Skip to main content

That's Why I Like You...!

picture by ross halfin

Ngikutin pembuka tulisan Hagi Hagoromo di edisi sebelumnya, saya juga mau bilang, kalau jadi penggemar sebuah band bukanlah hal yang kelihatannya mudah. Kenapa saya bilang gitu? proses menyukai sebuah band hingga bisa jadi fan-nya selama bertahun-tahun, ternyata butuh komitmen dan kepercayaan, persis kaya orang pacaran. Berlebihan kah saya? mungkin. Bagi saya, ketika saya menggemari sesuatu, seringkali saya harus kenal seperti apa yang saya gemari itu. Bukan cuma musiknya, seringkali attitude malah jadi faktor yang cukup penting bagi saya untuk memutuskan, terus menyukainya, atau ya sudahlah, mereka tak ada bedanya dengan band-band lain yang terkena rockstar syndrome.

Saya mau cerita tentang rasa suka saya pada Pearl Jam. Band asal Seattle di era 90-an yang sampai saat ini, mereka jadi last band standing untuk generasinya. Sama seperti kebanyakan anak SMU yang hidup di tahun 1990-an, saya juga terkena demam grunge. Waktu itu saya lebih dulu menyukai Red Hot Chili Pepers, karena kegilaan mereka dalam bersikap (selain itu John Frusciante muda.. siapa sih yang ga suka sama dia ? :D). Ketika era grunge muncul, kisah hidup Kurt Cobain mengundang simpati saya, selain musiknya yang juga mewakili fase psikologis saya pada jaman SMU yang sering marah-marah ga jelas. Namun, saya kecewa berat, saat Kurt Cobain bunuh diri. Bagi saya keputusan Kurt Cobain untuk bunuh diri, tidak memberi inspirasi yang tepat, ketika sebagai fans, pada saat itu, lebih membutuhkan ‘spoke person’ untuk bisa mewakili apa yang saya dan mungkin jutaan fans nya rasakan. Lalu, Eddie Vedder dengan sepenggal kisah hidupnya dalam salah satu hits mereka, Alive, menggugah saya kemudian. Mengobati kekecewaan saya atas kehilangan figur Kurt Cobain.

Saya seringkali berpikir, sebenarnya, mana yang lebih menggugah saya sebagai fan, bagaimana Pearl Jam bermusik? atau bagaimana kisah hidup di balik proses bermusiknya? Saya kira untuk Pearl Jam, dua-duanya menjadi penting. Seringkali saya lebih menunggu kejutan apalagi dari Pearl Jam sebagai band yang pernah dijuluki The Most Elusive Band in The World (band paling susah di mengerti). Sebagai fan ternyata saya juga ga bisa dengan mudah begitu saja menerima keputusan mereka ketika menentang Ticket Master yang menurut mereka, menjual tiket dengan harga yang terlalu mahal untuk fans mereka. Hey, sebagai fan sebenernya, berapapun harga tiket konser yang mereka jual, tentunya dengan sukarela kami pasti akan membelinya. Setelah tiga album hits (Ten, Versus, Vitalogy), Pearl Jam mengeluarkan album yang membuat mereka ditinggalkan banyak sekali penggemarnya. Dan bagi saya, album No Code (album ke 4 pearl jam), adalah album paling sulit diterima, kerena secara musik mereka berubah drastis. Bukan hanya itu. Mereka pun memutuskan, menutup diri pada media, tidak mau membuat video klip, sampai-sampai penjualan album mereka hanya 500 ribuan keping saja di seluruh dunia. Saya ga bermaksud membahas kenapa No Code yang secara musikal lebih kontemplatif dan kemarahan Vedder di album-album sebelumnya tak terdengar di sini. Yang menarik bagi saya, sebagai penggemar, saya kemudian dipaksa oleh PJ, untuk menerima kenyataan bahwa sebagai manusia biasa mereka juga berubah.

Selama ini, sebagai fan, PJ adalah ilusi buat saya. Saya mengenal PJ lewat karya-karyanya, karena itu saya punya kebebasan berimajinasi, berfantasi, berilusi tentang mereka. Sehingga yang saya sukai kemudian adalah imajinasi saya tentang PJ. Sebagai fan pula, saya seringkali otoriter, hanya mau menerima image mereka yang sesuai dengan yang saya inginkan, selain itu saya ga mau menerimanya. Buruk-buruknya saya akan meninggalkan mereka, ketika mereka berubah tidak seperti yang saya inginkan. Dengan kejam, saya bisa bilang, mereka udah ga asyik..eddie vedder pun udah tampak tua dan gemuk. tidak se ganteng dan se keren dulu. Ketka imajinasi tentang mereka di hancurkan oleh kenyataan bahwa mereka pun tumbuh dan senantiasa berproses dan berubah, sebagai fan rasanya saya sulit menerima itu.

Muncul pertanyaan dalam diri saya, bagaimana caranya tumbuh dan berkembang bersama band yang kita kagumi? Apakah dengan mengimitasi apapun yang mereka lakukan dalam kehidupan kita sehari-hari? Bagaimana caranya menjalin pemahaman satu arah yang sehat antara kita dan band atau sosok idola kita? Bagaimanapun ada jarak yang yang sangat besar antara saya dan PJ. Saya tak pernah kenal mereka secara langsung, jika saya menganggap mereka teman, itu adalah pertemanan yang imajiner. Pertemanan terabsurd yang pernah dijalani. Mereka bisa mempengaruhi bahkan merubah hidup saya, tapi hidup mereka mungkin tak pernah saya pengaruhi. Ini seperti kepakan sayap kupu-kupu di Afrika, bisa menimbulkan badai di Alaska. Hubungan saling mempengaruhi yang seringkali sulit diterima oleh rasio.

Kebutuhan dasar manusia yang membutuhkan role model untuk mengisi kehidupannya, nampaknya bisa menjawab pertanyaan saya tadi. Ketika role model itu tak bisa kita dapatkan dari orang-orang yang kita kenal dekat, kita biasanya mencarinya dari orang lain yang bahkan jauh dari kita atau tidak kita kenal sama sekali. Karena manusia senantiasa mendambakan kesempurnaan yang mustahil. Untuk itu, ilusi-ilusi tentang kesempurnaan, mengisi sebagian besar imajinasi manusia. Musik dengan segala kekuatannya menjadi pengantar yang juga ‘sempurna’ untuk mengantarkan manusia membangun ilusi kesempurnaan itu. Lalu musisi dengan karya dan solah tingkahnya, seolah-olah menjadi seperti dewa yang menyebarkan gambaran tentang kesempurnaan itu. Seperti sebuah bayangan yang ketika di dekati ternyata sosoknya tidak sebesar wujud aslinya.

Bagi saya kemudian, attitude ketika mengemari sebuah band_seperti PJ_menjadi penting. Attitude lah yang kemudian membuat PJ bukan sekedar imajinasi yang saya bayangkan tentang mereka. Attitude membuat PJ tak lagi seperti dewa yang terlihat jauh lebih hebat dari wujud aslinya. Seperti layaknya pertemanan, ‘Pertemanan imajiner’ saya dengan merekapun, mengalami pasang surut. Adakalanya saya sepakat dengan mereka dan kadang saya tidak sepakat sama sekali. Proses seperti itulah yang kemudian membuat saya merasa bisa menyukai Pearl Jam dengan lebih sehat. Rasa suka dan kekaguman yang tetap didasari oleh sikap kritis terhadap karya mereka. Bukan rasa suka dan kekaguman buta yang justru membuat mereka terkurung dalam menara gading ketenarannya yang membuat mereka tak berani keluar dari batasan-batasa mereka dalam berkarya. Tentunya rasa suka saya terhadap Pj, membuat saya senantiasa berharap mereka bisa menghasilkan karya yang lebih baik. Menjadi penggemar yang baik, saya kira juga berarti, bisa memberikan kontribusi pada perubahan mereka terhadap karya yang lebih baik. Tidak menjadikan mereka dewa yang terbebas dari kesalahan dan mengkritisi mereka dengan semangat pertemanan, bisa membuat hubungan idola dan penggemarnya bisa mutualisme dan saling mempengaruhi. Dan seperti layaknya pertemananyang memancarkan pengaruh positiflah yang layak dipertahankan sebagai teman.

tulisan ini buat majalah encore

Comments

Helman Taofani said…
Wuhuu...mantaaabh. Emang sih, proses kita "tahu lebih" sama yang kita sukai justru kadang berasal dari buah karya mereka yang banyak orang bilang "jelek". Padahal mereka hanya mencoba membuat sesuatu yang "beda", dan mungkin tidak dipahami oleh banyak penggemarnya. Suatu proses berkembang yang wajar dalam diri manusia.

Sama kaya teh' Tarlen juga, gua si "nemplok" ke PJ gara-gara Yield dan No Code justru (meski later on gua suka banget sama Vitalogy). Tetapi tetep ketika kita memahami masa-masa "tersulit" mereka, akan lebih mudah juga bagi kita untuk "menuntut" mereka paham sama masa-masa sulit kita. Hehehe...

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah