Skip to main content

Tenjojaya for The First Time

Tenjojaya diliat dari rumah ibu Rum, photo by tarlen

Ini adalah observasi lapangan pertama, yang saya lakukan untuk kepentingan penelitian justice for the poor. Observasi ini bertujuan untuk mencari kejelasan kasus perceraian ibu Rum di daerah Tenjojaya, Sukabumi. Selain itu, moment rapat koordinasi para koordinator lapangan dari 4 daerah PEKKA (Sukabumi, Cianjur, Subang dan Karawang), menjadi moment berharga bagi saya untuk mengerti dan memahami lebih jauh lagi kerja para PL PEKKA di wilayah binaan mereka masing-masing.

Perjalanan menuju Ds Cibadak, tempat Mipna, PL PEKKA wilayah Sukabumi, bagi saya jadi perjalanan yang cukup panjang. Berangkat dari terminal Leuwi Panjang, Bandung Pk. 15.00, saya harus mampir ke Cianjur terlebih dahulu, karena harus bertemu Oemi, PL PEKKA wilayah Cianjur. Dari Cianjur barulah melanjutkan perjalanan ke Cibadak, Sukabumi. Alhasil, sampai di Cibadak hampir Pk. 22.30. Perjalanan yang melelahkan. Sampai kosan Mipna,, para PL PEKKA, langsung melakukan rapat koordinasi, dengan balutan piyama mereka masing-masing. Rupanya, saya tak bisa lama-lama jadi pendengar, karena kecapean, saya langsung pulas tertidur.

Namun beberapa persoalan dilapangan dari para PL di wilayah masing-masing, menyangkut persoalan bagaimana ibu-ibu yang menjadi kader hukum itu mengorganisasi diri. Intrik dan karakter personal, serta minimnya pemahaman isu dan pengalaman beroganisasi menjadi kendala yang yang seringkali harus dihadapi oleh para PL PEKKA di wilayah mereka masing-masing. Misalnya: kurangnya pehamanan tentang makna dan arti korupsi, membuat beberapa ibu tidak sadar, bahwa dalam skala dan tingkat tertentu ketika mereka mencantumkan nama fiktif untuk mengakses bantuan beasiswa sekolah, itu juga bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Selama ini, beberapa ibu mengira, itu adalah hal yang biasa dan wajar, karena mereka juga melihat praktek tersebut terjadi pada tingkatan yang lebih tinggi, penglelola desa misalnya. Karena itu, tantangan besar yang dihadapi PL PEKKA di lapangan adalah bagaimana melahirkan inisiatif dalam pengorganisian kelompok dengan meminimalisir intervensi PEKKA, sebisa mungkin. Biarkan masyarakat mengatur dirinya sendiri.

Bangun keesokan harinya, ternyata rakor masih berlanjut. Mipna, mengkontak salah satu kader hukum, teh Wita untuk mengantar saya ke Tenjojaya, ke tempat Ibu Rum. Memakan waktu kira-kira 30 menit untuk sampai ke Tenjojaya. Perjalanan dilakukan dengan menggunakan angkot dan ojeg. Jalan menuju rumah Ibu Rum, sungguh luar biasa jelek. Menurut pengakuan tukang ojeg, jalanan yang mereka lalui setiap hari untuk mencari nafkah, membuat sepeda motor yang mereka gunakan bertahan enam bulan saja, setelah itu, mereka harus mengganti onderdil motor yang rusak karena karena kondisi jalanan yang begitu parah.

Ds. Tenjojaya bukan desa seperti di lukisan Mooi Indie, yang hijau gemah ripah loh jinawi. Tenjojaya terasa gersang. Saya tidak melihat ataupun merasakan sesuatu yang ‘jaya’ di desa ini. Gersangnya pegunungan kapur yang melingkupi desa ini, kental terasa, sampai ke debu jalanan yang mengepul ketika ojeg melewatinya. Desa Jembatan kayu menghubungkan Ds. Tenjojaya yang di pisahkan oleh sungai besar yang pada saat itu, batu-batu di dasar sungai terlihat jelas, karena volume air menyusut drastis disaat hujan yang tak kunjung turun selama beberapa bulan terakhir.

Sesampai di tempat Ibu Rum, ternyata yang bersangkutan tidak ada di rumah, sedang pergi ke ladang. Untungnya teh Wita, di pesan oleh Mipna, ‘Jika Ibu Rum tak ada di rumah, maka carilah ibu Ayi.’ Akhirnya, kami pergi ke rumah ibu Ayi. Bu Ayi ada di rumah. Anaknya yang belakangan kami tau, masih duduk di kelas 3 SMEA, membukakan pintu. Tak lama, perempuan yang saya taksir usianya belum empat puluh tahun, berperawakan langsing, berambut pendek dan berkulit gelap, muncul menyambut kami. Meski terlihat sederhana, namun perempuan yang dipanggil Ibu Ayi, terlihat rapi dan berdandan, terlihat dari lipstik merah menyala yang menghiasi bibirnya.

Ibu Ayi sudah 3 tahun bergabung di PEKKA. Ia punya dua anak. Yang paling besar kelas 3 SMEA dan sedang Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Bogor. Sedangkan anak bungsunya selepas SMP tidak melanjutkan sekolah karena tidak ada biaya.. Di bandingkan dengan rumah ibu rum yang nampak belum selesai di bangun, rumah ibu Ayi lebih layak. Dengan lantai kramik putih, rumahnya terlihat lebih mencolok di bandingkan dengan rumah-rumah lain disekitarnya.

Saya memperkenalkan diri, sebagai periset yang akan melakukan penelitian untuk kasus ibu Rum. Ternyata ibu Ayi sudah mengetahuinya, karena mba Hanna telah terlebih dulu berkunjung. kurang lebih 30 menit berbincang, ibu Rum muncul di rumah ibu Ayi, sekembalinya dari ladang. Saya memperkenalkan diri kepada ibu Rum. Perbincangan kami pada perkenalan pertama ini, berkisar pada kisah saudara Ibu Ayi yang melakukan kawin kontrak. Bahkan ibu Ayi pun sempat ditawari, ‘timbang luntang-lantung, lumayan 5jt seminggu mah..’ begitu kata bu Ayi menirukan bujukan sodaranya. Menurut Ibu Ayi, sodaranya ini cukup sukses dengan kehidupan kawin kontraknya. Standar kesuksesannya, menurut ibu Ayi bisa dilihat dari ‘rumah arab’ yang dimiliki oleh sodaranya itu. Ketika diminta menjelaskan apa yang dimaksud dengan rumah arab, ibu Ayi menjelaskan ‘Iya modelnya kaya rumah-rumah di arab. Barang-barangnya mewah.’ Di benak saya langsung terbayang, gaya bling-bling serba emas dan glamor tipikal rumah-rumah timur tengah yang banyak saya saksikan di film-film.

Ternyata tawaran kawin kontrak juga dialami ibu Rum. Namun baik ibu Ayi maupun ibu Rum, ketakutan dengan tawaran itu. Karena mereka juga banyak mendengar kisah-kisah gagal dari sebuah kawin kontrak. Lagi pula untuk melakukan kawin kontrak, orang-orang Arab yang mencari istri kontrakan itu, tidak mau sembarangan juga. Mereka menuntut calon istri kontrakannya harus menjalani tes kesehatan dan bentuk fisik serta penampilanpun sangat menentukan kriteria istri kontrakan.
Dari persoalan kawin kontrak, pembicaraan beralih ke masalah persoalan perceraian yang dialami ibu Rum. ada perubahan mimik muka Ibu Rum. Perasaan sakit dari perceraian itu, masih tergambar jelas di . Saya sengaja tidak memancing lebih jauh mengenai persoalan itu. Saya kira akan lebih baik, masalah itu digali pada pertemuan berikutnya yang dimana hanya saya dan ibu Rum saja yang berbincang. Ibu Rum sempat menjelaskan proses perceraian yang dilakukannya memakan waktu sampai 3 bulan, untuk 10 kali sidang perceraian. Dengan waktu yang cukup lama itu, Ibu Rum tetap tidak mendapatkan apa yang disebut surat janda. Ibu Rum sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan surat itu tidak dia dapatkan. Karena itu, hingga kini, suaminya belum bisa menikah lagi dengan kekasih barunya. Di satu sisi, ibu Rum merasa cukup beruntung, karena suaminya masih mau membiayai dirinya dan anaknya.

Menurut keterangan ibu Rum dan ibu Ayi, hampir 75 % laki-laki di desa Tenjojaya bekerja di Jakarta. Sisanya menjadi buruh tani dan buruh pemecah batu. Sedangkan perempuannya yang bisa mendapatkan pendidikan sampai SMU, biasanya bekerja di pabrik garmen yang ada di sekitar Tenjojaya. Sedangkan yang mengenyam pendidikan sampai SMP, biasanya menjadi pembantu rumah tangga.

Hampir satu jam saya dan teh Wita mengunjungi ibu Rum dan ibu Ayi. Saya berjanji akan mengunjungi Ibu Rum setelah lebaran ini. Kunjungan berlanjut dari Ds. Tenjojaya ke Ds. Warnajati di tempat tinggal teh Wita. Meski tak ada kasus yang di teliti, bagi saya, menarik untuk melihat tempat lain. Ds. Warnajati terletak bersebelahan dengan PT. Perkebunana Nusantara VIII Sukamaju yang dulunya merupakan perkebunan karet, dan kini berubah menjadi perkebunan sawit.

Menurut teh Wita, karakter orang-orang di desanya, lebih tertutup. Padahal banyak pula kasus KDRT yang tidak terangkat ke permukaan karena yang bersangkutan tidak ingin memperkarakan hal itu. Di bandingkan dengan Ibu Ayi dan Ibu Rum, teh Wita mengaku tidak nyaman dengan pembicaraan tentang kawin kontrak. Dari pengakuannya, teh Wita tidak terbiasa memperbincangkan hal-hal seperti itu disecara terbuka.

Kunjungan saya yang pertama ke Ds. Tenjojaya, lumayan memberi gambaran tentang situasi kasus yang akan saya gali lebih jauh.

19 & 20 Oktober 2006

Comments

Unknown said…
wah... gimana kelanjutan risetnya ya...?
Cagur said…
sebulan lagi q dines ngajar di SD Satap 03 Sembakung Desa Tagul, ada riset lanjutan lgi ga yadisana?? sapa tau bsa sharing bareng
vitarlenology said…
kebetulan hasil riset sembakung dan dokumenternya sudah selesai dan sudah diluncurkan, bisa kontak yayasan interseksi www.interseksi.org

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah