahulu kala. Semua pengetahuan tradisional (di barat dan di timur) dengan teknonologi sederhana, aplikatif dan kebijaksanaan terhadap lingkungan sekitarnya, menciptakan gaya hidup yang seimbang lahir, batin juga dengan lingkungan sekitarnya. Masyarakat tradisional memiliki pengetahuan dan cara untuk menemukan keadilan hidup yang selaras dengan lingkungan. ‘Membuat’ bukan semata-mata memenuhi tuntutan seseorang untuk menjadi ‘produktif’, namun lebih jauh dari itu, ‘membuat’ membangun ideologi dan pemenuhan diri secara spiritual dimana ‘membuat’ memberi perasaan berdaya kepada setiap individu yang melakukannya. Membuat juga menciptakan pemahaman akan proses yang membutuhkan waktu, tolerasi atas kegagalan, juga kesadaran bahwa sesuatu itu tidak bisa diperoleh dengan cara instan. Sikap seperti ini yang menumbukan kemampuan untuk menjaga diri dari keserakahan.

Namun peradaban moderen membawa gaya hidup dan nilai-nilai kemanusiaan kearah yang berbeda.Ketika teknologi dan peradaban manusia bergerak ke fase moderen, teknologi menjadi dominan, menggantikan tenaga manusia, melahirkan komoditas dan kosumenrisme lalu melupakan kebijaksanaan hidup yang selaras dengan lingkungan. Ilmu pengetahuan jadi rezim kekuasaan dan dikuasai oleh para pemilik modal. Ilmu pengetahuan dan teknologi lantas hanya menjadi alat untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dari penyakit sosial masyarakat moderen bernama konsumerisme.  Ketika situasi itu menjadi dominan dalam keseharian, kerinduan ‘spiritual’ dari proses membuat memunculkan kembali semangat untuk ‘membuat’ untuk mengembalikan lagi nilai-nilai diri untuk merasa berdaya.

Di barat, budaya konsumerisme dan keterlepasan hubungan antar manusia yang diambil alih oleh teknologi, memunculkan gerakan subkultur dari orang-orang yang ingin kembali pada  ‘kultur membuat’. Gerakan ini berusaha mengembalikan teknologi dan ilmu pengetahuan pada aplikasi keseharian yang lebih sederhana dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Sains yang begitu rumit dan jauh dari jangkauan, berusaha di dekatkan kembali oleh komunitas-komunitas ‘peretas’ untuk dibagikan secara luas kepada masyarakat secara luas. Teknologi informasi dan internet menjadi kendaraan untuk menyebarkan semangat dari kultur membuat ini dan menghubungkan antara satu komunitas dangan komunitas lainnya.

Indonesia sebagai target market terbesar dari teknologi informasi dan internet ini, tentunya tidak terlepas dari target gerakan 'kultur membuat'. Sebagai negara besar dengan kekayaan tradisi dimana gaya hidup tradisional bisa berjalan bersama dengan gaya hidup moderen, 'kultur membuat' yang datang dari semangat moderenitas barat lantas berinteraksi dengan 'kultur membuat' yang telah lama ada dan melekat dalam keseharian hidup masyarakat di Indonesia. Misalnya saja dalam acara Hackteria Festival, bulan April 2014 lalu. Acara ini mencoba mempertemukan komunitas dan invididu dari Eropa, Asia dan Amerika, bertemu, bertukar ilmu dan pengetahuan juga pandangan tentang semangat dari 'kultur membuat' lewat dialog, lokakarya dan perbincangan personal.

Meski tidak mudah, namun upaya membangun jembatan antara 'semangat kultur membuat' yang datang dari barat dan timur perlu terus menerus dilakukan. Kesenjangan moderenitas di Barat dan Timur serta perbedaan filosofis dari kultur membuat itu sendiri, tanpa disadari melahirkan perbedaan definisi yang bisa mementahkan dari tujuan gerakan kultur membuat itu sendiri_ demokratisasi teknologi, sains, ilmu pengetahuan dan mengaplikasikannya dalam keseharian serta membangun gaya hidup yang mandiri dan berkelanjutan.

Selama ini kita seringkali menerima semua itu begitu saja dan sebagaimana adanya (taken for granted), tanpa kesadaran bahwa  ada pengetahuan dan teknologi aplikatif sederhana yang ketika kita kuasai bisa membuat kita merasa berdaya. Bahkan kita seringkali tidak menyadari bahwa pengetahuan dan teknologi dari kultur membuat itu, sesungguhnya telah kita miliki. Tanpa kesadaran itu, seringkali kita justru hanya sekedar mengamini semangat kultur membuat sebagai sesuatu yang datang dari barat dan menihilkan 'kultur membuat' yang telah melekat dalam keseharian kita. Alih-alih membangun kemandirian gaya hidup yang berkelanjutan, kita malah terjajah definisi 'membuat' itu sendiri.

Saya justru merasa jauh lebih beruntung, bahwa di Indonesia gaya hidup tradisional dan moderen bisa hidup bersama-sama dan justru saling melengkapi. Kita justru masih memiliki sumber-sumber pengetahuan dan kebijaksanaan termasuk sumber daya alam untuk hidup lebih baik seperti yang ditawarkan oleh gerakan 'kultur membuat' ini dan membangun kemandirian definisi 'membuat' yang sesuai dengan konteks kehidupan keseharian kita di sini.


(Tulisan ini rencananya akan diterbitkan dalam Kompilasi Esai Hackteria Festival 2014 yang tak kunjung terbit :D  ya sudah tulisan versi belum di edit, diterbitkan di sini). 

Comments

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah