Skip to main content

Hatiku Di Antara Si Pembawa Rasa Nyaman Vs Si Roller Coaster

Foto by tarlen

Mana yang sebaiknya di pilih? lelaki yang memberikan rasa nyaman dengan gairah yang statis, atau lelaki yang menawarkan banyak petualangan mengairahkan, tapi bikin hidup berjalan seperti roller coaster? Pertanyaan ini, kerap kali muncul di usia tiga puluh sekian seperti yang aku rasakan sekarang, ketika akan menentukan pasangan hidup seperti apa yang cocok untuk hidupku. Kalau pertanyaan ini adalah sebuah pilihan, tentunya ini bukan pilihan yang mudah. Sulit. Bahkan teramat sulit. Karena pilihan ini berhubungan dengan karakter calon pasangan yang tentunya akan berubah di kemudian hari.

Bagi perempuan lajang yang intens dalam pencarian makna hidup, punya pasangan yang memberi rasa nyaman itu, penting artinya. Nyaman dengan dirinya, nyaman dengan pencapaiannya, secara psikologis dia adalah pribadi yang matang dan sudah bisa berdamai dengan banyak hal dalam hidupnya, bahkan berdamai dengan hal yang paling sulit untuk diterima sekalipun. Baginya, berdamai itu sama dengan menyadari bahwa berfokus pada sesuatu yang tak mungkin dia dapatkan dalam hidupnya adalah hal yang sia-sia, lebih baik dia menerima dan menikmati hal-hal yang bisa dia dapatkan dalam hidup. Lelaki seperti ini telah menemukan kebijaksanaan atas dirinya.

Mengapa lelaki seperti ini penting bagi perempuan sepertiku? karena dengan lelaki seperti ini, aku ga akan dipusingkan dengan persoalan-persoalan yang muncul akibat persaingan eksistensi. Dia menyadari betul eksistensinya dan nyaman dengan itu. Sehingga ketika aku membangun eksistensiku (apakah eksistensi itu sejajar dengannya ataupun dianggap melebihi dirinya), dia tidak akan merasa terganggu, malah biasanya tanggapannya cukup positif terhadap apa pencapaianku. Karenanya, lelaki seperti ini memberikan rasa nyaman yang merupakan pijakan penting untuk terus berkarya dan berprestasi.

Lelaki pembawa rasa nyaman ini karena memiliki kematangan emosional, biasanya tidak lagi terlihat mengebu-gebu. Dia bisa terlihat sangat tenang dan dewasa dalam banyak masalah. Kemapanan emosi dan eksistensinya membuat gairah atau antusiasmenya terhadap banyak hal, terlihat datar-datar saja. Buatnya, gairah yang menggebu-gebu, sudah bukan lagi masanya. Fokus menjadikan dia ga mudah, 'tergoda' atau meledak-ledak pada hal-hal baru. Baginya mempertahankan fokus jauh lebih penting, ketimbang menampilkan kegairahan pada hal baru yang beresiko mengganggu fokusnya.

Ketenangan dan disiplin untuk tetap fokus seperti ini, kadang malah menjadi pemicu masalah. Perempuan sepertiku, lebih senang dengan antusiasme dan gairah yang menunjukkan semangat eksplorasi dia pada hal-hal baru. 'Ketidak antusiasannya' itu seringkali membuat aku berpikir bahwa dia tidak punya 'frekuensi semangat' yang sama. Bahkan sikap seperti ini seringkali menimbulkan penafsiran bahwa dia 'tidak memahami' semangatku dan cenderung dingin pada kegairahanku terhadap hal-hal baru. Padahal aku berharap mendapat sambutan hangat terhadap hal-hal yang menjadi minat dan antusiasku.

Berhubungan dengan lelaki seperti ini bagi perempuan sepertiku, terasa nyaman-nyaman saja, tapi juga tidak banyak tantangan yang berarti. Karena persoalan yang muncul lebih banyak dari pihakku daripada pihaknya. Jalannya hubungan seperti perjalanan di jalan tol dengan kendaraan yang nyaman. Aku cenderung merasa bosan. Kebosanan yang disebabkan karena aku merasa hidup menjadi tidak lagi penuh tantangan dan antusiasme. Semuanya terasa berjalan lancar, tapi juga dalam emosi yang datar. Rasa bosan yang juga muncul saat dia dengan mudah mengerti dan memahami apa yang dilakukan olehku 'tanpa perjuangan'. Hidupku jadi terasa begitu mudah. Aku bagi lelaki seperti ini, seperti perempuan yang ga tau berterima kasih karena ga bersyukur dengan semua kebaikan dan pengertian lelaki seperti ini. Kefrustasian yang muncul dalam diriku justru karena alasan yang menurut banyak orang ga masuk akal: "Karena dia terlalu baik" dan membuat aku mati kutu, ga menemukan alasan untuk berargumen dengannya.

***

Bagaimana dengan si lelaki roller coaster? Bagiku, lelaki ini cukup menggairahkan, karena dia kuanggap mempunyai antusiasme yang sama. Dan sama-sama dalam masa-masa pencarian yang menggelisahkan. Dia belum sepenuhnya yakin dengen pencapaiannya dan yakin benar dengan eksistensinya. Lelaki seperti ini adalah lelaki yang merasa belum menemukan definisi dirinya. Masih berada dalam fase mempertanyakan banyak hal bahkan mempertentangkan sisi baik dan buruk dari dirinya sendiri. Daya tarik utama lelaki seperti ini bagiku ada pada gairah pencariannya tentang makna hidupnya. Dia merasa belum selesai dan belum menemukan damai dengan dirinya sendiri. Pertemuannya dengan perempuan sepertiku menjadi penting untuknya untuk merasa bahwa dia tidak sendirian. Bahwa ada orang yang dia harapkan bisa mengerti dengan proses pencariannya yang sulit dan menggelisahkan ini. Begitu juga aku, merasakan hal yang sama. Secara emosional, kami ada pada frekuensi diri yang sama.

Baginya hidup adalah sesuatu yang mesti dia taklukan. Berdamai adalah hal yang masih jauh darinya, berdamai pada saat-saat seperti ini berarti juga menyerah terlalu cepat. Jika ada jalan yang lebih menantang dan lebih sulit, mengapa memilih jalan yang mudah. Berjalan bersamanya, seperti menaiki roller coaster terpanjang di dunia. Butuh kesiapan dan ketahanan yang besar, karena masing-masing baik aku dan dia sama-sama penuh dengan kejutan. Pengembaraan pikiran bisa sangat sangat jauh dan tak terbatas, bahkan sampai pada kemungkinan-kemungkinan pemikiran tentang hidup yang enggan di rambah oleh kebanyakan orang.

Meski menjanjikan gairah petualangan hidup yang tak terlupakan, lelaki seperti ini membutuhkan toleransi yang sangat-sangat besar. Jika pada si pemberi kenyamanan, aku tak perlu susah payah meminta untuk dimengerti, pada si roller coaster, justru sebaliknya, dimengerti adalah sebuah perjuangan. Masing-masing baik aku dan dia bisa sama-sama bersikukuh pada cara pandang pencarian yang berbeda, meski tujuannya sama. Kecenderungan untuk mau memang sendiri, terjadi bukan hanya dari pihaknya, tapi dari pihakku juga. Bagi kami, perjalanan bersama ini seperti sebuah petualangan bersama yang sering kali juga terasa sangat kompetitif. Masing-masing berusaha mengumpulkan pemahamanan sebanyak-banyaknya, tapi seringkali lupa untuk berkompromi, bahwa pencarian ini pada awalnya sepakat dilakukan bersama-sama, meskipun kedua belah pihak mengumpulkan kepingan-kepingan yang berbeda.

Persoalan yang seringkali muncul berhubungan juga dengan semangat dan mood yang muncul pada waktu yang berbeda. Masing-masing seringkali ga sabar, untuk menunggu satu dengan yang lain. Perasaan meninggalkan dan ditinggalkan, muncul atas alasan dan kekawatiran yang berlebihan.

Masing-masing tahu, bahwa perjalanan bersama ini adalah perjalanan yang sangat istimewa. Tidak mudah menemukan orang yang mau berjalan bersama dalam fase pencarian definisi diri yang menggelisahkan dan berat. Sehingga kecenderungan untuk menjadi posesif menjadi lebih besar, karena kawatir kehilangan salah satu. Baik aku maupun dia seperti sedang menjalani sebuah ujian bersama yang sulit dan berat. Pertaruhannya besar. Lulus atau gagal bersama-sama, atau lulus dan gagal salah satu dan satunya harus siap di tinggalkan, karena perjalanan pencarian tidak banyak memberi waktu untuk saling menunggu. Hidup bergerak pada porosnya masing-masing.

Akan sangat menyenangkan, jika bisa lulus bersama-sama, karena baik aku dan dia bisa merasakan pencapaian bersama. Seperti dua orang semi finalis yang masuk final bareng-bareng dalam kompetisi mengatasi tantangan dan rintangan. Yang menyulitkan adalah justru perbedaan cara yang sejak awal sebenernya sudah disadari. Tujuan yang sama, seringkali membuat lupa, bahwa cara yang berbeda justru memperkaya hasil yang dikumpulkan dari pencarian itu.

***

Di tengah menyelesaikan tulisan ini, sahabatku menyela: "tapi kan, si pembawa aman juga dulunya si roller coaster". Oh iya ya.. Aku hampir lupa itu. Saat lelaki roller coaster menemukan batas ketahanan dari daya pencariannya, dia akan sampai pada titik berdamai pada apa yang telah ia dapatkan dan menerima bahwa tidak semua hal yang ingin dia temukan, bisa dia temukan. Pada usia dan kematangan tertentu, si roller coaster yang penuh dengan gairah dan kegelisahan itu, akan menjadi arif dan bijak terhadap dirinya sendiri. Dan mungkin aku pun yang sebelumnya suka merasakan roller coaster, suatu saat akan lebih memilih perjalanan yang nyaman. Bukan karena lelah, tapi karena ingin bisa berkhidmat pada apa yang telah didapatkan dari pencarian selama ini. Mungkin pada saat itulah, aku sendiri menemukan fokus dalam hidupku.

Kapan saat itu akan tiba? Kurasa hatiku yang akan mengatakannya, "ini saatnya untuk fokus pada apa yang telah aku dapatkan dalam proses pencarian itu dan mengkhidmatinya." Hatiku itu, meski dia kerap kali kesakitan, kelelahan, kebingungan dan sejuta rasa yang lain, karena semua perjalanan ini, tapi dia (hatiku) itu menjadi kaya dengan rasa. Hatiku itu belajar jauh lebih cepat daripada kemampuan pikiranku dalam mencernanya. Ku yakin, saat hatiku mengatakan ini saatnya, hatiku juga yang akan memutuskan siapa yang akan kupilih sebagai teman hidupku. Si pemberi rasa aman atau si roller coaster? Jika dikemudian hari pikiranku menganggap pilihanku bukanlah keputusan yang tepat, hatiku selalu siap menerima apapun rasa yang ditimbulkannya. Karena hatiku adalah rasa nyaman dan rasa roller coaster itu sendiri.

***

Hai hati, apakabarmu hari ini? Jadi siapa yang kau pilih untuk diriku hari ini?

Comments

Anonymous said…
hui hui mb...
sepertinya jaman sekarang ga begitu penting bersama dengan orang yang tepat tapi bersama dengan orang yang menyenangkan

hehmmm pilih ...si pria pembawa aman nyaman tentram sentausa aja mb...

bagaimana pun misinya tu pria memberi rasa aman dan nyaman,,kalo mb buttuh tantangan, bunyiin alarm peringatan aja...warning 1,2 kali pria kaya gtu biasanya loadingnya cepet...

kalocuma pengen kejutan dan tantangan knp, harus dari si pria itu..,inovasi aja... mb yg bikin tantangan sendiri,,,

ps: kpn" mampir ke blog saya y mb..
nirmala nz

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah