Skip to main content

We Are Also What We Have Lost

Foto by tarlen

Alejandro Gonzales Innarittu menulis kalimat tadi dia akhir film pertama dia, Amores Perros yang menang di banyak festival. Sebuat kutipan yang Innarittu tujukan bagi anaknya yang meninggal sebelum film itu membawa perubahan besar dalam hidup Innarittu, sebagai sutradara yang patut diperhitungkan dalam pentas perfilman dunia. Itu Inarrittu.

Kehilangan besar dan perubahan besar (kalau tidak besar, sebut saja penting) dalam hidup, juga aku alami. Aku ingat, kelas 3 SD adalah masa terindah dalam rentang 6 tahun pendidikan dasar yang kutempuh. Di kelas 3 SD itu, aku punya guru yang menyadarkan aku pertama kalinya bahwa aku punya bakat dibidang seni. Dia selalu memberikan apresiasi yang positif terhadap karya-karyaku. Begitu pula teman sebangkuku. Aku ingat namanya Ranti. Aku merasa punya teman yang mengerti dan bisa berbagi keceriaan masa-masa terindah di kelas 3 SD itu. Namun, semua ga berlangsung lama, karena di semester kedua, Ranti pindah sekolah dan aku ga pernah tau lagi bagaimana kabarnya sampai detik ini. Begitu pula guruku itu yang kemudian pindah mengajar di sekolah lain. Setelah itu, masa SDku ku jalani biasa saja. Tapi persaan kehilangan itu ga pernah aku lupakan. Dia membawa kenangan indah tentang masa sekolah dasar sekaligus kesedihan.

Setelah itu, kehilangan besar, paling besar dalam hidupku datang di usia 18th. Peralihan masa SMA ke masa kuliah, ga bisa menerima dengan mudah lingkungan kampus yang menurutku saat itu ga kondusif buat perkembanganku. Saat itu, aku merasa satu-satunya orang yang bisa mengerti dan menjadi sahabat baikku adalah bapakku. Tapi, toh dia juga harus pergi menghadap Tuhan. Dan kehilangan ini pula yang membentukku sedemikian rupa. Mendeformasi karakterku dan diriku sampai pergulatan berdamai dengan kehilangan ini, akhirnya membentuk diriku yang baru. Begitu juga dengan perjalanan menggenapi mimpi terbesar masa remajaku, saat kembali dengan lingkaran diriku utuh, ada yang harus aku lepaskan karena memaksanya mengerti adalah tindakan yang sia-sia belaka. Meski sedih, tapi untuk bisa melanjutkan perjalanan yang masih panjang itu, ada yang harus di relakan untuk lepas, dibiarkan bebas karena aku tak bisa memaksanya berjalan bersama senantiasa.

Dalam sejarah tobucil pun, perubahan besar di tobucil, selalu disertai dengan kehilangan. Perpindahan dari Trimatra Center ke Kyai Gede utama juga disertai kehilangan. Gitu juga dari Kyai Gede Utama ke jalan Aceh, kehilangan menyertai perpindahan itu.

***

Kehilangan dan perubahan yang sepertinya berulang terjadi dalam hidupku, membuatku merenung. Kenapa harus kehilangan yang menyertai setiap perubahan? Apa tidak cukup hanya perubahan saja? Kenapa mesti dengan kehilangan? Pertanyaan setengah menggugat seringkali muncul dan menggangguku. Setiap kehilngan itu berhadapan denganku, setiap kali juga aku sesuatu tumbuh dalam diriku, seperti menggenapi dan mengisi lubang yang ditinggalkan dari rasa kehilangan itu.

Sesuatu yang tumbuh yang kemudian beberapa waktu terakhir ini, aku sadari sebagai diriku yang menjadi utuh. Aku ada karena kehilangan itu. Ketika harus melepaskan seseorang yang kucintai karena aku harus berbuat benar pada diriku sendiri, kesedihan yang ada justru memunculkan kelegaan karena aku berani berbuat benar pada diriku sendiri, berbuat adil pada hidupku dan hidup orang yang kulepaskan. Tanpa sadar, aku mengukuhkan diriku, mengukuhkan keyakinan atas diriku sendiri. Tidak setiap hari keberanian untuk berbuat benar pada diri sendiri ditemukan, dan ketika keberanian itu datang, rasanya bodoh saja jika harus menghindarinya.

Seringkali apa yang sebelumnya ada dan mungkin dimiliki terasa berharga, justru ketika semua itu hilang dan lepas. Itu sebabnya, setiap moment kehilangan, selalu mengajarkan bagaimana menghargai dan berterima kasih pada apa yang ada di hadapanku dan disekelilingku saat ini. Tak ada lagi alasan untuk menyia-nyiakannya, tidak mengapresiasi atau berterima kasih karena keberadaannya. Kehilangan membuatku menyadari apa yang kemudian melengkapi keberadaanku sebagai individu. Meski yang terpenting adalah membuatku menyadari siapa aku, mengapa aku ada untuk diriku sendiri dan orang lain dan apa yang menjadi tugasku sebagai manusia. Kehilangan membuatku menghargai setiap detik demi detik yang mengantarkan kesempatan untuk membangun keutuhanku sebagai individu.

Kesadaran lain yang kemudian membesarkan hati, bahwa sebenernya aku ga sungguh-sungguh kehilangan. Kekecewaan yang kurasakan atas kehilangan itu, hanyalah sementara. Setiap perjumpaan dan perpisahan, seperti sebuah putaran etape pada lomba lari. Setiap orang yang bertemu pada setiap perjumpaan itu, punya tugas masing-masing sesuai dengan fase hidup yang kuhadapi. Mereka masing-masing datang dengan membawa pesan dan tugas untukku. Tidak ada yang sungguh-sungguh hilang atau pergi, mereka akan selalu kembali dalam wujud, bentuk dan pesan yang berbeda. Tugasku adalah merangkai pesan-pesan itu untuk menjawab siapa aku dan untuk apa diriku mengada.

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah