Bagi keluarga-keluarga yang hidup di kota besar seperti Bandung, televisi bukan lagi menjadi barang mewah. Televisi senantiasa hadir dan menjadi bagian dari kehidupan keseharian. Aneka program tontonan yang masuk ke ruang-ruang keluarga, kemudian ikut menentukan pola interaksi antar anggota keluarga. Tak jarang pula menonton televisi menjadi saat yang justru menyatukan anggota keluarga.
Apa yang dilakukan keluarga Andar Manik, mungkin tidak banyak dilakukan oleh keluarga lain. Sejak sebulan terakhir ini, keluarganya memutuskan hidup tanpa televisi. Meski sempat mendapat protes dari anak bungsunya, Gilang yang baru berumur 10 tahun dan duduk di bangku kelas 4, bapak tiga anak _ Gita, Bintang dan Gilang_ tetap pada keputusannya untuk memutuskan saluran televisi yang ada di rumahnya. "Bukan karena saya tega sama anak, justru karena saya ngga tega melihat anak saya membeku di depan televisi," jelas suami Marintan Sirait ini. "Yang saya kawatirkan adalah efek dari kecanduannya, ketika ada di depan televisi, dia jadi tersedot dan pasif tidak melakukan apa-apa," ungkap Andar. "Juga yang tak kalah berbahaya, ketika dia percaya kalau apa yang ada di iklan itu adalah suatu kebenaran," tambah Marintan.
Sebagai orang tua, Andar dan Marintan pun harus merelakan diri untuk tidak lagi menonton tayangan yang mereka sukai di televisi. Meskipun demikian, pasangan yang juga mendirikan Jendela Ide_lembaga kreatifitas anak dan remaja ini, cukup sabar menghadapi 'kerungsingan' anak mereka ketika televisi tak lagi bisa di tonton. "Lama-lama dia mulai cari kegiatan lain, memelihara ikan di aquarium, belajar memasak, lagi pula liburan kemarin ada program liburan di Jendela Ide, jadi dia cukup sibuk dengan semua kegiatan itu," kata Andar.
Sementara itu, Sahala, Dosen Fikom Unpad, sempat hidup tanpa televisi ketika anak pertamanya lahir pada tahun 1985. " Keputusan itu saya buat dengan kesadaran, karena saya ingin menanamkan kebiasaan membaca pada anak saya. Malah anak saya yang sulung itu, waktu TK sudah lancar membaca dan itu jadi kebiasaan sempai dia besar," jelas Sahala. Untuk itu Sahala tidak pernah membatasi anggaran untuk membeli buku bagi anak-anaknya. " Sekarang saja setelah mereka besar, mereka bisa beli sendiri," ungkap bapak tiga anak ini.
Namun hidup tanpa televisi, berakhir saat anaknya mendapat ejekan dari teman-teman sekolahnya karena tidak pernah menonton televisi. "Karena itu dia merengek sama ibunya minta di belikan televisi dan ibunya bujuk saya. Jadinya saya tidak tega juga." Meski sekarang televisi hadir kembali hadir kembali dalam kehidupan keluarga Sahala, namun kegiatan menonton televisi hanya menjadi kegiatan selingan. "Anak-anak punya banyak kegiatan di kampus mereka," jelas Sahala. Anak sulungnya, menurut Sahala selain senang membaca, juga ikut kegiatan band dengan teman-teman kampusnya. Sementara anak keduanya aktif di himpunan mahasiswa Matematika ITB dan anak bungsunya bergabung dengan tim paduan suara Unpar,
***
Bukan hal yang mudah untuk lebih selektif memilih program tayangan televisi yang layak ditonton oleh anak-anak. Selama ini tidak banyak program televisi untuk anak-anak yang cukup mendidik. Jika ada kemasannya tidak mampu membuat duduk dan menontonnya. Sementara televisi berlangganan yang menawarkan pilihan-pilihan program yang lebih baik, masih dianggap terlalu mahal biaya berlangganannya.
Menghentikan kebiasaan menonton televisi pada anak-anaki menurut Sahala, butuh keberanian dari orang tua untuk melakukannya. Orang tua tidak bisa begitu saja melarang anaknya menonton televisi tanpa orang tua sendiri bersedia menghentikan kebiasaan itu bagi diri mereka sendiri.
Andar Manik sendiri melihat persoalan kecanduan masyarakat terhadap televisi lebih jauh, sebagai cerminan ketidak mampuan para pengelola pemukiman untuk menyediakan aktivitas di luar rumah bagi warganya. " Apalagi di kompleks-kompleks pemukiman di kota-kota besar, dimana orang lebih senang membiarkan anak-anaknya menonton televisi daripada bermain di luar.
Ketidak mampuan ini juga karena lingkungan sosial saat ini tidak dapat memberikan jaminan rasa aman ketika berinteraksi di luar rumah," jelas Andar. "Perasaan tidak aman dari para orang tua yang akhirnya menjerumuskan anak-anak kepada kebiasaan menonton televisi." Itu sebabnya menurut Andar yang juga aktif di banyak kegiatan sosial dan kemasyarakatan, komunikasi di antara masyarakat sendiri tidak lagi cair. "Kita sekarang lebih bisa berempati pada penderitaan orang-orang yang kita lihat di televisi daripada tetangga sebelah rumah sendiri. Karena ruang-ruang dimana kita dengan tetangga sekitar rumah bisa bertemu dan berkegiatan bersama, semakin tidak ada. Makanya masyarakat kita sekarang mudah tersinggung. Karena ruang-ruang yang bisa mencairkan kebekuan komunikasi itu semakin tidak ada. Kondisi ini yang kemudian dimanfaatkan televisi untuk masuk menggantikan kebutuhan itu."
***
Persoalan kebiasaan menonton televisi ini ternyata bukan semata-mata membatasi tontontan dan dampaknya terhadap anak-anak, namun keberanian untuk membuka sekat-sekat kebuntuan komunikasi dalam lingkungan keluarga, menjadi persoalan yang tidak kalah penting untuk diselesaikan. **
Tulisan ini di muat di Pikiran Rakyat, 20 Juli 2007
Comments
Dia tidak suka. Kewajiban mendidik anak itu tanggung jawab orang tua, bukan televisi, apa jadinya kalo orang tua sendiri menyerahkan anaknya ke televisi yang benda mati?!?!
Sebagai aksi, dia menggorganisir beberapa orang pemuda dan menghidupkan kembali kegiatan di mesjid untuk anak-anak. "setidaknya" katanya, "anak-anak gak dicekokin lagi ama infotainment, udah banyak manusia tukang ngomongin orang di Indonesia, gak usah ditambah lagi"