Skip to main content

Mengisahkan Tita Dalam Kesan


Tita Rubi, Pic by tarlen

Saya sering mendengar namanya dibicarakan banyak teman-teman di Bandung karena militansi dan semangatnya pada dunia seni yang dicintainya. Saat itu, sekalipun saya belum pernah bertemu dengannya apalagi mengenalnya. Namun, enam tahun yang lalu, saat pertama kali saya berkenalan dengannya di rumahnya di Yogjakarta, saya menemukan militansi dan semangat itu.

Sekilas, saya melihat tita, seperti melihat sahabat SMA saya dulu. Selain mirip secara fisik, dua-duanya sama-sama orang yang keras terhadap dirinya sendiri dan pada semua hal yang dianggap benar. Sebagai perupa yang digembleng pada masa represi Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK/BKK) FSRD ITB, proses berkarya Tita sangat terasa dipenuhi oleh samangat perlawanan dan pembebasan. Kegelisahannya adalah kegelisahan untuk melawan segala bentuk represi. Ada saat dimana tita memposisikan diri sebagai korban yang ditindas oleh sistem. Namun dikaryanya yang sekarang saya melihat, si korban tengah memperlihatkan kebangkitannya sebagai seorang survivor, orang yang mampu bertahan dalam represi sistem dan bukan sekedar bertahan, namun mampu bangkit kembali dan mewujud dalam jati dirinya yang baru.

***

Melihat tita sebagai perupa, tak bisa lepas dari semua kisah keterlibatannya pada kerja kolektif seni maupun kemanusiaan. Karena kesenian bagi tita adalah proses menjalani kehidupan itu sendiri. Tentunya belum lepas dari ingatan saya dan mungkin teman-temannya yang lain, bagaimana tita bekerja untuk kemanusiaan, pada saat gempa Yogja terjadi. Totalitas, itulah kata yang kemudian saya garis bawahi dari teman seperti tita.

Totalitasnya pada banyak hal, sering membuat saya terkagum-kagum, meskipun saya seringkali melihat tita harus menjadi lilin yang menerangi banyak orang namun membiarkan dirinya habis terbakar. Semangat perlawanan dan pembebasan, seringkali membuat tita membiarkan dirinya menjadi martir bagi orang lain. Totalitas itu pula yang membuatnya lebih sering berada di belakang layar, ketimbang muncul sebagai bintang di atas panggung atas semua kerja-kerja kesenian dan kemanusiaannya.

Bagaimanapun, sebagai perupa perempuan yang hidup dalam kultur yang sangat patriarkal, tidaklah mudah untuk membangun karir sebagai seorang perupa, sekaligus menjadi istri dan ibu. Tita harus berkerja berkali-kali lipat lebih keras untuk menjalankan semua peran itu dan berjuang untuk mempertahankan identitas dan jati dirinya. Namun ada kalanya, ia biarkan dirinya lepas begitu saja dan memberi ruang bagi orang lain untuk melihatnya secara berbeda. Saat dimana saya melihat dirinya yang suatu saat bisa lelah, tak berdaya dan secara intens lebih banyak lirih bicara pada dirinya sendiri.

Sebagai teman, saya belum pernah melihatnya menangis, namun berkali-kali saya dibuatnya menangis haru, saat sosoknya yang keras itu memperlihatkan sisi kesabaran dan ketabahannya sebagai seorang istri juga kelembutan dan kasih sayangnya sebagai seorang ibu bagi dua gadis ciliknya, Carkultera Wage Sae Gendis Genclang Hatena Wage Sae; serta kerelaannya sebagai seorang sahabat.

Tita yang saya kenal tak bisa duduk tenang jika ada pekerjaan yang belum ia selesaikan, apapun itu pekerjaannya. Mulai dari pekerjaan rumah sampai advokasi untuk kebebasan berekpresi dan mengemukakan pendapat. Kadang Akum putri sulungnya mengeluh,"ibu ini sibuk terus sih.." Namun begitulah cara tita menjaga semangatnya.

Dalam 'Kisah Tanpa Narasi', saya mengenali Tita yang sedang berubah. Tita yang bertransformasi menjadi survivor untuk menapaki jalan menuju garis horizonnya. Kadang horizon itu baginya seperti kisah tanpa narasi, tak terlalu penting apapun narasinya yang paling penting baginya adalah bersetia kisahnya pada harapannya, karena itu yang senantiasa membuatnya terus melangkah, menapaki proses kekaryaan dan kehidupannya.


she's on the horizon... i go two steps, she moves two steps away. i walk ten steps and the horizon run ten step ahead. no matter how much i walk, i'll never reach her. what good is utopia? thats what: it's good for walking

- Eduardo Galieno-

***
Tarlen Handayani, tantenya akum dan gendis..

Tulisan ini untuk postkatalog pameran tunggal Titarubi 'Kisah Tanpa Narasi',
Cemeti Art House Yogjakarta, Mei 2007

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah