Skip to main content

Heart Sweet Heart My New Heart


Christina's World, by Andrew Wyeth

Jika diumpakan, hatiku ini seperti sebuah rumah berkamar-kamar. Ada kamar utama, kamar tamu, kamar mandi, dapur, teras belakang, halaman depan, tempat kerja dan ruang-ruang lain yang fungsinya masih belum terdefinisikan dengan jelas. Sebagai sebuah rumah, tentunya rumah itu butuh pondasi yang kuat, bentuk yang artistik, serta pembagian ruang yang sistematis bergantung kebutuhan. Tujuannya tentu saja untuk membuat penghuninya merasa nyaman tinggal di dalamnya.

Sebagai sebuah rumah, ku bayangkan hatiku itu seperti Little House on the Prairie, kecil di tengah padang rumput yang luas. Leluasa untuk bergerak, namun hangat dan nyaman untuk berlindung saat badai menerjang. Aku tak suka rumah yang besar dan megah. Karena kemegahan sering kali tak mencerminkan kehangatan. Aku lebih memilih rumah mungil, tidak besar, dengan barang-barang yang sederhana saja tapi fungsional, ada sentuhan kerajinan tanganku pada setiap detail ruangnya karena aku senang memberikan sentuhan personal pada ruang yang kutempati. Dari rumah mungilku itu, ada satu bagian ruang tempatku menyendiri, tempat dimana aku bisa merenungi diriku, hidupku, asaku, sedihku, lukaku, seperti sudut lemari di masa kecilku, tempatku bersembunyi saat sedih dan gundah.

***

Pada kenyataannya, hatiku yang mungil, sederhana dan fungsional itu, tidak dihanya dihuni oleh diriku sendiri. Aku harus berbagi ruang dengan orang-orang yang melengkapi hidupku sesuai dengan fungsinya. Aku sempat membahas ini dengan beberapa temanku tentang pembagaian ruang hati. Bisakah hati itu dibagi, di kavling-kavling? Bagaimana menentukan ruang yang kemudian paling spesial dan biasa-biasa saja dalam hatiku? Siapa pula yang bisa jadi permanen residen atau penghuni sambil lalu?

Aku mulai berpikir tentang hati yang berkavling-kavling ini saat aku menyadari, bahwa dalam hidup ini aku tak bisa merasa sebagai satunya pemilik atas apapun di dunia ini. Aku mesti bisa merelakan ketika yang kupikir aku miliki itu hilang pergi dari diriku dan memaknai apa yang masih ada dalam diriku. Hatiku itu sesungguhnya perlu terus menerus mengalami revitalisasi fungsi, seperti sebuah bangungan bersejarah yang fungsinya perlu terus menerus di perbaharui untuk mengikuti pergerakan waktu, tanpa kehilangan karakter dan kepribadiannya.

Untuk sampai pada kesadaran itu, aku pernah sangat sibuk menjaga kamar-kamar hatiku yang telah kosong itu untuk tidak dimasuki oleh yang lain. Karena aku tak ingin jejak penghuni lamanya hilang begitu saja. Seolah-olah aku tak mau mengubah posisi apapun dalam ruang itu karena aku tak ingin jejak penghuni lamanya hilang. Sampai akhirnya aku membiarkan kamar itu kosong, berdebu, penuh sawang dan akhirnya berhantu. Karena ternyata untuk merawat ruang kosong itu seperti layaknya sebuah museum, aku juga ga punya cukup sumber daya.

Akhirnya penghuni lama lantas tak hanya saja menyimpan jejak dirinya dalam kenangannya disitu, tapi kemudian jejaknya kubiarkan menjadi hantu dalam hidupku. Lalu aku menjadi sibuk bergelut dengan ketakutan-ketakutanku menghadapi hantu-hantu kamar penghuni kavling-kavling hatiku itu. Parahnya lagi, kesibukan dengan para hantu kamar itu, membuatku lupa pada para penghuni lain yang masih tinggal atau penghuni baru yang membutuhkan ruang di hatiku yang sesungguhnya bisa ku persilahkan masuk.

Ketika sampai pada kesadaran bahwa hantu-hantu itu tak bisa selamanya mengganggu hidupku, kamar-kamar kosong itu mesti ku bereskan dan kutata ulang. Difungsikan kembali sesuai dengan konteks dan kebutuhan, berusaha membuat nyaman penghuni-penghuni lain yang selama ini tinggal dan juga membuka kemungkinan bagi penghuni baru untuk masuk.

Lantas hantu-hantu itu mungkin tidak sepenuhnya pergi. Ia menetap di ruangnya, melesap dalam pori-pori tembok kamar hatiku. Memberi aura dan menciptakan ambiance yang khas ketika penghuni baru masuk dalam kamar itu. Hawa penghuni lama yang lambat laun akan bercampur dengan hawa penghuni baru, karena tak ada hawa yang benar-benar steril. Yang menyesuaikan diri bukan cuma aku si pemilik hati, tapi juga para penghuninya tentu saja. Meski ruangannya di tata ulang, tapi biasakan jika ada foto-foto penghuni lama masih tergantung di didingnya. Foto yang kadang sengaja dipajang untuk menyimpan jejak bahwa sebelumnya ruang itu pernah ada penghuninya. Seperti menghuni bangungan tua yang menyimpan banyak cerita dan kisah, mesti siap menerima kesejarahan termasuk juga hantu-hantunya.

***

Dan sekarang rumah hatiku itu sedang mengalami revitalisasi. Ada gempa beberapa waktu lalu yang membuat bangun hatiku berantakan. Proses rekronstruksi di atas pondasi baru telah dilakukan. Rumah baruku itu sudah selesai dibangun. Namun aku merasa rumah baruku itu kering dan sepi. Banyak jejak yang kemudian terhapus. Aku butuh kisah baru, lembar baru dan chapter baru di rumah baru. Biar rongga pori-porinya terisi oleh hawa penghuni baru di antara hawa-hawa penghuni lama yang samar-samar tersisa. Jejak foto-foto lama yang tersisa yang terkais dari reruntuhan bekas gempa lalu tentunya tetap kan kupajang dengan bingkai yang baru, karena bingkai lama sudah tak sesuai lagi dengan betuk bangunan baru.

Semua kemudian terasa baru..
hatiku itu...
caraku melihatnya..
caraku merasakannya..
caraku memaknainya..
caraku dengan para penghuninya..
hati baru.. cara baru..
semoga ada kenyamanan baru di dalamnya..
selamat datang hatiku yang baru..

aceh 56

Comments

Anonymous said…
Menurut saya hati itu terkadang tak sekedar kamar-kamar, mbak, namun juga penuh lika-liku bak labirin yang panjang. Masalah yang datang kadang membuat hati kita seakan tersendat, tak tentu arah, bahkan menjumpai jalan buntu, sulit mencari jalan keluar.

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah