Skip to main content

Berumur Tigapuluh Sekian


Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah.

Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementara alasan temanku itu menolak si cowo, pertama, karena cowo itu ga suka seni dan ga nyambung diajak ngobrol seni. Sementara temanku sehari-hari berurusan dengan dunia seni, karena dia bekerja di sebuah galeri ternama di Bandung. "Nanti gue mau ngobrol apa sama dia?" begitulah pertanyaan besar temanku ketika membicarakan ini denganku. Kedua, temanku ini baru kenal dan itupun atas inisiatif sodaranya yang juga ikut-ikutan panik dengan kelajangannya.

Bagi keluarganya, urusan 'nanti ngobrol apa' bukanlah hal prinsip, karena mereka mereka berkeyakinan obrolan itu selalu bisa di cari. Sementara bagi temanku, wawasan pasangan adalah hal prinsip yang bisa menentukan seseorang layak menjadi pasangannya atau tidak.

Dalam kondisi yang berbeda, temanku yang lain putus dengan pacarnya_ bukan karena pacarnya itu kurang wawasan. Mereka ada pada level keilmuan dan profesi yang sama. Namun, persoalan lain yang menurut temanku yang satu ini cukup prinsip dan sering kali jadi perkara buatku dan teman-temanku adalah masalah akselerasi "passion". "Dia ga bisa ngimbangin semangatku," begitulah keluhan klasik yang seringku dengar diantara teman-teman sebayaku yang mengedepankan passion saat mengerjakan banyak hal: karir, percintaan, hobi, dan hal lain yang bisa mengisi hidupnya. Ternyata wawasan yang seimbang pun belum tentu menjamin passion yang sama.

Mmm.. dari dua hal ini aja, kepanikan lingkungan sosial bertambah lagi dengan kebingungan atas pertanyaan: 'apasih maunya perempuan-perempuan ini? passion pasangan aja jadi masalah prinsip, Duh..! yang jadi orang tua udah jelas bingung. Jaman mereka dulu, hitung-hitungan passion ga ada dalam syarat bagi pasangan. Dan bagaimana mungkin anak-anak mereka lebih mementingkan passion dan rela menjomblo, daripada mendapat pasangan yang ga punya semangat dan passion.

Lagi-lagi hal ini bukan generalisasi atas kondisi dan problema para perempuan lajang tiga puluh sekian itu. Banyak juga yang bisa hidup bahagia dengan pasangan yang ga nyambung passion dan wawasannya. Sebagai individu yang butuh aktualisasi diri, kesempatan yang datang lewat pendidikan, lingkungan sosial yang luas, akses yang berlebih, pertimbangan memilih pasangan menjadi tidak sesederhana yang dipikirkan generasi orangtuanya. Berpasangan tidak lagi persoalan hidup bersama lalu salah satu melebur dalam hidup pasangannya. Berpasangan kemudian juga menjadi persoalan bagaimana kehidupan bersama adalah tempat aktualisasi bersama dimana masing-masing bisa tumbuh dan berkembang sesuai potensinya masing-masing tanpa merasa saling mengancam dan terancam. Itu sebabnya wawasan menjadi penting, passion dan semangat menjadi pertimbangan.

Silahkan saja jika tidak sepakat dengan hal ini. Mari kita bicarakan bersama. Semakin bertambah umur, ternyata semakin sulit menemukan teman bicara untuk hal-hal seperti ini.

:)
untuk sahabatku yang berjuang mendapatkan hidupnya kembali..

Comments

Anonymous said…
hm, mungkin bisa ditambahkan, mempunyai mimpi yang sama, atau sejauh mana mau melepaskan mimpi untuk bisa hidup bersama? ;) Tulisan yang menarik. Salam kenal
Anonymous said…
Waktu saya akhirnya memutuskan untuk menikah, toh, saya masih ragu apa akan ada (cukup banyak) kecocokan di antara kami. Trus ada orang yang ngomong, nasehatin. Dia bilang, "Sebaiknya memang menikah diniatkan untuk ibadah, dengan alasan pro-kreasi, dan alasan2 lain yang bisa kamu cari.
Soal cocok itu kan sebenarnya kamu kuatir akan terjadi perselisihan. Padahal bila memang terjadi selisih pendapat, mudah saja. Kamu mau cari benar atau cari menang. Kalau berdua cari menang, jelas pecah. Tapi kalu yang dicari kebenaran, dengan iman di dada mudah saja. Kebenaran kan mutlak, Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu."
Trus dia menambahkan, "kalian bersaudara kandung yang lahir dan dibesarkan dalam mileu yang sama saja masih bisa berselisih. Tapi coba lihat pasangan2 yang telah lanjut usia. Mereka bisa bertahan, dan enjoy. Karena ada prioritas dan semnangat mengalah, semangat menuju kebenaran yang tak terbantahkan."
Perfeksionisme agaknya mesti ditempatkan pada bagaimana kerukunan tetap terjaga. Yaa, saya jadi kawin.
Anonymous said…
yah, sebenarnya kalau mau jujur sih... ukuran "sukses" hidup seseorang mestinya ditempatkan ke seberapa besar sumbangannya kepada kehidupan. Dan bukan sekedar status di KTP yang berisi sudah kawin atau belum.

Bagus len. Aku link ke blogmu ya...
Anonymous said…
buat orang-orang yang suka bikin panik ce/co jomblo over 30.... Get A Life!

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...