Skip to main content

Rasa Keadilan

foto by tarlen

Aku baru menyadari jika keadilan itu punya rasa, setelah riset soal pemberdayaan hukum beberapa waktu lalu. Dan beberapa hari ini aku kembali memikirkannya. Rasa keadilan terdengar sangat subjektif, sangat relatif. Meskipun ada hukum dan aturan yang menjadi panduannya. Rasa keadilan dalam kasus-kasus hukum, lebih pada sikap 'korban' menerima peristiwa yang menimpanya. Apakah korban merasa 'puas' hukuman yang diterima oleh pelaku, apakah proses dan prosedur hukum yang dijalani, berpihak pada korban. Semua ditentukan oleh korban. Rasa keadilan itu, korbanlah yang menentukan.

Dari proses wawancara panjang dengan banyak korban saat penelitian lalu, jawaban korban tidak ada yang merasa benar-benar puas dengan hukuman yang diterima oleh pelaku. "Saya inginnya pelaku di hukum mati saja.." begitu jawaban salah satu keluarga korban kekerasan seksual yang dialami oleh anak retarded di bawah umur. Padahal hakim mengetuk palu hukuman maksimal 14 tahun penjara. Sesuai dengan UU perlindungan anak tahun 2003. "Saya tidak pernah kasih tuntutan yang meringankan untuk para pelaku kekerasan seksual apalagi pada anak di bawah umur. Saya juga punya anak mba, jadi saya bisa merasakan bagaimana rasanya jika peristiwa itu menimpa anak saya," jelas jaksa penuntut dalam kasus itu. Sementara hakim tak kalah berpihak pada korban, " Kita vonis pelaku dengan hukuman maksimal dengan pertimbangan, jika pelaku keluar dari penjara, korban sudah cukup dewasa untuk hidup mandiri di tengah masyarakat," jelas hakim. "Kalau ingat, apa yang pelaku lakukan sama anak saya, rasanya saya ingin bunuh dia pake tangan saya sendiri," ungkap ibu korban sambil terisak.

Bahkan saat hukum berpihak kepada korban, rasa keadilan itu menjadi sangat sulit untuk di 'rasakan'. Korban selalu menjadi pihak yang paling dirugikan, moril maupun materil. Adakah hukuman yang setimpal yang bisa menebus sesuatu yang direngut paksa darinya? Dimanakah rasa keadilannya?

Memang pada akhirnya keluarga korban menerima putusan hakim, dan penelitian ini mengindikasikan bahwa keluarga korban cukup puas dengan prosedur hukum yang dirasakan cukup berpihak pada korban, namun soal rasa keadilan, pelitian ini tak berhasil menakarnya. Hanya identifikasi dan gejala-gejala rasa dari keadilan itu yang berhasil dikenali. Tapi menakarnya tidak semudah yang bayangkan karena setiap korban punya takarannya masing-masing. Setiap korban punya cara menakar dan menerima takaran rasa itu.

***

Rasa keadilan ternyata tidak melulu hanya pada persoalan hukum. Kehidupan yang aku jalani setiap hari, adalah juga persoalan menemukan takaran rasa atas keadilan kehidupan yang aku jalani. Ketika mencintai seseorang, dalam cinta itu juga ada rasa keadilan. Ketika aku meyakini bahwa mencintai itu membebaskan, dan dicintai itu berarti juga menjaga apa yang mencintai dan kita cintai. Rasa keadilan menjadi lebih rumit dibanding dengan rasa keadilan korban kejahatan. Pada kejahatan, pelaku sepertinya kehilangan hak untuk membela diri, apalagi bila jelas-jelas ia terbukti. Namun dalam mencinta, seringkali sulit melihat mana korban mana pelaku, karena cinta bukan juga persoalan itu. Cinta berangkat dari soal kesepakatan. Serumit apapun situasinya. Menyepakati rasa antara dua pihak dan menjalani kesepakatan itu dengan rasa cinta dan rasa keadilan di dalamnya, tentunya juga bukan hal yang mudah. Tidak ada KUHP atau Undang-undang Hukum Perdata dalam urusan kesepakatan mencinta. Karena cinta tak pernah salah yang bisa salah adalah sikap yang mengejawantahkan cinta dan mengekpresikan rasa cinta itu.

Ketika mengaku menjadi korban ketidakadilan cinta, bagaimana menakar rasa keadilannya? Saat semua menjadi atas nama cinta, semua bisa jadi dilakukan atas dasar itikad baik. Bahkan kekejaman-kekejaman yang terjadi dimuka bumi ini ketika dia dilakukan atas nama cinta menjadi rumit. Kekejaman sebagai tindakan kemudian mempunyai takaran baik buruk, benar salahnya sendiri, tapi cinta sebagai latar belakang tindakannya, adakah takaran nilainya?

Kesepakatan mencinta juga bukanlah kesepakatan baku yang tertulis hitam di atas putih. Meski ada 'pasal-pasal' tidak tertulis dalam kesepakatan itu, namun toleransi membuat pasal-pasal itu bisa lentur elastis, memuai seperti karet dan bergerak menjelajahi ruang toleransinya. Seperti juga karet, bukan berarti dia tidak bisa putus. Karet akan putus, saat dia tak sanggup menahan beban pemuaiannya. Ketika melewati batas maksimum dari kelenturnya, karet akan putus, atau jika dia mampu bertahan, dia akan kehilangan daya elastisitasnya.

Untuk saat ini, analogi karet itu yang bisa kubayangkan untuk menjelaskan pada diriku sendiri persoalan rasa keadilan dalam mencinta. Pertanyaan untuk diriku kemudian adalah karet jenis apakah aku ini? Sejauh mana aku bisa melentur dan elastis saat menjalani 'pasal-pasal karet' itu? Sebesar apakah ruang toleransi yang mewadahi rasa cinta dan rasa keadilan yang berbaur didalamnya? Bagaimana dengan sangsi pelanggaran 'pasal-pasal karet' itu? Siapa yang menuntut dan siapa yang tertuntut? siapa pula yang terhukum dan yang menghukum? ....

.... pada kerumitan ini, memaafkan menjadi menjadi begitu melegakan.....

Aceh 56, 10:20

Comments

Anonymous said…
Nggak len.

Memaafkan bukan saja melegakan...


...dalam hal ini, ia adalah keharusan buat kita semua.

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah