Skip to main content

Tiga Hari Bertanya Gambang Kromong Punya Siapa?

Altar Arwah Klenteng Keluarga Liem, Pecinan Semarang, Foto by tarlen

Dari Catatan Awal Penggarapan Film Dokumeter Anak Naga Beranak Naga, 2005. Tulisan ini pernah dimuat di Bandung Beyond Magazine, Edisi Chinese Parade Bisa diakses juga di http://anaknagaberanaknaga.com/catatan/index.html.
Di blog ini judulnya aku tambahin. Tulisan ini aku posting untuk mengantarkan tulisan yang sedang kubuat soal pendokumentasian seni tradisi menanggapi tulisan Farida Indriastuti di Kompas, 'Dari Kemitren ke Hollywood'


***

Mencari jawab atas pertanyaan Gambang Kromong punya siapa? Mungkin tak sesederhana ketika menanyakannya. Keragaman pengaruh yang membentuk musik Gambang Kromong, sangat menarik untuk ditelusuri. Itu sebabnya, ketika ditawari Ariani Darmawan untuk telibat dalam proyek penggarapan film dokumenter Anak Naga Beranak Naga, saya begitu exciting. Sebuah film dokumenter mengenai akulturasi kebudayaan Tionghoa dan Betawi yang melahirkan musik Gambang Kromong, tak mungkin saya tolak. Ketertarikan saya terhadap budaya Tionghoa dan bagaimana bentuk-bentuk kebudayaan yang berbeda bisa saling mempengaruhi satu sama lain, telah menarik perhatian saya sejak guru SD mengatakan nenek moyang kita berasal dari Cina Selatan. Selama ini saya mengenal Gambang Kromong identik dengan Lenong dan budaya Betawi.

Dari wawancara awal dengan Tan Deh Seng, seorang musikolog yang menetap di Bandung, saya mengetahui, bahwa Gambang Kromong pertama kali diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa yang merantau ke Betawi sekitar abad ke 18. Titilaras yang kemudian dikenal dengan sebutan salendro Cina, kemudian menjadi pakem utama musik Gambang Kromong, bercampur dengan pengaruh kebudayaan Jawa, Sunda, Melayu, Deli yang akhirnya membentuk karakter yang khas dari musik Gambang Kromong itu sendiri. Keragaman unsur dan bagaimana akulturasi berbagai macam bentuk kebudayaan bisa melahirkan musik Gambang Kromong, tak urung membuat saya terpukau. Namun, ketika menyaksikan langsung bagaimana proses akulturasi itu secara langsung, menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi saya.

23 April 2005,
Yang saya lakukan dua hari ini bersama Ariani atau biasa saya panggil Cik Rani dan teman saya Peter, seorang arsitek, cukup menarik. Survey Gambang Kromong ke Tanggerang. menemui Ang kang lan di belakang Kota Fantasi Bumi Serpong Damai, di desa bernama Jelupang. Ang kang lan, Cina Peranakan keling, hidup di antara benteng yang membatasi Kota Fantasi dan desa-desa yang semakin tergusur. Lahir dan berkembang sebagai Cina Betawi peranakan, semula nampak ragu untuk membuka diri, tapi setelah menyadari kami bukan ancaman, dia mulai menerima kami dengan baik. Ia menunjukkan VCD yang sengaja direkam dari pertunjukan Gambang Kromong ketika Ang Kang Lan mengawinkan anaknya. VCD sederhana tapi cukup bisa diniknmati. Kesadaran mendokumentasikannya yang sebenarnya patut dipuji meski untuk alasan yang sederhana.

Saat bertemu Ang Kang Lan, saya belum 'ngeh' dengan apa dan bagaimana Gambang Kromong itu. Apalagi untuk menarik benang merah antara wacana mengenai Gambang Kromong dan para pelakunya yang salah satunya tersembunyi di balik Kota Wisata seperti Bumi Serpong Damai. Ang Kang Lan, gambang kromong, meja sembah, juga kota fantasi yang di bangun di tengah-tengah native people yang lebih dulu tinggal dan menetap membangun cara hidupnya sendiri. Mungkin dari titik ini saya bisa menemukan pemahaman tentang apa dan bagaimana gambang kromong dari dulu hingga kini, dari kontras itu.

Dari desa Jelupang, perjalanan berlanjut ke Teluk Naga. Saya menemukan situasi sureal yang sulit dideskripsikan. Apakah ini mimpi atau realitas yang berlebihan? Rani, Peter dan saya mengunjungi lokasi survey kami berikutnya, melihat Gambang Kromong yang dimainkan di rumah kawin. Begitu masuk dan menjura memberi hormat pada tuan rumah yang punya hajat, kami bertiga langsung di sodori piring dan memilih makanan Tionghoa atau Betawi. yang membedakan keduanya adalah daging babi di masakan Tionghoa dan daging sapi di masakan betawi. Kesan sureal saya peroleh bukan karena saat itu adalah kali pertama saya melihat secara langsung Gambang Kromong yang dimainkan lengkap bersama cokek-cokeknya, tapi suasana keseluruhan. Rumah kawin membawa saya ke suasana kehidupan Cina peranakan tahun 30-an, encim-encim yang masih bersarung dan berkebaya nyonya dengan rokok kretek klepas klepus dari mulutnya. Cokek-cokek yang bergoyang mesra dengan encek-encek Cina Betawi. Suasana bener-bener seperti mimpi.

Petang menjelang. Kami telah kembali di ibukota. Memilih makan malam sate ayam dan otak-otak di Toko Es Krim Ragusa. Belum cukup merasai jejak masa lalu, kami bertiga nongkrong dan minum kopi di Bakoel Koffie Cikini. Dari obrolan ngalor ngidul sampe pembahasan serius tentang benturan nilai dan siapa yang berhak menentukan nilai-nilai itu baik atau buruk, lebih tinggi atau lebih rendah. Sangat filosofis. Apakah ini seperti de javu? suasana seperti saat meneer-meneer minum kopi sambil ngobrol soal-soal inlander dan kehidoepan kaoem boemi poetra. Kami memperbincangkan Ang Kang Lan, Rumah Kawin, Cina Betawi peranakan dan pandangan tentang apa yang disebut seni tradisi atau bukan. Mungkin kami tak ada bedanya dengan meneer-meneer itu dulu. Membicarakan the other. Sesuatu yang berada di luar diri kami, sambil mencoba mencari jarak pandang dan cara pandang yang pas untuk melihat yang lain itu tanpa terjebak pada cara pandang yang eksotis. Mungkin kami sedang berusaha untuk tidak berlebihan memandang kenyataan, tapi tanpa sadar menciptakan hiperealitas yang lain, mengulangi de javu yang seabad lalu tak mungkin dilakukan oleh kami yang pribumi dan cina peranakan ini.

24-25 April 2005
Kembali ke Serpong. Menyambangi Ang Kang Lan dan grup Gambang Kromongnya dalam sebuah pesta pernikahan Cina Betawi peranakan di Bonang Dasana Indah, sebuah kompleks perumahan baru di daerah Serpong. Segan mendekat, karena merasa tak kenal dengan keluarga pengantin. Akhirnya kami cuma memandangi dari jarak jauh. Sambil memperbincangkan perpaduan perkawinan moderen dan Gambang Kromong. Pikiran saya campur aduk. Tiba-tiba Gambang Kromong, menjadi isu yang penting buat hidup saya akhir-akhir ini. Sementara di satu sisi, perkenalan saya dengan Gambang Kromong, baru saja terjadi. Semua informasi, referensi dan fakta yang saya saksikan tentang Gambang Kromong, seperti kepingan puzzle yang harus saya susun untuk menjawab pertanyaan besar yang menggembung semakin besar: Gambang Kromong punya siapa?

Comments

Anonymous said…
Semoga segera ketemu tuh si empu gambang kromong..

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah