Skip to main content

Alergi

Foto by tarlen

Seumur-umur, aku ga pernah kena yang namanya alergi. Sekarang, setelah hidup hampir 32 tahun, baru merasakan apa yang namanya alergi. Meski hidung yang beralergi, ternyata dampaknya kemana-mana: tenggorokan, telinga, sinus. Dan jangan ditanya, kalau bagian-bagian itu kemudian bermasalah akibat si alergi ini.

Dokter THTku bilang, alergi ini sulit di sembuhkan sama sekali. Dia menetap dalam tubuh dan jalan satu-satunya untuk mencegahnya jadi masalah adalah menjaga tubuh tetap sehat dengan makan yang teratur, istirahat yang cukup dan berolah raga. Sebuah resep klasik dan sederhana untuk hidup sehat. Namun yang sederhana ini juga bukan hal yang mudah untuk di lakukan.

Ngomong-ngomong soal alergi ini, nyambung juga sama jawaban temenku, ketika aku nanya sama dia: "heran, kenapa sih setelah putus hubungan asmara, sesudahnya ga bisa temenan aja kaya biasa?"
Temenku yang jagoan bikin robot dan sangat rasional ini mentertawakan pertanyaanku yang menurutnya itu pertanyaan bodoh. "Kamu tuh aneh, itu pertanyaan yang sebenernya ga perlu di jawab karena kamu pasti udah tau jawabannya. Gini deh, ibaratnya kamu alergi makanan laut, kalo makan kamu bisa gatel-gatel atau demam. Trus kamu ke dokter, nanya sama dia, 'dok, saya masih bisa makan udang ga ya?' pasti kamu diketawain dokternya. Ini orang bodoh atau emang ga paham sih. Karena jawabannya pasti ga bisa. Dia pasti alergi kalo harus berdekatan sama kamu."

Mmm...aku sempet mikir, jangan-jangan ini cara Tuhan memberiku pelajaran untuk mengerti soal logika alergi ini. Bukan alergi yang bisa bikin tenggorokanku gatel dan batuk karena hidungku meler terus saja, tapi juga logika alergi dari orang yang pernah cinta banget sama aku (ngakunya).. kalo aku deketin lagi sebagai teman. Mungkin bisa saja kembali berteman selama masing2 bisa menjaga pikiran dan perasaan tetap waras untuk tidak kembali saling menyakiti atau saling mencurigai. Rasanya kalo alergi dalam logika ini ya mesti dua-duanya yang sama-sama waras dan sehat ketika kembali berhadapan. Kalo salah satu sakit, tentunya hanya akan memicu alerginya muncul.

***
Di rasa-rasa, Tuhan selalu memberi pelajaran hidup dengan cara yang aneh, saat aku merasa ada yang salah dengan keseimbangan hidupku, tiba-tiba aku kena vertigo akut, penyakit yang menyerang syaraf pengatur keseimbangan posisi tubuh. Dan sekarang, ketika aku mempertanyakan bagaimana mungkin cinta yang tadinya begitu menggebu-gebu itu bisa berubah jadi 'alergi', aku dikasih alergi supaya mengerti.. mungkin ga menjawab tapi cukup mengerti. Sampai sekarang pun belum ada pengobatan moderen yang mampu menyembuhkan alergi secara total.

Setiap kali mendapat penyakit baru, aku bertanya pada diriku sendiri, kenapa alergi? penyakit yang justru sangat bergantung pada caraku menyikapinya. Alergi bisa muncul mana kala badanku (merasa) ngga fit. Kondisi ga fit ini munculnya ternyata bukan sekedar dari situasi badan yang kelelahan tapi yang kurasakan lebih pada kondisi pikiran dan perasaaan yang kelelahan. Badan seringkali benteng pertahanan terakhir manakala pikiran dan perasaan tidak sanggup lagi menanggung kelelahannya. Pikiran dan perasaan yang sehat pun menjadi kunci penting untuk membuat alergiku ga mudah kambuh dan menimbulkan masalah.

Bisakah pikiran dan perasaan selalu sehat? namanya juga manusia, ada saatnya masalah dalam hidup bener-bener menguras tenaga dan pikiran, bener-bener bisa bikin kita rontok lahir dan batin. Belajar menerima persoalanan yang seringkali terasa sebagai jalan buntu, ketika berkali-kali dicoba menembusnya, tetap saja tak tertembus. Malahan fisik dan mental rasanya remuk redam setelah beberapa kali mencoba mendobraknya. Pada titik itu, menerima ketidak mampuanku untuk menembusnya dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan, rasanya jauh melegakan. Seperti sebotol air segar di tengah perjalanan panjang di bawah terik matahari.

Aku ingat papan kunci hidup sehat yang di tulis di ruang dokter pranoto, dokter umum langgananku. Selain resep klasik hidup sehat seperti anjuran dokter THTku, dokter Pranoto menulis: "Banyak bersyukur dan selalu mengingat Tuhan" jadi kuncinya bukan hanya badan yang tetap sehat, tapi juga pikiran dan jiwa yang tetap sehat.

gudang selatan, 2.01.09

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah