"Apakah Tuhan membiarkan hambanya mencapaiNya dengan mengabaikan hambanya yang lain?" Sebuah pertanyaan yang muncul di tengah perbincangan akrab kami_aku dan seseorang yang spesial dan banyak membuatku tersadar 'everyday is a new day'. Ia mengajarkanku bagaimana mengalami kota tempat tinggalku. Ini kali kedua kami sarapan pagi di tempat yang sama-sama kami suka_Warung Kopi Purnama. Tempat dimana interaksi komunitas sangat terasa. Di sana dan kami bisa mengamati setiap pelanggan yang datang dan duduk di tempatnya. Sama seperti kami yang untuk kali kedua duduk di meja yang sama dan dengan posisi duduk yang sama.
Pembicaraan soal spiritualitas di pagi hari, di antara hiruk pikuk Purnama yang ramai dengan pengunjung. "Rasanya umat mayoritas ini merasa insecure, sehingga harus selalu berteriak, terus menerus minta dimengerti dan tidak lagi cukup toleran pada sekelilingnya, atau kah ini cerminan kerinduan spiritual yang dalam dan tak tergapai?" lontarnya di tengah seruputan kopi dan telur setengah matang. "Ya, sangking keterlaluan rindunya sampai ga tau gimana menggapai Tuhan, akhirnya frustasi, marah-marah dan menyalahkan semua orang," aku menimpalinya. Kami memang sama-sama terganggu dengan situasi ini, dimana beragama menjadi sesuatu yang mengerikan dan penuh ketegangan. Kami merindukan semangat cinta kasih dan besar hati untuk toleran pada perbedaan itu.
"Keseharian itu penting, kualitas keimanan seseorang menurutku diukur dari bagaimana keseharian itu dijalani," katanya lagi. Kami berdua sama-sama percaya pada keseharian yang dijalani dengan kebaruan. "Jika untuk mencapai Tuhan, aku mesti mengorbankan saudaraku sendiri (dengan mengabaikannya), aku lebih baik tidak sampai kesana," mimiknya tampak sungguh-sungguh. Aku tersenyum. "Kayanya Tuhan ga seegois itu deh, hanya karena Ia ingin didekati hambaNya, terus memperbolehkan hambanya dengan berbagai macam cara.." Giliran dia yang tersenyum... "Iya.. aku percaya itu.."
Seruput- seruput. Aku susu murni. Dia kopi. Sisa-sisa telur setengah matang dan roti telur mata sapi masih ada. Kami kembali menelusuri sekeliling. Seperti mengabsen para pelanggan yang biasa muncul di minggu pagi. Ada beberapa yang baru kami lihat minggu ini dan tidak di minggu lalu.
"Apa artinya atribut penanda identitas, jika itu hanya menciptakan jarak dan menjadi pembeda bahwa yang satu lebih beriman daripada yang lain? jangan-jangan itu cerminan krisis identitas," kegelisahannya kembali muncul. "Apakah aku yang berpenampilan seperti ini.." katanya sambil menunjuk pada polo shirt E-Sprit dan sweater coklat Lacoste yang dia pakai, ".. menjadi kurang beriman, di banding dengan semua yang bersorban itu?" Sebuah pertanyaan yang menyadarkan adanya jarak saat keyakinan kami kemudian dibedakan oleh atribut dan perbedaan pemahaman ritual. Bagi kami, ritual adalah upaya pendisiplinan dan bukan tujuan akhir yang bisa beranak pinak menjadi tujuh kali lipat imbalannya. Pendisiplan diri untuk sadar dan rela atas keyakinan yang kami anut. Kerelaan dan kesadaran itulah yang membuat kami nyaman dan feel secure dengan jalan spiritualitas kami.
"Kenapa keyakinan itu tidak termanifestasikan dalam kepedulian pada hal-hal kecil dan sehari-hari? bagaimana dalam keseharian memperlakukan sampah, berkontribusi pada hal-hal kecil disekitarnya.." dia terlihat semakin semangat dengan persoalan keseharian ini. "mungkin dalam benak banyak umat, manifestasi keimanan itu harus sesuatu yang besar dan heroik, angkat senjata, hancurkan yang berbeda. Semua hal besar yang dikiranya itulah yang bakal mengesankan di mata Tuhan, padahal mungkin itu hanya mengesankan buat sesama manusia aja... heroisme itu.." timpalku mengomporinya. "itu mengerikan..." katanya kehilangan kata-kata.
Kami diam dan berpikir. Banyak yang muncul dibenakku dan mungkin juga dibenaknya. "Hey, aku ingat apa yang greenpeace bilang waktu ada yang bertanya, bagaimana caranya menjadi aktivis lingkungan. Kamu pasti ga menduga jawabannya," aku mengiterupsinya. Dia memandangku ingin tau. "Katanya jika ingin menjadi pahlawan bagi planet bumi ini, pastikan bahwa setiap hari dalam jarak 1 meter persegi di sekelilingmu, kamu menyebarkan kebahagiaan untuk orang lain.. hanya satu meter persegi saja setiap hari.. mulai dulu dengan itu.." kataku lagi. Dia menatapku. Senyuman mengembang dari wajahnya. "Ya, indah sekali. kebahagiaan satu meter persegi itu. Seandainya semua orang memulainya dari itu..." dia terdiam sejenak. "Satu meter persegi itu bukan hal yang mudah.. tapi itu paling realistis dan mungkin.. " ia seperti bergumam pada dirinya sendiri. Kami kembali terdiam memikirkan kebahagiaan satu meter persegi kami sendiri yang jelas pada detik itupun kami bahagia saat bisa membincangkan kegelisahan spiritual seperti ini dengan hati dan pikiran terbuka.
Lalu sisa-sisa susu murni, roti telur mata sapi, kopi, telur setengah matang, dan sebatang rokok mild yang belum habis setengah, mengakhiri perjumpaan kami. "yukk.. nampaknya banyak yang antri untuk makan.." dia mengajakku beranjak setelah hampir 2.5 jam duduk di situ.
"Jadi kapan kita ngobrol serius lagi?" tanyanya sebelum kami berpisah menuju kendaraan kami masing-masing.
"Pada sarapan berikutnya ya.." kataku renyah.
Dia mengangguk.."kontak-kontak aja.."
Bandung, 11 November 2007
(Percakapan di tulisan ini adalah hasil rekonstruksi dari hasil obrolan yang sesungguhnya)
Pembicaraan soal spiritualitas di pagi hari, di antara hiruk pikuk Purnama yang ramai dengan pengunjung. "Rasanya umat mayoritas ini merasa insecure, sehingga harus selalu berteriak, terus menerus minta dimengerti dan tidak lagi cukup toleran pada sekelilingnya, atau kah ini cerminan kerinduan spiritual yang dalam dan tak tergapai?" lontarnya di tengah seruputan kopi dan telur setengah matang. "Ya, sangking keterlaluan rindunya sampai ga tau gimana menggapai Tuhan, akhirnya frustasi, marah-marah dan menyalahkan semua orang," aku menimpalinya. Kami memang sama-sama terganggu dengan situasi ini, dimana beragama menjadi sesuatu yang mengerikan dan penuh ketegangan. Kami merindukan semangat cinta kasih dan besar hati untuk toleran pada perbedaan itu.
"Keseharian itu penting, kualitas keimanan seseorang menurutku diukur dari bagaimana keseharian itu dijalani," katanya lagi. Kami berdua sama-sama percaya pada keseharian yang dijalani dengan kebaruan. "Jika untuk mencapai Tuhan, aku mesti mengorbankan saudaraku sendiri (dengan mengabaikannya), aku lebih baik tidak sampai kesana," mimiknya tampak sungguh-sungguh. Aku tersenyum. "Kayanya Tuhan ga seegois itu deh, hanya karena Ia ingin didekati hambaNya, terus memperbolehkan hambanya dengan berbagai macam cara.." Giliran dia yang tersenyum... "Iya.. aku percaya itu.."
Seruput- seruput. Aku susu murni. Dia kopi. Sisa-sisa telur setengah matang dan roti telur mata sapi masih ada. Kami kembali menelusuri sekeliling. Seperti mengabsen para pelanggan yang biasa muncul di minggu pagi. Ada beberapa yang baru kami lihat minggu ini dan tidak di minggu lalu.
"Apa artinya atribut penanda identitas, jika itu hanya menciptakan jarak dan menjadi pembeda bahwa yang satu lebih beriman daripada yang lain? jangan-jangan itu cerminan krisis identitas," kegelisahannya kembali muncul. "Apakah aku yang berpenampilan seperti ini.." katanya sambil menunjuk pada polo shirt E-Sprit dan sweater coklat Lacoste yang dia pakai, ".. menjadi kurang beriman, di banding dengan semua yang bersorban itu?" Sebuah pertanyaan yang menyadarkan adanya jarak saat keyakinan kami kemudian dibedakan oleh atribut dan perbedaan pemahaman ritual. Bagi kami, ritual adalah upaya pendisiplinan dan bukan tujuan akhir yang bisa beranak pinak menjadi tujuh kali lipat imbalannya. Pendisiplan diri untuk sadar dan rela atas keyakinan yang kami anut. Kerelaan dan kesadaran itulah yang membuat kami nyaman dan feel secure dengan jalan spiritualitas kami.
"Kenapa keyakinan itu tidak termanifestasikan dalam kepedulian pada hal-hal kecil dan sehari-hari? bagaimana dalam keseharian memperlakukan sampah, berkontribusi pada hal-hal kecil disekitarnya.." dia terlihat semakin semangat dengan persoalan keseharian ini. "mungkin dalam benak banyak umat, manifestasi keimanan itu harus sesuatu yang besar dan heroik, angkat senjata, hancurkan yang berbeda. Semua hal besar yang dikiranya itulah yang bakal mengesankan di mata Tuhan, padahal mungkin itu hanya mengesankan buat sesama manusia aja... heroisme itu.." timpalku mengomporinya. "itu mengerikan..." katanya kehilangan kata-kata.
Kami diam dan berpikir. Banyak yang muncul dibenakku dan mungkin juga dibenaknya. "Hey, aku ingat apa yang greenpeace bilang waktu ada yang bertanya, bagaimana caranya menjadi aktivis lingkungan. Kamu pasti ga menduga jawabannya," aku mengiterupsinya. Dia memandangku ingin tau. "Katanya jika ingin menjadi pahlawan bagi planet bumi ini, pastikan bahwa setiap hari dalam jarak 1 meter persegi di sekelilingmu, kamu menyebarkan kebahagiaan untuk orang lain.. hanya satu meter persegi saja setiap hari.. mulai dulu dengan itu.." kataku lagi. Dia menatapku. Senyuman mengembang dari wajahnya. "Ya, indah sekali. kebahagiaan satu meter persegi itu. Seandainya semua orang memulainya dari itu..." dia terdiam sejenak. "Satu meter persegi itu bukan hal yang mudah.. tapi itu paling realistis dan mungkin.. " ia seperti bergumam pada dirinya sendiri. Kami kembali terdiam memikirkan kebahagiaan satu meter persegi kami sendiri yang jelas pada detik itupun kami bahagia saat bisa membincangkan kegelisahan spiritual seperti ini dengan hati dan pikiran terbuka.
Lalu sisa-sisa susu murni, roti telur mata sapi, kopi, telur setengah matang, dan sebatang rokok mild yang belum habis setengah, mengakhiri perjumpaan kami. "yukk.. nampaknya banyak yang antri untuk makan.." dia mengajakku beranjak setelah hampir 2.5 jam duduk di situ.
"Jadi kapan kita ngobrol serius lagi?" tanyanya sebelum kami berpisah menuju kendaraan kami masing-masing.
"Pada sarapan berikutnya ya.." kataku renyah.
Dia mengangguk.."kontak-kontak aja.."
Bandung, 11 November 2007
(Percakapan di tulisan ini adalah hasil rekonstruksi dari hasil obrolan yang sesungguhnya)
Comments