Skip to main content

Surat Buat Ibu

karya titarubi

Ibu,
setelah kejadian kemarin, sulit bagi saya untuk bisa menerimanya begitu saja. karena bagi saya, kejadian kemarin itu mematahkan diri saya..
Begini ibu, terserah ibu apakah ibu menganggap saya memahami hidup ibu atau tidak. tapi yang jelas saya ingin ibu tau sejelas-jelasnya.. saya sudah ngga tahan lagi dengan sikap ibu yang selalu keras pada diri ibu sendiri. sikap ibu yang selalu merasa hidup sendiri, sikap ibu yang menganggap semua beban kehidupan ini, ibulah yang paling berat menanggungnya. saya sudah bosan dengan sikap ibu yang seperti itu. menyakitkan ya mendengar saya bicara seperti ini pada ibu? maaf kan saya.. tapi saya pada akhirnya terpaksa bersikap keras pada ibu untuk membuat ibu menyadari hal itu.

Ibu tau, sikap keras ibu itu bukan hanya melukai diri ibu sendiri.. tapi juga anak-anak ibu.. terutama saya bu... sikap ibu yang keras itu membuat ibu sulit saya raih bu... ibu ada di dekat saya.. tapi mengapa begitu sulit bagi saya untuk menjangkaunya... kenapa hidup terasa begitu sulit buat ibu? apa karena ibu belum bisa berdamai dengan masa lalu yang sulit itu? setiap orang bahkan saya setiap hari berjuang berdamai dengan masa lalu... berdamai dengan hal-hal yang mengecewakan dalam hidup saya.. karena saya sadar dari 1000 hal yang membuat kecewa ada berjuta-juta hal yang membuat saya merasa bahagia..
mengapa harus terus menerus meratapi hal-hal yang membebani ibu, sementara banyak hal-hal yang menyenangkan terabaikan... cobalah melihat lebih banyak hal-hal yang membuat ibu gembira daripada terus menerus berkubang dalam hal-hal yang membuat ibu sedih..

keinginan terbesar saya pada ibu adalah ketika ibu mati, ibu merasa bahagia dengan hidup ibu, meskipun ibu belum pergi haji... meskipun anak-anak ibu belum menikah... karena toh kami meski belum menikah tetap saja bisa merasakan bahagia...
ibu temukan bahagia itu dalam diri ibu, hanya ibu yang bisa memutuskan apakah ibu bahagia atau tidak. kebahagiaan ibu tidak bergantung pada kami anak-anak ibu. kebahagiaan ibu tidak bergantung pada teman-teman ibu yang menilai hidup ibu berhasil atau tidak... kebahagiaan ibu tidak bergantung pada puja-puji anggota pengajian kepada ibu... sekali lagi maaf kalau saya terlalu sinis mengatakan ini.. kebahagiaan ibu sangat bergantung pada bagaimana cara ibu sendiri memandang kami, anak-anak ibu dan kehidupan ibu sendiri. susah senang dalam hidup ini sesungguhnya sangat bergantung bagaimana cara kita memandangnya dan menerimanya... bukankah dengan demikian kita bisa menemukan arti syukur yang sesungguhnya...

saya menyesal mengapa harus dengan cara seperti ini hal ini kita bicarakan.. tapi mungkin memang ini cara bicara yang kita kenal... karena tanpa kita sadari masing-masing dari kita pada akhirnya memang sangat keras pada diri sendiri.. tanpa sadar bahwa sikap itu melukai banyak orang...
saya tidak menuntut ibu lebih dari apa yang telah ibu beri pada saya.. tapi atas nama kasih sayang saya pada ibu, saya memohon ibu bisa lebih lunak pada diri ibu sendiri agar ibu menemukan bahagia yang bersumber dalam diri ibu sendiri...bukan pada orang lain yang menilai hidup kita... Ibu telah memberi saya kekuatan untuk menemukan diri saya sendiri.. menjadi diri sendiri, ibu telah memberi saya, dan saudara-saudara saya yang lain untuk hidup tidak didikte oleh orang lain.. tidak ngikutin umumnya orang... jadi mengapa sekarang ketika kami berhasil menjadi diri sendiri dan terlihat berbeda dari orang lain, ibu merasa gelisah...? tidak semua orang tua berani membiarkan anak-anaknya menjadi dirinya sendiri dan menjadi berbeda.. dan saya sangat sangat bersyukur karena saya punya ibu yang berani melakukan itu...

tak ada kehidupan yang sempurna.. tak ada manusia yang sempurna begitu ibu selalu mengatakan itu kepada saya.. bagi saya ibu adalah ibu yang terbaik yang saya dapatkan meski ibu jauh dari sempurna.. dan saya sangat bersyukur lahir dari ibu seperti ibu... dan saya yakin ibu telah memberikan yang terbaik kepada anak-anak ibu.. masalah tanggung jawab ibu atas anak-anak kepada Allah ada porsinya... Ibu telah berusaha yang terbaik dan Allah tahu itu bu... biarkan kami anak-anak mulai belajar bertanggung jawab terhadap hidup kami baik kepada ibu, keluarga, lingkungan sosial dan juga kepada Allah dengan demikian ibu mengajarkan kepada kami untuk menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab...

saya yakin ibu juga pasti bisa menemukan kebahagiaan sejati dalam diri ibu... bukan kebahagiaan yang ditentukan kerana ibu telah menyandang predikat haji atau anak-anak bekerja secara mapan atau kerena anak-anak semua sudah menikah... bukan itu bu... tapi ibu bahagia dengan apa yang telah ibu jalani dalam hidup ini.. kebahagiaan yang bukan berdasarkan standar duniawi... (seperti yang selalu ibu katakan tentang kebagiaan dunia akhirat)... apa artinya bahagia di akhirat, jika kita tak bisa menemukan makna kehidupan yang kita jalani selama di dunia...sesudah kesulitan pasti ada kemudahan sesudah kesedihan pasti ada kebahagiaan.. itu janji Allah pada kita umatnya.. dan saya percaya itu... dengan semua kesulitan hidup yang pernah ibu rasakan dan jalani... ada kebahagiaan besar dalam diri ibu yang mungkin belum sepenuhnya ibu sadari... temukan itu bu.. sebelum selesai kehidupan ini...


kesadaran inilah yang membuat saya terus berjuang untuk menemukan kebahagiaan itu meski harus melalui banyak rintangan... saya hanya bisa berjuang menemukannya... soal kebahagiaan seperti apa yang bisa saya temukan, sepenuhnya adalah hak Allah... karena kebahagiaan itu seringkali datang dengan cara yang tidak disangka-sangka.. penuh kejutan dengan bentuk yang berbeda-beda... kadang kita tidak mengenalinya... justru saya kira tugas kita sebagai manusia di dunia ini adalah menyadari kebahagiaan yang berbeda-beda itu.. dengan demikian kita bisa senantiasa selalu bersyukur.. karena dalam kesusahan seberat apapun pasti ada bahagia..

Allah sangat menyukai orang-orang yang bahagia bu.. karena itu, Allah memberi kebebasan kepada kita untuk mencari jalan menemukanNya..
apapun pandangan ibu tentang saya setelah membaca surat ini, saya akan menerimanya dengan hati terbuka..sebaik dan seburuk apapun itu... saya berusaha mengungkapkan perasaan saya dengan jujur.. saya tidak mau menyembunyikannya dari ibu.. saya justru lega bisa mengatakan ini pada ibu.. siapa tau saya yang lebih dulu dipanggil oleh Allah... jika saya mati lebih dulu saya ingin mati tanpa penyesalan dan dengan bahagia ...salah satu yang membuat saya bahagia adalah ketika saya bisa jujur pada diri saya sendiri...

dan jangan pernah lagi mengatakan bahwa saya bisa hidup tanpa ibu... jangan pernah bu.. karena itu menyakiti hati saya...


salam sayang,
t

****

Lalu ibuku memelukku, berkata "jangan tinggalkan Ibu... Ibu akan berusaha memahamimu... Jangan tinggalkan ibu.. "
Aku mendekapnya.. dan bilang "ngga bu, aku ngga akan pernah ninggalin ibu.."
dalam hati aku berbisik lirih padanya: "aku hanya ingin meraihmu bu.. dan mengisi hatiku dengan hatimu..."

Untuk ibu tempat sauhku berlabuh..

Comments

Anonymous said…
sangat menyentuh....

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah