Skip to main content

Ruang Alternatif atau Alternatif Ruangan?


'Stairs of Valentine Willy Gallery, KL, MY' pic by tarlen 2007

Refleksiku tentang impian bersama atau kepentingan bersama, membawaku pada diskusi menarik dengan banyak teman tentang ruang alternatif. Diskusi tentang ruang alternatif ini sebenarnya telah berlangsung sejak setahun lalu saat alumni workshop kuratorial membuat gulali project yang banyak mendiskusikan tentang situasi dan kondisi ruang alternatif di beberapa kota terutama Bandung, Yogja, Jakarta. Malahan pas artepolis, kami sempat berdiskusi dengan mba ririn dan mas apep (keduanya adalah profesional urban desainer) tentang masalah ini.

Saat itu, masalah yang mencuat adalah persoalan manajemen operasional yang menjamin kelangsungan hidup dan juga tentang persoalan harga ruang yang sangat mahal seperti yang dialami beberapa teman di Bandung. Namun dengan apa yang kualami beberapa waktu yang lalu, persoalan ini kemudian menjadi persoalan yang bagiku perlu di kaji kembali. Pertemuanku dengan, Iwang CYS, Sujud D., Elida, Goro, OQ, membuka kesadaran baru tentang persoalan ruang alternatif ini. Dan kesadaran itu menurutku dan juga banyak teman, sebenarnya sangat mendasar.

Apakah yang disebut sebagai ruang alternatif itu benar-benar sebuah alternatif? Dalam artian sebagai alternatif wilayah bermain baru yang lahir dari keterbukaan atas perspektif yang berbeda dan interaksi yang intens untuk kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran yang baru dan karya-karya yang berbeda? Seperti halnya sebuah akulturasi budaya yang kemudian melahirkan produk kebudayaan yang sama sekali baru namun tetap 'alternatif' dalam arti dia bukan counter hegemoni karena tak akan pernah menghegemoni, namun keberadaannya menjadi penting sebagai jejak pemikiran dan karya (Gambang Kromong misalnya). Ataukah alternatif disini menjadi sekedar 'alternatif ruangan' ketika ruangan lama sudah sedemikian sesak, kemudian pindah keruangan baru untuk meneruskan pola-pola interaksi dan pemikiran yang sudah ada? Gejala ini kalau kuamati sering terjadi saat proses counter hegemoni dilakukan, malah berubah menjadi hegemoni baru.

***

Mari kita mulai membahasnya dari sisi ruang alternatif sebagai wilayah multidisplin. Dan mari kita lihat lebih jauh lagi wilayah multidisiplin dari perspektif ruang alternatif sebagai counter hegemoni yang melahirkan hegemoni baru. Persoalan yang kemudian disoroti dari perspektif ini adalah latar belakang disiplin ilmu setiap orang yang menjadi elemen dari wilayah multidisiplin tersebut. Mengapa hal ini jadi persoalan? Selama ini, setiap disiplin ilmu terkurung begitu kuat dalam sekat dan kotaknya masing-masing. Interaksi lintas bidang kemudian menjadi hal yang tidak mudah untuk dilakukan (meskipun bukan pula hal yang mustahil). Sebagai contoh, aku dibesarkan dan di disiplinkan pikiran dan tindakanku dalam disiplin ilmu komunikasi. Ketika aku membuat sebuah program atau interaksi dengan orang lain. Secara tidak sadar (karena itu telah melekat), aku akan didisiplinkan dengan persoalan elemen mendasar dari komunikasi: pesan, komunikator, audience, feedback, medium. Karena yang paling penting dan mendasar dari disiplin komunikasi adalah bagaimana kamu menyampaikan pesan tersebut. Komunikasi dianggap tidak berhasil ketika pesan tidak berhasil aku sampaikan. Karena komunikasi kemudian mendisiplinkan aku dan membentuk perilakuku, ketika membuat apapun sebagai sebuah proses komunikasi. Aku akan menghitung siapa yang aku ajak bicara, bagaimana pesan itu harus disampaikan dan di kemas, feedback seperti apa yang aku harapakan dari orang yang aku ajak bicara, ketika aku membuat program di ruang yang alternatif itu. Karena program yang merupakan penjabaran dari visi dan misi itu adalah pesan yang harus kukomunikasikan dengan target audience. Sementara itu, komunikasi sebagai salah satu disiplin ilmu sosial memiliki karakter yang cair dan dibangun oleh koneksinya dengan disiplin ilmu sosial yang lain. Itu sebabnya ilmu komunikasi memiliki sifat yang general dan bisa menyusup kedalam disiplin ilmu apapun.

Sementara dalam ruang alternatif, disiplin komunikasiku itu akan bertemu dengan disiplin lain yang lebih rigid. Seni atau sains (mengacu pada sistem pendidikan kedua disiplin tersebut di Indonesia) misalnya, yang mendisiplikan orang-orang yang memilihnya dengan cara yang berbeda dengan cara komunikasi yang mendisiplinkanku. Pertemuan ini yang awalnya dimaksudkan untuk membuka sekat antar disiplin dan memperluas koneksi antar disiplin, seringkali malah menjadi medan pertempuran antar disiplin itu. Mengapa medan pertempuran? karena ruang alternatif seringkali dimaksudkan sebagai counter hegemoni yang bertempur untuk menjadi hegemoni baru. Alih-alih sekat-sekat terbuka dan koneksi antar bidang terjadi, malahan disiplin yang satu memperlakukan disiplin yang lain sebagai koloni-koloni yang harus ditaklukan. Karena penaklukan itu menjadi syarat untuk melahirkan hegemoni baru. Selama ini, menjadi alternatif seringkali tidak diikuti dengan mencari makna dan definisi baru dari pertemuan multidisiplin itu. Definisi yang lahir seringkali ditentukan oleh pihak yang mendominasi dengan menghapuskan identitas disiplin lain yang didominasi atau dikuasainya. Karena disiplin ilmu yang rigid ini dikondisikan oleh sistem pendidikan di Indonesia sebagai disiplin yang kaku dan menutup diri pada interaksi dengan disiplin ilmu yang lain. Ketika dua karakter disiplin ilmu ini bertemu (yang satu rigid dan yang satu sangat cair), benturan dan persoalan muncul. Pola interaksi yang muncul adalah menguasai dan dikuasai seperti koloni-koloni yang harus tunduk pada satu kontrol politik yang mendominasi. Akhirnya ruang yang semestinya melahirkan 'alternatif baru' hanya berfungsi sebagai ruangan baru dengan konten lama.

Sementara jika kita melihat wilayah multidisiplin dari perspektif ruang alternatif sebagai wilayah baru yang menjadi persemaian, lahirnya varietas baru atau bisa juga dibaca sebagai lahirnya definisi baru yang dibesarkan dan dibangun oleh multidisiplin itu. Perspektif ini menurutku cukup ideal untuk mewakili sebagai sebuah konsep alternatif. Namun konsekuensi logisnya adalah definisi baru harus lahir secara organik dan muncul atas kesadaran bahwa ada kepentingan bersama yang diperjuangankan. Kesadaran ini mengandung konsekuensi pula bahwa butuh ruang yang besar juga untuk toleransi pada waktu, perbedaan karakter dari setiap multidisiplin, juga ruang untuk kesalahan ketika hipotesa itu perlu diperbaiki karena tidak sesuai dengan apa yang kita temukan di lapangan, serta garis demarkasi yang jelas antara wilayah yang baru dan yang lama.

Ruang alternatif dalam perspektif ini seperti laboratorium uji coba untuk menemukan hal baru. Semua multidisiplin berbagi kekuasaan atas egonya berdasarkan kapasitasnya masing-masing. untuk melakukan uji coba bersama sesuai dengan disiplin ilmu yang membesarkannya dalam rangka mencapai tujuan yang pada telah disepakati bersama. Dalam perspektif ini pula, tujuan bukanlah harga mati yang tak bisa ditawar, karena bobot nilai dari tujuan itu senantiasa berubah dan sangat tergantung pada proses yang berlangsung. Seperti sebuah cerita berantai yang disusun oleh semua yang terlibat paragraf per paragraf. Semua mendapat giliran. Namun giliran pertama sulit untuk menebak akan jadi seperti apa cerita di paragraf terakhir. Barulah setelah sepakat selesai, cerita bisa dibaca secara utuh. Seperti menggabarkan kepribadian seseorang setelah kematiannya. Bisa lebih lengkap karena hidupnya telah selesai.

***

Ku pikir, perspektif memandang ruang inilah yang kemudian menentukan, ruang ini kemudian akan dijalankan dengan sistem seperti apa dan pemimpin seperti apa yang dibutuhkan kemudian. Bagaimana persoalan-persoalan pragmatis organisasi yang mengisi dan mengelola ruang tersebut diselesaikan, sangat ditentukan oleh perspektif ini.

Perspektif ruang alternatif sebagai kumpulan koloni yang dikuasai, tentunya akan menuntut sebuah sistem yang kaku, sentralistik dan rigid. Pemimpin kelompok menjadi figur yang paling menonjol dan menentukan hidup matinya ruang tersebut. Gaya kepemimpinan seperti ini cenderung melahirkan pemimpin yang one man show, high profile dan tidak merakyat. Karena jarak psikologis antar individu menjadi penting untuk mempertahankan praktek dominasi. Ruang Alternatif itu kemudian akan didefinisikan sesuai dengan figur pemimpinnya. Meski inisiatif masih bisa di akomodasi, namun inisiatif mana yang kemudian direspon dan didukung ruang sangat ditentukan oleh selera dari si pemimpin. Tugas dan tanggung jawab dalam ruang berprespektif seperti ini, seperti tuan tanah dan petani penggarap. Apapun yang ditugaskan oleh tuan tanah hendaknya dilaksanakan oleh petani penggarap. Rasa memiliki menjadi rendah, karena kesuksesan kerja cenderung dinikmati oleh pihak yang dominan daripada yang didominasi. Kelangsungan hidup pada akhirnya jadi sangat bergantung pada selama apa dominasi itu bertahan. Jika ada proses pergantian kekuasaanpun, pola yang sama akan kembali berulang dan pada akhirnya menjadi siklus yang berulang.

Pada perspektif ruang alternatif sebagai ruang eksperimentasi bersama, justru menuntut sistem pengelolaan yang cair dan peka pada perubahan. Semua individu yang terlibat memiliki pengaruh dan suara yang sama besarnya sesuai dengan minat dan keahliannya masing-masing. Pemimpin yang dibutuhkan adalah yang dapat berperan sebagai fasilitator dan jembatan yang dapat menyambung-nyambungkan berbagai kepentingan yang ada di dalamnya. Pastinya pemimpin seperti ini, haruslah sosok yang sangat membumi, mudah di jangkau, bijaksana dan memiliki kemampuan zoom in zoom out ketika menghadapi persoalan. Pemimpin seperti ini adalah negosiator ulung yang mampu membuat setiap orang yang diwakilinya terlayani kepentingannya dan sadar akan komitmen serta tanggung jawabnya. Pastinya pemimpin seperti ini, rela berada dibelakang layar dan muncul terakhir ketika pertunjukan usai. Pergantian kekuasaan menjadi hal biasa, karena setiap individu yang terlibat di dalamnya kemudian memiliki hak dan kesempatan yang sama besar untuk menjadi pemimpin. Warna Ruang kemudian menjadi colorful karena setiap orang bisa menampilkan warnyanya. Harmoni dan komposisi menjadi proses yang dipelajari bersama. Karena harmoni dan komposis kemudian menyangkut rasa keadilan yang dirasakan bersama.

***

Bagiku proses perenungan ini penting sekali untuk dicatat. Setiap moment reflektif yang melahirkan kesadaran baru seperti menambahkan halaman baru pada buku besar kehidupan yang tengah kujalani. Yang jelas ketika memimpin diriku sendiri dan menjadikan diriku sebuah alternatif yang berwarna, aku ingin jadi orang yang rela lebih banyak di belakang layar dan muncul belakangan jika diperlukan.

Aku mencatat ini karena jika aku lupa, aku akan membuka catatan ini kembali.

Ngadinegaran, YK, 31 mei 2007

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah