Skip to main content

Karena Aku Menginginkannya


Smith Street, Brooklyn foto by tarlen

Ga terasa, sudah sepuluh hari aku tinggal di New York. Aku mulai terbiasa dengan dinginnya, dengan ketergesaannya, dengan bau apartemenku. Aku ga lagi panik saat tersesat gara-gara salah naik subway atau naik bis. Dan sejauh ini, aku bisa menikmati setiap jengkal kota ini.

Aku belum punya banyak teman baru disini. Karena bertemu orang bukan hal mudah. Selalu harus ada janji terlebih dahulu. Setiap orang sibuk. Bahkan saat di subway atau bis, setiap orang seperti diskonek dengan sekelilingnya. Setiap orang seperti menghindari kontak mata dengan orang lain. Mungkin ini salah satu cara bertahan hidup di kota seperti New york.

Terbayang semua kepanikan yang aku rasakan beberapa waktu sebelum pergi. Aku yang jadi sensitif berat karena kemanjaanku dan ketakutan-ketakutan tak beralasanku menjelang kepergiaan. Mungkin karena ini kali pertama aku harus pergi jauh dari Bandung, dari tobucil dari semua orang yang aku sayangi dan menyangiku dalam waktu yang cukup lama. Bandung yang chaotic itu, seringkali membuatku posesif dan enggan untuk meninggalkan semua kenyaman dalam kecarut marutannya. Ya pergi dan berjarak dari rasa nyaman, seringkali membuat jiwa dan diri tumbuh mengisi buana yang terjelajahi olehnya. Itu sebabnya meski berat di langkah pertama, tapi aku selalu menyukai perjalanan. Moment selamat jalan dengan orang-orang tercinta, selalu terasa sentimentil dan romantis. Seperti bekal selimut hangat saat rasa dingin dan sepi hinggap di tengah jalan. Mengingat wajah-wajahnya, mengingat tatapannya, mengingat jabat tangannya, mengingat pelukannya.. mengingat ciumannya, memberi keyakinan untuk pulang dengan sejuta cerita.

Saat aku muntah di pesawat ketika landing di Newark rasanya seperti melepaskan semua kepanikan dan kegelisahan serta kekawatiran yang ga perlu. Membuang sisa-sisanya, sebelum menapak tanah buanaku yang baru. Aku memasrahkan diri pada perjalanan. Apa yang akan terjadi, terjadilah. Dan saat kena cekal imigrasi Amerika karena Kedubes AS di Jakarta salah memberiku passport, aku bisa sangat tenang menghadapinya. Ini bagian dari perjalanan. Toh, petugas imigrasi memperlakukan aku dengan baik sampai mereka melepaskan aku.

Supir yang membawaku, orang Sikh, mengantarku memasuki New York. Rasanya seperti mimpi yang jadi kenyataan atau kenyataan yang seperti mimpi. Kadang ketika kita sejak lama memimpikan sesuatu, ketika sesuatu itu jadi kenyataan, rasanya tidak benar-benar seperti nyata. Karena ketika memimpikannya kita membayangkan segala kemungkinan, dan seringkali yang terjadi memang tidak jauh dari apa yang kita bayangkan. Kenyataan dibangun dari impian-impian itu: yang terbaik maupun yang terburuknya.

Saat bangun dari tidur (bahkan sampai saat ini) tetep aja ga percaya. Selalu ada pertanyaan, ini nyata ga sih? sama saat aku melakukan perjalan ke pedalaman Kalimantan 2005 lalu. Ketika sadar ini nyata, pertanyaan berikutnya: Kok aku udah disini lagi ya? ketika ada di jalanan Manhattan yang sibuk, terselip di antara banyak orang, aku berkata pada diriku sendiri: 'rasanya baru kemarin aku menginginkan ini, eh hari ini aku udah mendapatkannya, merasakannya.' Dan itu memberiku keyakinan, ga ada yang ga mungkin, selama aku bersetia pada keinginanku dan terus menerus mengatakan pada diriku, pada mimpiku, pada malam, pada siang, pada langit, pada hujan, pada buana: aku menginginkan ini.

Comments

Anonymous said…
Wahh?? Tarlen lagi d NY??? Pindah kesana?? senangnyaaa! dalam rangka apa??

Btw,,masih inget gw ga??
Anonymous said…
nice writing , indeed
Anonymous said…
belum lagi makanannya, len. Aya cireng di ditu? hehehe...

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah